Monday, August 31, 2009

Berseteru dengan Malaysia*

Akhir-akhir ini, katanya tari Pendet diklaim oleh Malaysia dalam salah satu promosinya di Discovery Channel, tapi sampai hari ini terus terang saya belum menyaksikan sendiri iklan tersebut. Jikalau benar bahwa iklan itu ada, yang namanya iklan kan emang buat menarik pasar, klo dipandang Pendet bisa menarik lebih banyak orang untuk mengunjungi Malaysia (walau saya belum menemukan benang merah orang datang ke Malaysia karena mau lihat tari Pendet), ya bolehlah. Namanya iklan kadang bukannya emang comot sana sini? Menampilkan tari Pendet dalam iklan Malaysia, walaupun itu iklan wisata, sebenarnya belum bisa disebut sebagai meng-klaim. Klaim kan jelas, bisa lewat pernyataan lisan atau tertulis dari pihak berwenang, ya mungkin disini Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, atau semacamnya lah. So, jika ada salah satu pejabat Malaysia bilang ke media, baik ngomong langsung atau lewat tulisan bahwa tari Pendet milik mereka, nah itu yang bisa dipermasalahkan dan bisa disanggah bahwa Malaysia mengklaim tari Pendet. Tetapi, menurut saya, kalau masih sebatas iklan, masih bisa diperdebatkan, apalagi yang bikin iklan (kabarnya) Discovery Channel (heran juga ya, sekelas Discovery Channel gak pake riset dulu apa kalau mau bikin iklan untuk suatu negara). Walaupun masih saja bisa dan boleh dipertanyakan, lah klo namanya iklan itu kan biasanya sesuai pesanan yang pasang, nah lo...

Kemudian, seperti biasanyalah reaksi orang Indonesia, dari sekedar mencela dan bilang Malaysia itu maling sampai menuntut pemutusan hubungan diplomatik (emang hubungan diplomatik tuh kayak pacaran apa, boleh putus nyambung seenak-enaknya, yang ini saya nilai kok keterlaluan aja gitu) bahkan sampai perang (sepertinya perang itu cuman modal orang saja tanpa senjata). Mungkin orang Malaysia juga akan mencaci orang Indonesia, masak begini saja bergaduh (ribut), dan mungkin sebaris kata-kata yang merendahkan bangsa, negara Indonesia keluar. Sejujurnya, setiap negara memiliki sebaris makian untuk negara lainnya, ke negara manapun untuk hal apapun. Jujur sajalah, sama seperti di Indonesia, setiap etnis sepertinya memiliki semacam stereotipe terhadap etnis lainnya.

Kemudian, saya baca the Jakarta Post online bahwa Undip tidak akan lagi menerima mahasiswa dari Malaysia gara-gara ribut-ribut soal Pendet ini. Kalau ini, saya pikir Pak Rektor menanggapi isu ini secara emosional saja. Setahu saya, seburuk-buruknya hubungan antara dua negara, ada beberapa hal yang biasanya tetap berjalan dengan lancar seperti pendidikan (mahasiswa satu negara sekolah di negara lainnya walau sedang berkonflik), pariwisata (walaupun tidak banyak) dan perdagangan. Jadi menurut saya, tidak perlulah menolak mahasiswa Malaysia sekolah di Indonesia gara-gara isu tari Pendet ini, toh kebenarannya belum dikonfirmasi lagi dan kalaupun benar tetap saja hal ini kok rasanya malah kurang mendidik. Hal ini bisa jadi malah merugikan Indonesia sendiri, bayangkan berapa saja mahasiswa Indonesia sekolah di Malaysia, bagaimana kalau mereka tiba-tiba dipulangkan semua gara-gara hal ini.

