Tuesday, September 16, 2008

Batik asal China Masuk Indonesia

Saya membaca "Kompas" hari ini (16 September 2008) dan menemukan artikel menarik. Sebenarnya saya tidak tahu apakah artikel tersebut bisa digolongkan menarik atau sebaliknya. Ini mengenai bagaimana China melihat peluang bisnis di Indonesia dengan jelinya. Beberapa waktu lalu saya sempat menulis di blog ini mengenai trend batik di Indonesia. Rupanya China melihat hal ini sebagai peluang bisnis yang menjanjikan.

Menurut artikel di "Kompas" tersebut, batik dari China telah membanjiri pasar tradisional di Semarang. Menurut penjual di pasar tersebut, dia mendapatkan pasokan batiknya dari pasar Tanah Abang. Menurut dia lagi batik China harganya jauh lebih murah dari batik Pekalongan maupun Solo dan pembeli lebih menyukainya. Selain karena harganya juga karena tidak luntur. Karenanya, dia tidak lagi menjual batik Pekalongan, yang harganya bisa 2 bahkan 3 kali lipat dari batik China.

Kalau melihat hal tersebut pastilah pengrajin batik lokal yang dirugikan. Pembeli memang tidak bisa disalahkan. Siapa yang tidak mau barang murah dengan kualitas yang relatif lebih tinggi. "Kompas" menulis juga bahwa peran Pemerintah melalui paten dan perlindungan pengrajin batik tradisional mutlak perlu jika kita tidak mau kehilangan seni tradisional yang satu ini.

Disebutkan pula bahwa batik China ini warnanya lebih terang dan dijual dengan harga berkisar 30.000-70.000 rupiah. Jikalau Anda ingin membantu pengrajin batik lokal, mungkin untuk saat ini Anda bisa menghindari membeli batik dengan merk "Orlena" maupun "Nie Wen". Dua merk itulah yang ditulis koran yang saya kutip. Mungkin lebih mahal jika kita membeli batik lokal tapi secara motif dan warna saya yakin batik lokal lebih bagus. Kalau masalah luntur memang pengrajin lokal harus meningkatkan kualitas produksinya. Tapi, tetap saja jika Anda membeli batik lokal dengan mutu yang baik, yang berarti lebih mahal, batik tersebut akan lebih awet. Lagipula, bukankah barang China terkenal murah tetapi tidak awet?

Sebagai bandingan boleh saya kutip beberapa harga di "Mirota Batik" Yogyakarta, untuk selembar kain batik tulis bukan sutra (batik yang benar-benar pengerjaanya manual dan memerlukan waktu yang lama) Anda harus membayar sedikitnya Rp. 500.000. Untuk selembar kain batik Pekalongan dengan warna-warna indah sedikitnya Anda harus membayar Rp. 90.000. Untuk kemeja batik sedikitnya Anda membayar Rp. 50.000, kalau di Beringharjo Anda masih bisa mendapat harga di kisaran Rp. 35.000-an untuk kemeja batik dengan model sederhana. Saya bukannya ingin mempromosikan toko di atas, tetapi saya coba bandingkan dengan harga batik China tadi.

Lihatlah betapa beda harganya lumayan jauh. Tetapi saya tetap percaya bahwa batik lokal jauh lebih bagus. Tidak apalah Anda menabung sebentar untuk membeli batik yang benar-benar batik, yang dibuat oleh orang yang mengerti batik daripada Anda membeli "batik-batikan" yang dikerjakan mungkin dengan asal-asalan. Maksud saya, tetap saja beda antara memakai barang original dibanding barang bajakan? Ya, kalau untuk membeli VCD baru bisa membeli bajakan masak sih untuk batik Anda rela merendahkan standar Anda dengan membeli yang bajakan pula. Jadi, hindari batik bajakan (batik buatan China maksudnya) dan belilah batik lokal (batik Indonesia) yang emang beneran batik …

Monday, September 15, 2008

Insiden Pasuruan

Saya hendak membagi sebuah cerita yang mengerikan sekaligus bikin merinding. Ironis! Sebenarnya kejadian ini dimulai dari sebuah niat baik seorang berlebih di Pasuruan, membagi-bagi sebagian hartanya untuk yang tak berpunya. Tetapi oh tetapi, rencana dan niat baik memang tidak selalu berakhir baik kalau tidak dilakukan dengan baik pula. Sebanyak 21 orang tewas karena berebut sedekah dari bapak kaya yang sayang saya lupa namanya ini.

