Monday, January 28, 2008

Jakarta Semakin Mahal

Ternyata bukan saya saja yang berpikiran seperti ini. Saya pikir biaya hidup di Indonesia (terutama Jakarta) akan jauh lebih murah daripada di Australia, atau di negara lain pada umumnya. Ternyata pemikiran ini tidak sepenuhnya benar. Ketika saya pulang ke Jakarta, saya mengharapkan bahwa dengan uang Rp. 100.000 (atau sekitar AUD 12) saya dapat membeli banyak barang (saya pakai standar harga di supermarket seperti Carrefour, Hero atau Matahari, bukan niat saya beriklan disini lo ya). Tetapi perkiraan tersebut meleset jauh. Ternyata harga2 barang di Jakarta sudah jauh melambung dari setahun yang lalu.

Seorang teman yang baru pulang dari Belanda juga merasakan hal yang sama. Jika di Belanda dia bisa membeli roti mantou (roti beras khas China biasanya digoreng atau dikukus untuk memakannya, biasanya untuk sarapan) seharga € 1, maka dia harus mengeluarkan Rp. 14.000 untuk barang yang sama, yang sebenarnya harganya sama saja, hanya dalam mata uang yang berbeda. Jika harga2 barang sebenarnya sama, apa yang membuatnya lebih mahal?

Tentu saja jawaban atas pertanyaan di atas adalah bahwa jumlah uang perbulan yang diterima di Indonesia hanya sekitar US$ 140-an (dengan kurs $1=Rp. 9000). Saya memakai standar gaji PNS golongan IIIa, yang masih single. Anda bisa bayangkan jika dengan uang sekitar $ 100, untuk bertahan di Jakarta selama sebulan, dengan pengeluaran yang lebih banyak tetapi harga dan kebutuhan melonjak. Bagaimana tidak pusing memutar otak bagaimana cara bertahan dengan halal.

Memang perhitungan di atas tidak akan berlaku bagi pegawai swasta, PNS Depkeu atau pegawai BI misalnya. Tapi kalau cuma PNS biasa ya begitulah keadaannya. Kalau Anda kebetulan manajer di perusahaan besar di Jakarta dan membaca blog ini, Anda mungkin akan mencibir saja. Dan mungkin Anda akan bersyukur tidak pernah lolos tes CPNS (:D). Tapi memang kenyataannya demikian, tanggung jawab tidak lebih sedikit, jika ada kesalahan sedikit saja seluruh dunia mengutuk, belum tuntutan atasan langsung yang macam2, belum ditambahi keluhan2 rekan2 kerja yang lebih senior (maupun junior), tapi tetap kesejahteraan masih minim.

Bukannya saya tidak bersyukur. Saya hanya ingin memberikan gambaran betapa hidup semakin sulit di Indonesia (secara umum). Jika dibandingkan mereka yang tidak memiliki pekerjaan dan harus menghidupi satu keluarga tentu saya ini termasuk yang amat sangat beruntung. Saya masih bisa makan dengan layak, tidur nyenyak, dan masih bisa nonton di bioskop jika ada film baru. Jujur, saya sangat bersyukur dengan apa yang saya miliki saat ini.

Tetapi ya itu tadi, kalau dilihat dari tingkat kelayakan hidup, mungkin Jakarta memang bukan sebuah tempat yang dapat dianggap layak untuk hidup nyaman. Setidaknya bagi orang2 berpenghasilan rendah. Belum lagi udaranya yang amat sangat kotor, kemacetan dimana2, taksi yang katanya tarif lama tapi malah mengalahkan taksi tarif normal, angkot yang sering berdesakan, busway-pun sekarang semakin kacau saja, dan preman di setiap sudut kota. Dengan semua itu bagaimana Anda akan merasa nyaman dan aman hidup di ibu kota RI ini.

