Thursday, February 28, 2008

Food (in)Security…

"Add another item to the list of threats to world peace: Food."
Kutipan tersebut saya ambil dari edisi online Time international tgl 27 Februari 2008. Miris membacanya, apalagi melihat ilustrasinya, sekumpulan orang yang berebutan makanan pembagian organisasi Palang Merah di sebuah daerah kumuh Nairobi, Kenya. Ada yang menarik dari artikel ini, kenyataan bahwa di negara2 maju seperti AS dan Inggris, para petani dapat menikmati keuntungan berlipat, sementara petani2 di Pakistan, Senegal, Burkina Faso, serta negara2 berkembang lainnya sedang kembang kempis mempertahankan hidup. Jangankan untuk menabung di bank, lah untuk makan dan mencukupi kebutuhan dasar saja (walaupun faktanya mereka yang menghasilkan bahan makanan) sulit.

Naiknya harga minyak disinyalir sebagai salah satu penyebab kenaikan harga kebutuhan pokok, hampir di semua negara. Jika harga minyak naik, maka harga2 barang industri lainnya juga naik, transportasi pun tidak ketinggalan, sehingga harga2 makanan ikut melambung juga. Masih ingat kan bagaimana harga tempe naik karena kelangkaan kedelai, yang disebabkan gagal panen dan mahalnya kedelai impor? Yah mungkin seperti itu juga dengan kenaikan bahan kebutuhan pokok ini.

Bagaimana mungkin seseorang akan berpikir jernih dan tenang kalau perutnya lapar? Bagaimana mungkin seorang bapak akan menyekolahkan anak2nya, memberikan pendidikan yang lebih baik jika untuk makan tiga kali sehari saja kadang tidak tercukupi? Bagaimana ibu hamil yang akan melahirkan anaknya pergi ke bidan terlatih atau dokter ketika biaya perawatan untuk orang sakit tidak lagi terjangkau? Jika harga kebutuhan pokok naik, memang akan memacu kenaikan harga2 lainnya. Nah kalau mau makan saja sulit, bagaimana dengan kebutuhan lainnya?

Coba saja bayangkan saja jika peristiwa rebutan makanan seperti di daerah miskin di Nairobi ini terjadi di banyak negara, secara serentak, kan efeknya akan sangat menyedihkan. Belum jika terjadi di perbatasan, wah bisa2 perang. Kadang2 saya suka merasa bersalah kalau tidak bisa menghabiskan makanan di piring saya. Bukan apa2, makanan itu yang bagi saya mungkin membosankan, bisa jadi sangat berharga bagi banyak orang lainnya yang membutuhkan. Makanya, sekuat tenaga saya selalu berusaha menghabiskan makanan yang saya makan. Sebenarnya itu bukan solusi permasalahan kenaikan bahan makanan, tapi secara moral, sepertinya hal itu dilakukan sebagai salah satu bentuk tanggung jawab terhadap makanan.

Memberikan bantuan makanan juga bukan penyelesaian jangka panjang. Sampai kapan sih orang bisa bergantung pada bantuan? Kan akan lebih bermanfaat untuk ke depannya jika diberi bekal bagaimana mendapatkan sumber makanan secara kontinyu; bertani atau berdagang? Ya, solusi ini klise, tapi bagaimana lagi. Walau saya juga sadar petani kalau di Indonesia ini sebagian besar tidak memiliki lahan sendiri, alias buruh tani. Jadi, mau mempraktekkan kemampuan bertani dimana kalau lahan saja tidak punya, secara sekarang orang tidak suka menanam padi, atau jagung serta kedelai, sepertinya menanam pondasi perumahan lebih menguntungkan.

Kalaupun orang2 memiliki uang lebih pada tahun2 lalu, maka uang dengan jumlah yang sama sekarang tidak dapat membeli sejumlah barang yang sama dengan tahun2 berikutnya. Harga uang makin turun, harga barang yang naik. Sepertinya ada semacam “konvensi”, harga itu kalau sudah naik ya susah turun, atau malah pantang turun. Yaa, lama2 jadi kaya para pemimpin yang tak tahu diri mau terus2an menjabat bukan? Tapi memang begitulah kenyataannya, harga yang naik jangan diharapkan turun, terutama untuk kebutuhan pokok. Berharap saja pendapatan naik, jadi masih bisa menutup kebutuhan dasar setidaknya. Tapi mengharapkan yang satu ini juga kadang2 terlalu muluk juga.