Dari layar TV saya bisa liat bagaimana ratusan orang berdesakan untuk sekedar mendapatkan sedekah yang saya tidak tahu persis berapa nilainya. Tapi berapapun itu tentu sangat berarti bagi orang-orang yang berebut tersebut. Saya lihat seorang ibu kesakitan di luar pagar besi rumah hartawan tadi karena didesak dari belakang. Saya mendengar tangisan anak walau tidak terekam kamera gambarnya.

Yang tidak terlihat di gambar adalah aparat keamanan, entah polisi maupun satpam, untuk mengamankan kegiatan tersebut. Maksud saya, karena acara tersebut melibatkan banyak orang yang memerlukan bantuan dan biasanya massa cenderung bertindak di luar akal sehat, semestinya ada petugas keamanan untuk mengatur orang-orang tersebut. Mungkin perlu diterapkan sistem antrian sehingga tidak perlu berdesakan. Atau didata saja warga yang membutuhkan bantuan di daerah tersebut, sehingga kalau memang mau membantu sekalian saja pembantu bapak kaya tadi mendatangi rumah orang-orang yang membutuhkan untuk menyalurkan sedekah, sekalian silaturahmi, kan lebih baik. Tidak usahlah membuat headline karena membagi rejeki ke orang lain, katanya kalau kita berbuat kebaikan tidak boleh menyombongkannya. Tapi ini menurut yang saya dengar dari Pak Ustadz dulu waktu ngaji di kampung saya. Tetapi sekali lagi saya memilih berprasangka baik dengan pak hartawan ini, beliau hanya ingin membagi kebahagiaan dengan orang lain, tetapi tidak memperhitungkan kejadian seperti ini.

Komentar teman kantor yang duduk di sebelah saya, "Indonesia ini kaya, inilah yang namanya mati di lumbung padi". Memang ironis bukan? Menurut pejabat Pemda setempat, bapak hartawan ini tidak berkoordinasi dengan pejabat Pemda untuk pengamanan dan pengaturannya mungkin. Padahal ini dilakukan setiap tahun, tetapi kenapa tahun ini menjadi seperti ini?

Begitulah, mungkin si bapak hartawan belum sadar bahwa di Indonesia ini makin banyak orang miskin, banyak orang yang memerlukan sedekah sehingga tidak melihat kemungkinan seperti ini. Tapi walaupun berakhir sedih, semoga niat baik pak hartawan telah dicatat Tuhan, lagipula beliau sudah berusaha untuk melaksanakan niatan tersebut. Berniat baik itupun sudah sulit apalagi melaksanakannya. Jadi, hal ini tetap perlu dihargai, ya toch?

Wednesday, September 10, 2008

Razia di Bulan Puasa

Di Indonesia, banyak hal aneh dan kadang tak masuk akal bisa terjadi setiap saat, walo bagi pelakunya hal itu tidaklah aneh. Saya tidak hendak menulis mengapa hal tersebut aneh dan tak masuk akal, lebih mengapa orang sampai berbuat hal tersebut. Cuma sebagai anggota masyarakat kebanyakan, saya merasa kurang sreg dengan apa yang terjadi selama ini. Bukan berarti bahwa di negara lain tidak pernah terjadi hal-hal aneh, keanehan adalah manusiawi tampaknya. Saat ini adalah bulan puasa. Anda tahu fenomena apa yang muncul di bulan puasa ini? Ya, razia atas nama agama dan moral terjadi di mana-mana. Saya tidak hendak membela mereka yang masih menggunakan jasa PSK di siang bolong (bulan puasa pula) atau saya tidak hendak memihak mereka yang menkonsumsi minuman beralkohol di banyak tempat hiburan malam ketika umat Islam ke Masjid menjalankan sholat sunnah tarawih, saya hanya ingin membagi pendapat saya tentang the-so-called razia tersebut.