Lagi2 semua dihadapkan pada pilihan, tetap tinggal atau pindah. Jika tetap bertahan maka harus tahan dengan semua resiko. Jika pun memutuskan untuk pindah, resikonya juga tidak kalah banyak. Permasalahannya adalah kadang kesempatan itu cuma datang sekali, dan sekali kita lewatkan maka dia tidak akan datang lagi. Permasahalannya lagi, bagaimana kita tahu bahwa bertahan adalah sebuah kesempatan yang tidak boleh dilewatkan, atau pindah merupakan keputusan terbaik? Sepertinya banyak hal lain yang dapat dijadikan pertimbangan. Kelemahan dengan banyak pertimbangan adalah, in the end of the day, jika semua pertimbangan dipikirkan masak2 maka tidak ada waktu lagi untuk merealisasikan keputusan hasil timbang menimbang itu.

Jadi, mahalnya biaya hidup memang harus disikapi dengan hati2. Gangguan tidak sedikit dan tidak mudah untuk diabaikan begitu saja. Tetapi, apa kenaikan biaya hidup dengan sangat drastis ini sebenarnya sebuah “konspirasi”, menekan kenaikan jumlah orang yang berduyung2 ke ibukota? Entahlah, yang jelas, jikapun teori itu benar, membeli tempe pun Anda akan terheran2, dengan harga yang sama barang yang didapat jauh lebih sedikit dari sebelumnya. Oh Jakarta2 (Indonesia pada umumnya), mahal nian untuk bertahan di kotamu …

Sampaikan Salam Saya ...

Waktu itu pagi hari, jam 4 pagi, saya harus cepat2 ke bandara untuk mengejar pesawat pagi dari Jakarta. Tetapi salam perjalanan, ternyata hujan turun dengan amat lebatnya. Teringat pengalaman mendapatkan turbulence beberapa hari sebelumnya, saya sempat was2 juga. Dan dengan ‘optimisnya’ saya mengira pesawat saya akan delay beberapa waktu, apalagi Garuda, yang terkenal telat, suka gak tepat waktu dan hal2 yang terkait dengan waktu lainnya, kecuali dating awal …

Tetapi kenyataan berkata lain, nyatanya pesawat diberangkatkan pada waktu yang ditentukan, walaupun gerimis masih rintik2 di luar. Lagi2 perasaan was2 saya malah semakin besar. Saya sudah menguatkan diri seandainya goncangan2 tidak bersahabat akan saya alami. Tetapi lagi2, itu hanya prasangka buruk saya. Ternyata selama penerbangan, semuanya Alhamdulillah berjalan dengan lancar dan kami selamat sampai Yogyakarta.

Waktu keluar dari pesawat, saya berada di belakang seorang bapak separuh baya berbadan agak subur. Sesampai di pintu pesawat, di depan dua orang pramugari yang sibuk tersenyum dan mengucapkan terima kasih, bapak2 ini saya dengar mengatakan, ‘Mbak, tolong sampaikan salam saya pada pilotnya, landing-nya bagus!’ Saya cuman tersenyum di belakangnya, tapi terus terang, selama menggunakan jasa pesawat terbang, walaupun perjalanannya sangatlah mulus, komentar tersebut baru pertama kali saya dengar.

Selama ini kalau penerbangan buruk saja kita memaki2 maskapai yang membawa kita, tapi kalau semuanya baik2 saja, jarang kita memberikan apresiasi kita. Saya tidak menuduh orang lain, ini semata2 yang selama ini saya praktekkan. Bukan apa2, tetapi memang rasanya aneh kalau kita memberikan komentar seperti bapak2 di atas. Seharusnya sih tidak apa2, cuman karena mungkin tidak (atau belum) terbiasa makanya jadi terdengar aneh.

