Thursday, October 28, 2010

Menyikapi Bencana

Di Indonesia, dalam sebulan terakhir telah terjadi 3 bencana alam besar, banjir di Wasior, Papua; tsunami di kepulauan Mentawai dan keluarnya abu vulkanik Gunung Merapi. Banyak sudah korban yang jatuh akibat bencana alam tersebut, mungkin jumlah yang meninggal bisa dihitung, korban luka juga bisa dihitung, kehilangan materi bisa diinventaris. Tetapi banyak hal yang tidak bisa diganti setelah hilangnya seseorang atau sesuatu dalam hidup manusia. Bencana itupun menyisakan kepedihan tersendiri bagi yang secara langsung terkena, bahkan banyak yang lainnya yang jauh dari tempat bencana, tidak mengenal satupun korban, yang juga memiliki rasa simpati dan turut berduka. Bencana ini menimpa manusia, ini tentang hidup, ini tentang hati, dan mungkin masih banyak lagi.

Sewaktu saya mendengar adanya banjir di Wasior, Papua, yang terlintas di benak saya hanyalah pertanyaan sederhana, "loh, kok bisa?". Dalam bayangan saya, Papua adalah negeri yang hijau, dengan hujan hutan tropis yang masih relatif terjaga dengan baik. Memang saya pernah membaca mengenai maraknya aktivitas pembalakan liar di sana, tetapi sungguh, saya belum bisa membayangkan bahwa itu semua akan menjadikan banjir di Papua. Dengan letak yang memang paling jauh dari pusat kekuasaan, bencana ini walaupun segera direspons oleh anak bangsa dan pemerintah, dalam bayangan saya, akan perlu waktu lebih lama untuk mencapai korban, apalagi untuk proses recovery. Tetapi, semoga saja, korban-korban akan segera tertangani dan tangisan anak-anak yang kehilangan orangtua dan saudaranya bisa segera ditenangkan.

Kemudian, saya baca mengenai gempa di Mentawai yang mencapai 7,7 skala Richter. Waktu itu, media menyatakan belum ada tsunami walaupun sangat berpotensi untuk itu. Ketika pagi haris esudahnya saya melihat TV, tsunami itu telah terjadi. Dalam hati saya waktu itu, yaa Tuhan kenapa ini terjadi lagi, di tempat yang sama yang terjadi 6 tahun sebelumnya. Waktu itu saya hanya bisa berharap, semoga korban yang jatuh tidak banyak, mengingat belajar dari pengalaman, masyarakat dapat mengungsi sebelum tsunami benar-benar terjadi. Tetapi siapa yang bisa melawan kekuatan alam kecuali Penciptanya. Walaupun usaha saya yakin sudah dilakukan tetapi pada akhirnya, manusia harus menjalani apa yang harus masing-masing jalani, walaupun itu pahit bagi sebagian.

Dalam saat bersamaan, dari berita saya juga mulai tahu bahwa Merapi "batuk" lagi. Yang menjadi kekhawatiran saya adalah bahwa secara personal ada kaitan saya dengan Merapi. Keluarga dan teman-teman saya tinggal di Yogyakarta, dan jika ada sesuatu dengan Merapi, saya khawatir mereka pun terkena akibatnya. Tetapi syukurlah, abu vulkanik Merapi tidak sampai ke tempat tinggal orangtua saya dan orang-orang yang saya kenal pun, baik-baik saja. Namun demikian, bukan berarti saya bergembira. Saya setidaknya tahu bahwa walaupun terbebas dari bencana, ketika orang harus mengungsi, kesulitan baru pun datang. Logistik, bantuan medis, air bersih dan tempat tinggal adalah isu-isu umum. Walaupun saya belum pernah mengungsi, tetapi saya pernah mengalami bagaimana buruknya situasi setelah bencana melanda (gempa Yogyakarta, Jateng 2006). Dan di tengah-tengah hirup pikuk evakuasi dan penanganan korban, tersebar juga berita mengenai meninggalnya Mbah Maridjan, juru kunci Merapi, yang sampai akhir hayatnya tetap berada di Merapi. Terlepas dari benar tidaknya tindakan Simbah karena tidak mau mengungsi, saat ini bukanlah saat mencari siapa yang salah. Ini adalah bencana alam, kekuatan manusia sering tidak sebanding untuk mencegahnya.

Kemudian reaksi masyarakat luas, nasional dan internasional tentang bencana ini, banyak yang simpati tetapi ada juga yang mengeluarkan pernyataan yang justru menurut saya menurunkan moral siapapun yang mengalami dan menangani bencana-bencana tersebut. Tidak tanggung-tanggung, Ketua DPR pun bertwitter ria menyarankan agar orang-orang tidak tinggal di pantai, tsunami adalah resiko orang-orang yang tinggal di pantai. Menurut saya, setiap manusia hidup memiliki resikon, bahkan orang yang paling berhati-hatipun memiliki resiko sendiri. Baik kita tinggal di kota, desa, tepi pantai, dalam hutan, resiko itu selalu ada. Yang penting bukannya menghindari resiko itu tetapi bagaimana menanganinya. Mudah dikatakan tetapi sulit dilaksanakan. Tetapi, sebagai seorang pejabat yang notabene dipilih rakyat banyak, pernyataan seperti itu sangat sangat menyakitkan hati.

Kemudian ada yang menyatakan bahwa bencana bertubi-tubi ini adalah peringatan Tuhan agar manusia tidak lagi berbuat dosa. Terlepas bahwa pernyataan ini layak untuk dipertimbangkan tetapi hendaknya tidak bijaksana untuk diucapkan dalam situasi seperti ini. Ini adalah bencana, kalaupun pernyataan di atas dijadikan patokan, saya yakin tidak semua orang yang meninggal dunia karena bencana adalah orang-orang yang mendustakan Tuhan. Saya yakin masih banyak orang-orang baik diantara mereka. Oleh karena itu, jikalau memang mau bicara agama, biarlah itu menjadi urusan pribadi masing-masing. Apalagi pada akhirnya, agama adalah antara manusia dan Penciptanya. Memang baik untuk mengingatkan orang lain, tetapi jauh lebih baik kalau kita menunjukkan rasa simpati daam situasi ini daripada menghakimi. Karena hal ini (penghakiman) bukan kewenangan manusia, ini otoritas Yang Diatas.

Memang sedih melihat apa yang terjadi, apalagi kalau kita memiliki kesadaran bahwa kita tidak secara fisik dapat berada disana dan secara langsung membantu. Tetapi saya yakin, banyak saudara-saudara kita yang ikhlas membantu baik energi maupun materi. Tetapi yang juga penting adalah bantuan doa, semoga semuanya diberi ketabahan dan kemudahan ... Dan lagi-lagi, bagi saya pribadi, bencana seperti ini memberi pelajaran sangat berharga, bahwa nikmat hidup dan sehat itu sangat sangat berharga ...