Sebenarnya, apakah tujuan razia-razia tersebut (razia minuman keras, pelacuran, perjudian bahkan saya dengar penjualan makanan di siang hari)? Saya kira tujuannya mulia, yaitu ingin agar kesucian bulan yang penuh rahmat ini tidak dinodai oleh hal-hal duniawi yang dapat dianggap sebagai maksiat. Akan tetapi saya malah mendapati di banyak media bahwa guna menjaga kesucian bulan Ramadhan ini, banyak orang malah menodainya dengan perbuatan anarkis. Maksud saya, cara para perazia tersebut menutup tempat-tempat pelacuran, perjudian serta hiburan malam tersebut yang malah bisa membuat masyarakat luas berbalik memihak ke pengelola tempat-tempat yang dianggap perazia sebagai terkutuk tersebut.

Coba saja Anda bayangkan, apabila Anda salah dan ada seseorang mengatakan kepada Anda bahwa Anda salah dengan membawa golok, pentungan dan berkata kasar kepada Anda, apa reaksi Anda pada saat itu? Anda takut, kesal, geram atau mungkin Anda malah balik menyerang. Pertama-tama mungkin Anda akan menyerah kalah, atau tampak seperti menyerah kalah, tetapi diam-diam Anda menyiapkan serangan balik dengan segenap argumentasi dan bukti-bukti pengrusakan yang Anda terima. Bagaimanapun, secara hukum merusak properti milik orang lain kan salah, masalah bagaimana sistem memproses kesalahan tersebut di jalur hukum adalah hal lain. Coba bandingkan jika orang yang menganggap Anda salah tersebut datang baik-baik kepada Anda dan mengajak berdiskusi bagaimana sebaiknya Anda menjalankan bisnis hiburan malam atau apalah namanya itu di bulan puasa, memberikan saran dan pendapatnya, tentu walaupun mungkin merasa kesal Anda akan berusaha untuk mendengarkannya. Keinginan untuk mendengar itu sudah menjadi sebuah awal yang baik untuk berubah, karena sebagian besar orang ingin didengar tetapi enggan mendengar. Tujuan sama, tetapi cara berbeda seringkali memberikan hasil yang jauh berbeda.

Kemudian, ketika seorang teman mengatakan pada saya bahwa ada razia rumah makan yang dibuka di siang hari puasa di salah satu propinsi di Indonesia timur, reaksi saya pertama-tama justru marah, mengapa warung harus tutup di bulan puasa? Maksud saya walaupun ini bulan puasa tidak semua orang berpuasa, baik itu Muslim maupun non-Muslim, dengan berbagai variasi alasannya. Dan tidak semua pemilik warung makan orang Islam kan? Tambahan, orang yang tidak berpuasa kan perlu makan, jadi apa salahnya tetap berusaha di siang hari bulan puasa selama itu bukan tindakan kriminal. Apa perazia akan menanggung biaya hidup pemilik warung ini kalau dilarang berjualan di siang hari selama bulan puasa, padahal dia tidak buka di malam hari? Kenapa orang memaksa orang lain untuk menghormati keyakinannya tetapi tidak mau menghormati keyakinan orang lain. Saya heran memangnya kalau warung buka di siang hari puasa, itu akan membatalkan puasa semua orang ya. Mengapa ini tidak dianggap sebagai ujian atas “ke-puasa-an” orang-orang yang ingin menutup warung tersebut. Jikalau Anda bisa melalui ujian tersebut maka bolehlah Anda dipuji-puji sebagai umat Tuhan yang berbakti. Berpuasa bukan bagaimana Anda mengeliminasi tantangan, tetapi lebih kepada bagaimana Anda menghadapi tantangan tersebut.