Anyway, coba saja bayangkan dunia yang penuh dengan orang2 kelaparan, air susah, anak sakit2an, mau beli bensin ngantri, listrik byar pet, banjir dimana2, kebakaran hutan juga, gimana ndak perang tuh dunia seperti itu. orang ngantri saja potensi perkelahian antara sesamanya tinggi, belum kalau masalah tersebut dipersulit dengan permasalahan2 lainnya.

Ya, jadi para calon Miss Universe, Miss World, Miss Understanding (:-p), lain kali kalau ditanya tentang konsep world peace, jangan asal ngomong world peace ajah, tapi dijelasin juga bagaimana itu si world peace dicapai. Ohh, pertanyaan pertama (Anda boleh bilang ini sinis, saya memang sinis!), bagaimana bisa berlenggak lenggok memamerkan inner beauty bisa mem-promote world peace hayoo?

Wednesday, February 27, 2008

Tawuran Antar-Mahasiswa (lagi)…

Kemaren sore saya melihat breaking news di salah satu TV swasta mengenai tawuran antara mahasiswa di Universitas Hasanuddin, Makasar. Yang terlibat para mahasiswa Fakultas Teknik dengan Fakultas Ekonomi (atau Sastra yaa…) yang dibantu oleh teman2nya dari Fisip. Sengaja saya sebutkan dengan jelas, biar kalau mereka baca ini jadi bisa mawas diri (ini juga kalau baca, kalaupun baca juga kalau masih ada rasa malu jadi mawas diri).

Saya melihat tayangan TV tersebut jadi miris sendiri, kenapa bisa orang2 yang maunya dibilang terpelajar, berpendidikan. Mereka itu orang2 berpendidikan tinggi dibanding rakyat kebanyakan, yang makan pun kadang sulit. Tapi, lagi2, kelakuan kok ya minus, pokoknya memalukan. Saya tidak tahu masalah sebenarnya apa, soalnya yang baca berita cuman bilang klo perselisihan tersebut kelanjutan dari perselisihan sebelumnya. Semoga saja masalahnya bukan rebutan cewek (atau cowok) kan kalau iya, idih amit2 deh! Bukannya rebutan pasangan itu harus diselesaikan tapi kan itu urusan pribadi yang harusnya diselesaikan secara pribadi juga, gak perlu ngajak massa deh. Tapi sekali lagi, ini semoga bukan masalah pribadi seperti itu.

Mereka sangat kalapnya sampai saling lempar kerikil, batu bahkan bahan material di sekitar kampur antar sesama. Ruang perkuliahan ada yang sampai rusak, pecahan batu bata, kerikil juga berserakan, polisi tak kuasa mencegah, sampai2 dikeluarkan tembakan peringatan. Apa yang begini ini yang nantinya akan memimpin bangsa. Apa yang begini ini jauh lebih layak dari para pemimpin yang dituduh korupsi, yang mereka minta untuk diturunkan. Bukannya saya mau membela para koruptor itu, tapi saya tidak suka dengan kelakuan seperti ini, menghujat orang lain sementara diri sendiri juga tidak beres.

Oke, kembali ke tawuran tersebut. Saya heran apa sebenarnya akar permasalahan yang mereka selisihkan sehingga harus saling lempar batu seperti itu. Jika anak2 muda di Palestina melakukan hal ini karena mereka tidak memiliki senjata untuk mempertahankan apa yang menjadi haknya, bangsanya. Lah ini, apa yang mereka pertahankan sehingga harus mengorbankan kepentingan orang banyak seperti ini. Walaupun disorot kamera TV pun sepertinya mereka tidak malu. Sudah putus urat malu itu, ketika emosi bertahta di atas akal sehat.