Kemudian, lama-lama rasanya kok jadi gak enak baca koran tentang isu tari Pendet ini, soalnya komentarnya jadi gak sehat lagi. Masing-masing mencari pembenaran atas apa yang terjadi baik dari pihak Indonesia maupun Malaysia, ujung-ujungnya menjadi saling menghina. Tentu sebagai orang Indonesia saya tidak terima kalau dihina seperti "kenapa musti mengklaim sesuatu yang dimiliki bangsa yang ketinggalan 20 tahun dari kita" atau seperti komentar "miskin budaya yang penting kaya pekerti" (keduanya saya ambil dari the Jakarta Post online). Ya, kalau membaca komentar seperti itu siapa sih yang tidak akan emosi. Tapi lagi-lagi, emosipun mestinya ditempatkan pada porsi sewajarnya. 1) Kita mustinya memang mengakui secara ekonomi Malaysia lebih maju dari kita, setidaknya pembangunan sepertinya lebih merata di sana, tapi kita sebagai orang Indonesia jangan pula berkecil hati, berapa penduduk Malaysia dibanding berapa penduduk Indonesia, membagi kesejahteraan kepada penduduk yang kecil jumlahnya jauh lebih mudah daripada mensejahterakan ratusan juta orang. 2) Kemudian, akui sajalah secara bujet promosi mereka jauh di atas kita, untuk ulang tahun kemerdekaan tahun ini saja mereka punya program spesial di channel-channel seperti Discovery, National Geographic dan Asian Food Channel. Bandingkan dengan Indonesia, untuk sekedar bikin iklan yang bagus saja tidak bisa. Saya pernah melihat iklan pembalut wanita beberapa waktu lalu dalam rangka 17an, temanya keanekaragaman budaya Indonesia, iklan itu jauh lebih bagus daripada iklan ultimate in diversity-nya Budpar, bagaimana kita mau bersaing? 3) Kita belum bisa menyediakan lapangan pekerjaan yang cukup dan layak untuk semua penduduk kita, jadinya banyak orang kita yang terpaksa keluar negeri untuk sekedar bekerja, mencari nafkah menyambung hidup. Mungkin orang Malaysia yang keluar sudah yang profesional, jadi tidak ada stereotipe bangsa Malaysia sebagai bangsa babu seperti kita karena yang kita kirim sebagian besar memang tenaga informal.

Kembali kepada sengketa seni tradisional, kita mungkin bisa berkaca bahwa kita harusnya berbenah diri, budaya itu perlu dilestarikan, untuk itu bukan hanya modal mulut dan retorika, ada biayanya. Jaman sekarang biasanya siapa yang bisa bayar dialah yang dapat. Kalau Malaysia bisa mendapatkan "rahasia-rahasia" kebudayaan kita dan kemudian dengan sedikit modifikasi mengklaim miliknya, jangan terus serta merta dibilang menjiplak, hargailah itu sebagai kreasi, (pokoknya asal beda-beda dikit gitu) toh kalau dari sisi sejarah kita menang. Tapi ya itu, memang lebih mudah menyalahkan orang lain daripada menyalahkan diri sendiri. Dan penyakit orang Indonesia itu cenderung reaktif, kalau ada sesuatu yang terjadi baru bertindak, sepertinya menjadi preventif itu susah sekali. Baru kalau budaya kita diusik orang lain kita baru teriak, padahal sebelumnya mungkin kita tidak peduli apa yang kita miliki.

Mungkin mulai sekarang kita menginventaris apa yang kita punya dan tidak perlu menunggu negara tetangga menunjukkan itu. Kalau mengikuti emosi kita tentu tidak akan berhenti memaki, sudah saatnya kita menunjukkan kita bangsa yang besar, kita besar bukan dengan memaki bangsa lain yang mungkin telah merugikan kita, kita besar bukan karena kita menuruti emosi kita, kita besar bukan karena kita mengambil yang bukan hak kita. Kita besar karena kita memiliki beragam budaya dan mampu menjaganya, kita besar karena kita mampu bertindak rasional ketika suatu hal terjadi pada kita, kita harusnya mampu menunjukkan ini dan bukannya menuruti emosi.

*sebenarnya ketika menulis ini saya juga emosi, terutama membaca komentar pro Malaysia, ada yang bilang "I don't understand Indonesians" de el el, well, same here pal, "I don't understand Malaysians either". Kok jadi saling ingin dimengerti, jadi kayak tema lagu melow abg yang lagi berantem pas pacaran...dudududu...