Kemudian mengenai razia-razia di tempat-tempat hiburan malam, jika Anda dapat menghentikan aktivitas mereka bulan ini dengan alasan puasa (atau saya lebih suka menyebutnya sebagai membawa-bawa nama Tuhan), apa alasan yang akan digunakan untuk melakukan hal yang sama di bulan-bulan lainnya? Jika bulan ini semua orang (terlihat) alim kemudian bulan berikutnya tiba-tiba orang-orang mabuk di jalan-jalan dan tidur di pelukan PSK, Anda sebut apa hal itu? Setahu saya setelah puasa adalah bulan Syawal, jika tidak salah itu adalah bulan peningkatan. Ibadah Anda tidak akan berhenti setelah bulan puasa berakhir kan. Setelah bulan puasa Anda dihadapkan pada tantangan bagaimana mempertahankan apa yang Anda lakukan selama puasa bukan? Tetapi kalau setelah bulan puasa semua yang Anda sebut berbau maksiat giat lagi kan tidak ada gunanya razia-razia penuh kekerasan tersebut. Toh, yang merazia bukan orang yang terbebas dari nafsu duniawi. Saya sering berpikir bahwa mereka itu adalah kepada sekelompok orang yang egois yang hanya peduli pada kepentingan pribadi dan golongannya sendiri dan untuk mencapainya mengorbankan kepentingan orang lain. Ini seperti mereka menari-nari di atas kepedihan orang lain.

Kemudian mengenai nama Tuhan (agama) dipakai sebagai alasan untuk melakukan razia tersebut, saya pikir tidak pada tempatnya. Tuhan itu tidak perlu diagung-agungkan juga sudah agung, tidak perlu Tuhan Anda bela dengan pentungan dan kekerasan karena Tuhan itu tidak menyukai kekerasan. Tuhan tidak memerlukan bantuan Anda, tetapi sebaliknya. Kalau mau jujur, apakah orang-orang yang melakukan razia dengan dalil agama tersebut benar-benar dilandasi hati nurani untuk berbuat kebajikan bagi ummat? Jikalau ya, kenapa tindakannya menjadi kriminal begitu. Jika ya, kenapa justru apa yang mereka lakukan tersebut seperti mencoreng nama agama yang mereka bela-bela itu. Karena tindakan anarkis tersebut tidak heran orang men-cap Islam sebagai agama penyuka kekerasan. Kita boleh berkelit dengan berbagai bukti dari Al-Quran maupun Hadist. Tetapi agama, saat ini, bukan hanya melulu tentang kitab, tetapi juga tentang pengikutnya. Apa yang dilakukan sebagian umat suatu agama, itulah yang orang pikir sebagai agama itu sendiri. Jadi sekali lagi, teks boleh bilang Islam berhati lembut, tetapi ternyata kenyataan lapangan berbalik 180⁰, jadi apa mau dikata?

Kemarin saya membaca email yang judulnya lebih kurang “istri tetangga”. Semula saya pikir bahwa email itu akan mengingatkan pembaca untuk tidak mengganggu istri orang lain. Ternyata saya mengartikannya secara literal, ternyata maksudnya lain sama sekali. Ini tentang seorang mahasiswa yang pada masa kuliahnya pernah berdiskusi dengan tokoh Emha Ainun Najib. Dalam ceritanya (kurang lebih seingat saya), si mahasiswa yang anak kos ini ditanya apa dia memiliki tetangga, apa tetangganya punya istri, apa dia pernah melihat kaki istri tetangganya? Sampai pada pertanyaan terakhir di mahasiswa bertanya kenapa ditanya seperti itu? Intinya adalah bahwa istri tetangganya itu bukan urusan si anak kos ini, apa dia cantik atau jelek, dia adalah urusan suaminya. Begitupun keyakinan, urusi keyakinan Anda sendiri, keyakinan orang lain biar dia yang mengurusnya. Demikian kurang lebihnya.

Sekali lagi, terkait dengan razia-razia di atas bukan berarti saya setuju dengan pelacuran, tetapi saya termasuk orang yang percaya bahwa jika Anda ingin dihormati maka Anda harus dapat menunjukkan bahwa Anda layak untuk itu. Jika ada yang salah di lingkungan Anda, pentungan dan kekerasan bukan jalannya. Karena kedua hal itu hanya akan menambah permasalahan saja. Yang penting bukan menghilangkan permasalahan tersebut untuk sementara tapi bagaimana menyelesaikannya untuk jangka panjang. Terkesan klise? Memang demikian idealnya kan? Bagaimana orang akan menunjukkan toleransi terhadap keyakinan Anda jika Anda tidak mau melakukan hal yang sama kepada orang dengan keyakinan berbeda? Jadi kenapa harus membawa-bawa pentungan untuk merazia tempat-tempat yang dianggap tidak sepantasnya ada di bulan puasa ini, di bulan ini kita mencoba bertobat bukan malah membuat kesalahan baru.