Seharusnya, mereka kan lebih bisa mengemukakan logika daripada emosi. Tapi kenapa mereka malah lebih mengedepankan baku hantam. Sampai2 rektornya sendiri yang musti turun. Mungkin banyak orang yang melihat tayangan itu akan berkomentar, “mau jadi apa anak2 ini”. Wahai para mahasiswa, apa sih yang kalian cari dalam tawuran seperti itu? Sepertinya mereka tak mau kalah dengan anak2 SMA dalam hal tawuran ini. Tapi kalau dibandingkan dengan anak SMA begini, mungkin mereka masih bisa ngeles, “ahh TNI sama Polri aja masih suka tawuran, kenapa kita tidak?” Nah lo…speechless deh jadinya …

Friday, February 22, 2008

Krisis Energi

Sudah dua hari ini ada giliran pemadaman listrik di Jakarta. Kemarin waktu pagi2 datang ke kantor, listrik juga byar pet, mati hidup. Menurut berita, itu dikarenakan pembangkit listriknya sedang kekurangan pasokan batubara karena gelombang pasang dan banjir di beberapa daerah, hingga batubara tidak bisa dipasok dengan segera. Waktu saya dengar batubara untuk bahan bakar pembangkit listrik, saya hanya bisa komentar, hari gini masih pake batubara!!!

Sebenarnya sudah ada wacana Indonesia mau bikin Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Idenya canggih, dan kalau untuk deterrence secara politik wah efeknya bisa huibat, saking hebatnya. Bagaimana tidak, secara senjata dan kapal2 kita yang sudah uzur itu saja cukup untuk membikin Australia kelabakan, ketakutan, jangan2 Indonesia menyerang neh. Bukan itu saja, waktu ada rencana membeli Sukhoi dari Rusia, wacana di negara kangguru itu tuh sudah begitu hebohnya. Baru rencana itu, baru mau beli, belum jadi, entah kalau sekarang sudah terbeli. Nah apalagi kalau kita punya PLTN, huaduh gak kebayang deh orang2 di negara itu. Ini contohnya saja. Tapi, PLTN itu banyak kelemahannya terutama kalau dibangunnya di Indonesia. Bagaimana tidak, la wong busway yang BBG (Bahan Bakar Gas) saja bisa terbakar gara2 supirnya gak mau memperhatikan peringatan penumpang. Lah bagaimana ceritanya dengan PLTN, mungkin jika punya sudah berkali2 bocor, berkali2 meledak juga bisa kali yee, trus seluruh Indonesia sekarang sudah terkena radiasi, memang ini membayangkannya keterlaluan sadis tapi bagaimana lagi …

Saya bukannya meremehkan ahli kita. Saya yakin secara substansi Indonesia memiliki banyak orang yang pandai (ini bertentangan dengan pernyataan seorang yang famous dari dunia entertainment kita). Tapi, kita ini sukanya meremehkan hal2 yang kita anggap enteng, tidak penting, tapi kenyataannya yang kecil2 itu justru implikasinya bisa luar biasa, ya seperti bau asap di busway tadi yang karena tidak ditanggapi jadi kebakaran. Saya ingat seorang praktisi perhotelan bilang, yang begini ni yang namanya pitfall, hal kecil yang berakibat fatal. Kadang memang kita suka memperhatikan hal2 kecil, remeh, tapi yang memang benar2 sepele, yang kalaupun tidak diurus juga tidak akan terjadi apa2, tapi justru hal2 “sepele” lainnya yang mustinya diurusi malah dibiarkan saja.

Coba bayangkan, klo jadi bikin PLTN, konstruksinya saja nanti mesti gak bener karena materialnya dikorupsi, trus klo dah jadi mesti kita merawatnya juga asal2an, trus kalau ada kebocoran kecil, mesti bilangnya ahh sedikit ini, tidak apa2, belum lagi kita ini hidup di negara yang rentan gempa, nah kalau sudah meledak baru tuh komentar di mana2 untuk kemudian melakukan kesalahan yang sama. Pernah ada yang bilang, “membuat sebuah kesalahan itu suatu kebodohan.” Nah, Anda bisa bayangkan to bagaiamana kalau kesalahan tersebut dibuat berulang2, hemmm…jadinya retarded? Ya sudahlah pokoknya intinya demikian.

Negara ini sedang krisis energi, dan memang bukannya tidak ada yang punya inisiatif membuat energi alternatif. Sudah banyak lah yang menawarkan solusi, biofuel misalnya. Masalahnya saya pernah baca tapi lupa dimana, oke lah biofuel itu energinya jenisnya yang ramah lingkungan, bisa diproduksi berulang2, dan sumbernya berlimpah. Permasalahannya pengolahannya itu yang tidak ramah lingkungan. Terus kalau mau dibilang berlimpah2 juga tidak bisa dibenarkan begitu saja. Coba Anda lihat, banjir dimana2, panen gagal, dimana lagi akan ditanami tanaman2 sumber biofuel. Kalau misalnya sumber energinya kedelai, lah tempe saja sekarang mahal, karena kedelai langka, jadinya tidak efektif juga to. Sebenarnya menurut saya, ide biofuel itu sangat bagus, masalahnya perlu dipikirkan bagaimana pengolahannya supaya ramah lingkungan, bagaimana menjamin pasokan sumbernya ketika cuaca sedang tidak bersahabat seperti sekarang.