Tetapi mungkin hal2 seperti itu memang diperlukan, mengucapkan terima kasih, memberikan sedikit pujian dengan tulus. Daripada memberikan pujian tetapi sebenarnya niatnya untuk menjilat orang yang dipuji, maka untuk hal seperti ini, diam akan jauh lebih baik. Maka, jika lain kali pesawat mendarat dengan selamat dan mulus, selain mengungkapkan terima kasih, tapi juga rasa syukur, mungkin tidak ada salahnya pesen sama mbak2 pramugari di dekat pintu keluar, ‘tolong, sampaikan salam saya pada pilot, landing-nya bagus… .’

Tuesday, January 15, 2008

Dari Mana?

Menurut Anda, pertanyaan macam apa yang sulit dijawab? 'Kapan Menikah?' (bagi yang belum) atau 'kapan punya anak?' (bagi yang sudah menikah), 'Kapan mantu?' (bagi yang anaknya sudah besar). Ketiga pertanyaan itukah atau ada pertanyaan lainnya? Sebenarnya ketiganya bisa dijawab dengan mudah asal ada jawabannya dan memang tidak ingin merahasiakan sesuatu. Tapi jika pun ada jawaban atas pertanyaan tersebut, kalau memang belum berniat mempublikasikannya, maka menjadi sulit juga. Ataukah pertanyaan2 yang Anda temui dalam wawancara kerja, dalam sidang skripsi maupun thesis, merupakan pertanyaan2 sulit?

Tapi, dari semua pertanyaan sulit yang sering kita temui, menurut saya ada satu pertanyaan sederhana yang kadang menjawabnya perlu berpikir juga. Setidaknya bagi saya, mungkin karena memang otak saya yang lambat prosesnya atau memang sebenarnya jawaban dari pertanyaan sederhana tersebut tidaklah begitu sederhana. Bagi saya, pertanyaan yang terkadang membuat bingung (dan karenanya saya anggap tidak mudah) adalah pertanyaan 'dari mana?' Untuk menjawabnya Anda harus benar2 peka terhadap konteks kapan dan dimana pertanyaan tersebut ditanyakan. Tapi konteks bisa saja tumpang tindih. Jadi misalnya Anda di terminal Kampung Rambutan, baru saja sampai dari Bandung, dari mengunjungi teman, dan Anda asli Surabaya, kemudian orang di sebelah Anda di angkot bertanya 'dari mana Mbak/Mas?', Anda mau menjawab bagaimana? Anda bisa bilang, Bandung, Surabaya atau bahkan mengunjungi teman. Tapi ketika Anda menyebutkan salah satunya, terkadang ada perasaan (dan pertanyaan baru timbul dari diri kita), maksud orang tadi, 'dari mana asal saya', atau 'saya pergi dari mana?'

Permasalahan 'dari mana' seringnya adalah pertanyaan ini sering tidak dijelaskan. Maksudnya, apakah si penanya bermaksud bertanya asal, barusan datang dari mana, dari unit mana? Jika Anda di kantor, dengan banyak bagian, kemudian anda barusan pulang kampung, dan Anda berada di unit yang bukan tempat Anda bekerja, ketika Anda ditanya 'dari mana?' Anda mau menjawab apa, dari unit A, dari kota B? Jawabannya tidak pernah salah tapi kadang tidak tepat. Ketika Anda menjawab 'dari unit A', maka mungkin akan muncul pernyataan yang memperjelas 'dari mana' tadi, mungkin si penanya akan mengatakan, 'maksudnya, asal Anda dari mana?' Nah lo, susah juga kan?

Sebenernya tidak sulit sih, cuman sebenernya kita perlu peka terhadap situasi. Tapi jikapun Anda ditanya 'dari mana' Anda bisa menjawab apa saja, sesuai dengan situasi Anda, jika pun dianggap tidak nyambung oleh si penanya jelaskan saja jika memang menurut interpretasi Anda si penanya mengharapkan jawaban itu. Kalau tidak, dikoreksi saja, gampang to...(sepertinya sih demikian)

Kembali Pulang...