Friday, September 5, 2008

Balada Mudik Lebaran

Setiap tahunnya, di Indonesia, mudik hari raya merupakan tradisi, baik lebaran maupun natal. Karena sebagian besar penduduknya Muslim, maka mudik lebaran merupakan fenomena tersendiri. Tiket tujuan ke semua daerah di Indonesia kalau lebaran tiba menjadi berlipat harganya dan tiba-tiba menjadi langka. Dari tiket kereta sampai pesawat. Bahkan travel pun saya yakin musti pesan jauh-jauh hari, kalau tidak bakal kehabisan juga.

Makanya, antrian panjang di berbagai stasiun di Jawa (setahu saya jalur kereta yang paling aktif memang hanya di pulau ini, entah kalau di Sumatera bagaimana) sebulan sebelum keberangkatan menjelang lebaran menjadi berjubel dipenuhi orang-orang yang bersemangat liburan atau “mudik”, istilah yang sering dipakai. Walaupun dibilang bahwa ada kereta tambahan, tetap saja tiket sudah habis dari pagi. Contohnya pagi ini, saya berencana kembali ke Jakarta tanggal 5 Oktober, tiket bisa dipesan sebulan sebelumnya yang artinya adalah hari ini. Mengapa tanggal 5, karena tanggal 6 kantor sudah mulai lagi dan kalau sampai Jakarta setidaknya semalam sebelumnya maka bisa beristirahat dahulu setelah 8 jam perjalanan. Kami sudah berada di Gambir sekitar jam 08.20. Betapa senangnya saya karena tidak melihat antrian panjang. Tetapi ketika sampai di depan loket, diberitahu bahwa semua tiket dari Yogya-Gambir di hari itu sudah habis untuk semua kereta. Itu berarti dalam hitungan satu jam lebih sedikit, semua tiket sudah ­sold out! Hebat bukan?

Waktu itu saya heran juga, bukannya katanya pembelian tiket diperketat untuk menghindari calo – PT KAI sedang disorot di banyak media re: calo tiket ini – tetapi tetap saja tiketnya sudah habis sejak pagi. Ini juga karena memang sistem pembelian tiket KA sekarang online sehingga bisa diakses di stasiun manapun di Indonesia. Tapi tetap saja kecewa juga. Teman saya sempat berkomentar sehari sebelumnya waktu kami ke Gambir karena salah menghitung tanggal, ada spanduk yang bertuliskan kira-kira “Calo tidak memecahkan masalah”, tapi begitu kami keluar dari pemesanan tiket sudah ada orang yang menawarkan tiket, jadi mana yang benar?

Kalau tiket kereta sudah habis, sebenarnya bisa coba pesawat tapi ya ampyun tiket pesawat ke Yogya itu mungkin sama mahalnya dengan tiket ke Bali. Huaduh, cape deh … heran kenapa bisa begitu. Mungkin karena memang banyak orang yang sering mondar mandir ke Yogya kali yaa … NY memang selalu menarik, karena harga-harga yang jauh lebih murah, batik-batik yang beraneka, jajanan yang macam-macam, dan relatif dekat dari Jakarta. (catatan: NY=NewYorkarto Hadiningrat…:D).

Ya, begitulah, pelajaran moral penting dari peristiwa di atas adalah, jikalau Anda ingin berlibur ke Yogya, baik lebaran maupun bukan, dan Anda adalah tipe orang yang masih berpikir soal keuangan, maka pesanlah tiket dan rencanakanlah perjalanan Anda dari jauh-jauh hari supaya Anda tidak mengalami yang saya alami, pusing nyari tiket pulang…terlalu…