Saya pernah melihat di TV ada seseorang dengan ide untuk mengolah sampah menjadi bahan bakar. Caranya, membakar sampah2 tersebut untuk kemudian dibuat briket2 seperti briket batubara, atau gampangnya seperti arang. Idenya bagus, untuk mengurangi sampah tapi caranya yang menurut saya malah menimbulkan masalah baru, yaitu asap dari proses daur ulang serta hasil samping dari penggunaan briket2 sampah tersebut. Tuh, kan siapa bilang orang Indonesia tidak pandai, banyak sudah muncul ide bagus. Tapi ya itu, kadang kita memang berpikirnya tidak terlalu jauh sehingga ekses2 ke depan kadang belum terpikirkan dengan matang.

Kita kan punya cukup sinar matahari, bahkan akhir2 ini gelombang laut yang tinggi tapi sampai sekarang belum terdengar penggunaannya secara maksimal, atau dengan kata lain dalam skala besar. Akhir2 ini malah kita sering diguncang gempa. Ini pemikiran gila, tapi anyway, sebenarnya bisa tidak ya energi gempa itu dimanfaatkan untuk pembangkit listrik, daripada destruktif. Ya memang sih itu akan insidental saja tapi kan kalau dapat dimanfaatkan kan lumayan to. Ya, tapi sekali lagi, ini pemikiran gila…

Tuesday, February 19, 2008

Busway: Antara Benci dan Rindu

Busway sebenarnya, kalau boleh jujur, sangat membantu. Mungkin bukan jenis angkutan umum yang nyaman2 sangat, tapi kalaupun dikatakan sama sekali tidak nyaman juga tidak betul. Di semua busway ada fasilitas AC, ada tempat berdiri yang memadai dengan pegangan tangan pula. Tempat sampah memang tidak disediakan karena kebijakan pengelola, penumpang tidak boleh makan/minum di dalam busway. Alat pengaman juga cukup memadai, karena ada palu pemecah kaca kalau tiba2 terjadi hal yang tidak diinginkan. Tetapi untuk pemadam kebakaran, saya tidak ingat pernah melihatnya di busway, jadi jika memang alat yang satu ini tidak ditemukan berarti pengamanan memang boleh dibilang kurang memadai.

Selain itu, busway punya jalur sendiri, sehingga kalau ada kemacetan, bisa cepat kalau pake busway. Namun, jalur busway yang aman dari pengguna jalan lain, maksudnya tidak digunakan oleh pengguna jalan lain, selama ini yang saya tahu hanya di jalur Blok M-kota. Terus terang juga saya belum mencoba semua jalur busway. Selama ini yang sering saya gunakan hanya Blok M-Kota kemudian Senen-PGC-Kampung Rambutan. Kalau dibandingkan ya jauh, armada jelas lebih bagus Blok M-Kota, secara perjalanan ya lebih nyaman jalur busway yang dibuka pertama kali itu. Kalau yang di Kampung Rambutan, jalur busway-nya bisa digunakan oleh pengguna jalan lainnya, jadinya kebayang kan kalau lagi macet, naik busway atau bukan sama saja.

Idealnya memang jalur busway jangan sampai mengurangi lebar jalan yang sudah ada, cuman masalahnya kalau mau dibuat jalan khusus kaya monorail yang tidak jadi2 itu, kalau di Jakarta tempatnya sudah tidak ada. Tapi untuk banyak orang busway sangat membantu lo, terutama kalau angkutan kota yang biasa digunakan datangnya lama dan kalaupun ada berdesak2an dan jalanan macet. Bukan berarti naik busway itu nunggunya tidak lama dan tidak berdesak2an, tapi setidaknya lumayan, masih bisa pegangan dan tidak usah repot2 nyari2 dompet tempat uang setoran angkot. Kadang membayar di muka memang jauh lebih praktis, tidak usah kawatir kembalian yang belum diberika dll.