Setiap waktu yag telah berlalu pasti membawa perbedaan kepada setiap orang, walaupun perbedaan itu tidaklah besar. Apa yang terjadi di suatu tempat, pada orang2 yang tinggal di tempat tersebut setelah beberapa lama ditinggalkan? Apakah ada gedung baru yang didirikan, keadaan lalu lintas semakin parah, banjir dimana-mana, ataukah, luasan taman kota yang dulunya gersang tak terawat tiba2 menjadi berubah dengan hijaunya rimbunan pohon, semaraknya warna2 bunga yang sedang berkembang. Bagaimana dengan orang2nya? Semakin banyakkah yang tinggal disana atau sebaliknya. Apakah mereka masih merupakan orang2 yang sama yang suka membuang sampah sembarangan, yang tidak peduli dengan orang lain, orang2 yang sama yang selalu berdesak2an di angkutan umum. Ataukah, mereka adalah orang2 yang menyimpan bungkus permennya dan baru membuangnya setelah menemukan tempat sampah, orang yang dengan sadar dan senang hati memberikan tempat duduknya pada orang2 yang sudah renta dan perempuan atau anak2.

Saya belum dapat mengatakan apa yang berubah dari Jakarta setelah hampir setahun saya tinggalkan. Perjalanan dari bandara sangatlah lancar, tidak ada kemacetan, menurut sopir taksi yang mengantar saya, hari itu Sabtu dan libur panjang, jadi orang2 mungkin sudah keluar Jakarta. Cuaca juga tidak sepanas yang pernah saya ingat, waktu itu mendung. Tetapi seingat saya, walaupun mendung, Jakarta bukannya biasanya panas, hareudang kata orang Sunda (apakah penulisan kata tersebut tepat?). Tetapi waktu kurang dari satu hari memang belum dapat memberikan gambaran sebenarnya mengenai kota ini.

Apapun itu, yang saya baca di media sangatlah parah, macet karena pembangunan jalur busway, banjir karena musim hujan sudah datang, dan gubernur baru tentunya. Tetapi terus terang, yang terakhir bukan menjadi hal yang menarik bagi saya. Jikalau kemarin Jakarta sepi bukan berarti bahwa hal itu berlaku setiap hari. Saya membayangkan tanggal 2 Januari nanti, ketika banyak orang sudah mulai masuk kantor, maka macet akan dapat ditemui dimana2.

Tetapi saya tetap menemui hal yang sama seperti yang saya temui di banyak daerah di Indonesia. Ketika saya masuk daerah pemukiman, banyak orang yang memperhatikan apa yang saya lakukan, mungkin mulai membicarakannya. Setelah hampir setahun saya dapat melakukan apapun tanpa ada yang peduli, kini saatnya saya harus juga memperhatikan orang lain, apa yang mereka katakan. Walaupun itu bukan (dan tidak selalu) berarti bahwa saya harus mengikuti pendapat2 mereka. Mendengar saja terkadang sudah cukup. Pada kesempatan yang lain, bahkan akan lebih baik kalau kita pura2 tidak mendengar sama sekali.

Saya tahu mungkin akan sangat tidak nyaman kembali ke lingkungan dimana orang2 suka membicarakan apa yang kita lakukan atau katakan. Tetapi bukan Indonesia namanya jika orang2 sudah lagi tidak peduli apa yang Anda kerjakan. Bahkan Anda membeli barang baru saja, mobil atau furniture baru, tidak sampai keesokan harinya orang2 di kompleks Anda sudah tahu semua. Hebatnya, ini tidak perlu memakai alat komunikasi yang canggih, tidak memerlukan satelit maupun internet. Ini hanya perlu kekuatan kata2 para tetangga di kompleks Anda. Tetapi, sekali lagi, saya bahagia kembali lagi ke lingkungan itu, karena nanti kalau ada apa2 saya akan banyak yang membantu, walaupun mendapatkan juga bonus diomongin orang2… Harga yang Anda harus bayar untuk kembali ke rumah memang besar, tapi akan jauh lebih mahal kalau Anda meninggalkannya.