Tuesday, August 4, 2009

Semua (sepertinya) Tergantung Mood

Selama hidup saya sekian puluh tahun di dunia ini (hemm, terkesan tua sangat daku ini), saya memang suka memperhatikan orang, apa yang mereka pakai, apa yang mereka makan, apa yang mereka bawa, apa yang mereka lihat dll. Sepertinya saya ini tidak punya pekerjaan saja melihat orang dengan sebegitunya, tapi saya tidak melihat hal-hal tersebut sambil melotot kok, kadang hanya sepintas, kadang kalau sangat, sangat menarik perhatian saya bisa menikmati waktu saya untuk melihat bagaimana orang tersebut berinteraksi dengan yang lainnya. Jangan salah, ketertarikan ini bukan seperti ketertarikan antara dua insan (regardless of their gender) yang menyebabkan mereka saling jatuh hati, ini lebih kepada ketertarikan yang tiba-tiba datang di saat menunggu bus, menunggu antrian di bank, kantor pos dll, ketika (sepertinya) tidak ada hal lain yang dilakukan. Ini hanyalah ketertarikan tanpa ada maksud apa-apa, kalaupun akhirnya hati ini jatuh juga, yaa, anggap saja bonus ...

Walaupun demikian, saya memang jarang benar-benar memperhatikan mood seseorang, apa yang dia rasakan, apa yang dia pikirkan, apa yang membuatnya sedih/tertawa/bahagia/murung. Saya kadang bertanya memang kenapa Si A terlihat begitu ceria ketika hari sebelumnya terlihat berduka, tetapi lama-lama saya berpikir bahwa keingintahuan untuk yang satu ini hanya selintas saja. Sampai akhirnya, beberapa bulan terakhir ini saya memperhatikan orang-orang sekitar saya dengan segala polah tingkahnya, saya pikir apa yang namanya mood itu memang sangat mempengaruhi bagaimana orang tersebut berinteraksi dengan orang lain. Kadang, saya sangat mudah meminta sesuatu dari seseorang ketika dia sedang senang, tapi ketika wajahnya keruh, untuk berbicara saja malas, maka sepertinya apa yang saya katakan tidak penting lagi. Jika saat-saat seperti ini datang pada seseorang, saya biasanya lebih suka membiarkannya sendiri dan bicara lagi lain waktu kecuali untuk hal-hal yang sangat, sangat penting.

Kenapa orang senang atau kata orang mood-nya sedang bagus? Mungkin dia baru mendapatkan rejeki, anaknya diwisuda dengan nilai membanggakan, istrinya memberikannya sesuatu yang istimewa sebagai kado ulang tahun, cucunya mulai bisa menyebut namanya, atasannya memberikan pujian, apa yang dia inginkan terpenuhi, dan banyak hal lainnya. Kadang, saya sendiri merasa bahwa saya bisa saja tiba-tiba merasa bahagia dan senang tanpa tahu kenapa saya begitu. Perasaan itu tiba-tiba saja datang, dan biasanya untuk yang satu ini, secepat itu dia datang, secepat itu juga dia pergi.

Kenapa orang bertampang murung dan tiba-tiba semuanya terasa salah? Bisa jadi dia baru saja kehilangan seseorang yang berarti dalam hidupnya, anaknya tidak mendengarkan nasehatnya, bawahannya membantahnya, atasannya memarahinya, apa yang benar-benar dia inginkan ternyata diraih oleh orang lain, terlalu capai setelah perjalanan jauh dll. Anehnya, ketika perasaan ini tiba-tiba datang, tidak secepat itu pula dia pergi.

Mengapa perasaan negatif lebih lama ada daripada perasaan bahagia? Mengapa kesedihan itu sepertinya abadi dan kebahagiaan tidak dapat berlangsung selamanya? "Ahh, itu perasaanmu saja, mood-mu baru jelek" mungkin itu komentar yang sering kita dengar. Tapi entahlah, mungkin waktu saya menulis ini mood saya sedang tidak bagus gara-gara ada yang sedang mood-nya jelek. Mungkin benar kata orang bijak, hal buruk cepat menular tapi hal baik susah menirunya.

Tidak ingin menduakan atau bermaksud mempertanyakan kuasa-Nya, tapi bagaimana jika Tuhan mempunyai mood, bagaimana kalau mood-Nya sedang tidak bagus? Mungkin, untuk orang-orang tertentu yang memiliki kekuasaan, mood seharusnya tidak lagi mereka hiraukan. Tapi, lagi-lagi, penguasa kan juga manusia ...