Khusus untuk berdesak2an, para pengguna busway tentunya sudah pengalaman juga. Sering jika saya pulang kantor tepat jam 5 atau 6, jika ada busway lewat bisa dipastikan penumpangnya seperti sarden, berdempet2an, penuh. Saya tidak tahu apakah karena armadanya yang sedikit/masih kurang, atau karena manajemennya saja yang belum benar2 jalan sehingga kedatangan busway tidak merata dan tidak bisa diperkirakan waktunya. Maksud saya, akan sangat2 membantu jika busway itu ada jadwalnya. Misalnya, setiap 15 menit atau setengah jam sekali ada busway yang datang, sehingga penumpang bisa mengira2 kapan musti berangkat ke halte, dan waktu tidak habis di jalan untuk menunggu angkot. Tetapi, ini semua dengan satu syarat, jika ada jadwal maka ajadwal tersebut dipenuhi, bukan hanya sebagai pajangan belaka. Mungkin, permasalahan dengan hal satu ini adalah jika jalur busway-nya tidak hanya untuk busway saja sehingga waktu tidak dapat ditentukan kapan. Tapi, untuk jalur seperti Blok M-kota kan mestinya sudah dapat dijadwalkan karena jalurnya eksklusif, dan waktu bisa dihitung dengan pasti. Tapi lagi2, ini perlu usaha ekstra, yang bagi pengelola angkutan umum tidak ada dalam kamus mereka.

Ya begitulah balada busway, jika sedang tidak penuh, jalanan lancer, nyaman nian naik busway. Tapi jika penumpangnya penuh, nunggunya lama, dan harus sampai di tujuan dengan segera, busway ini memang keterlaluan…begitulah busway kita. Sekilas info, di Yogya akan ada juga yang namanya Trans Jogjakarta, belum dapat share secara saya belum pernah mencoba, belum tahu kapan akan mulai jalan, baru melihat halte2nya sajah…mungkin setelah itu akan ada lagi Trans Bogor, Trans Surabaya, Trans Denpasar, Trans Jayapura, Trans….

Thursday, February 14, 2008

“Sudah Becheq, Tidak Ada Ojheq ….”

Kutipan di atas sedang tenar di Jakarta, orang2 mengambilnya dari pernyataan yang (konon) berasal dari pesinetron pendatang baru, Cinta Laura, namanya seperti judul sinetron. Seorang Indonesia keturunan Jerman, yang klo ngomong Indonesia gak faseh dan aksennya kebule2an sehingga, menurut ybs musti belajar Bahasa Indonesia ke Australia (nah lo!). Jangan2 klo Bahasa Inggrisnya parah musti belajar ke China! Anyway, itu menurut email2 yang beredar, bahwa pernyataan tersebut berasal dari ybs yang Indo-Jerman itu.

Sebenernya ini mengenai keadaan akhir2 ini di Jakarta, sering sekali hujan. Bukannya tidak bersyukur, tapi jalanan yang kadang berlubang2 itu dipenuhi genangan air. Ini saya tidak sedang mengeluh pada Tuhan, tapi pada yang punya tanggung jawab memelihara jalan2 di ibu kota ini. Mending2 klo para pengendara motor dan mobil sadar diri klo kendaraannya melewati jalanan berlubang yang penuh itu bisa merugikan pengguna jalan lainnya (re: pejalan kaki). Maksudnya klo kebetulan ada orang jalan deket genangan air itu trus ada kendaraan lewat, ngebut pula, pejalan kaki tersebut kan akan basah kecipratan air tadi.

Ya, seperti yang saya alami tadi pagi. Ketika saya jalan dekat genangan air, tiba2 ada motor yang lewat dan begitulah, air hujan yang tergenang itu mampir dan ikut membahasahi baju saya. Padahal saya baru saja keluar rumah, on the way ke kantor. Untungnya, airnya tidak banyak jadinya saya tidak basah kuyup dan musti ganti baju, hanya kecipratan sedikit saja. Tapi, walaupun sedikit tak urung makian keluar juga, walau tidak saya teriak ke pengendara motor tersebut. Rugi, dia sudah jauh, lagian malu saja dilihat orang, pagi2, gerimis, teriak2 di perempatan, padahal yang dimaki tidak di situ.

Klo pejalan kaki yang disalahkan karena dekat jalan dekat genangan air, lah jawabannya simple, mau jalan kemana lagi? Lah si genangan air itu “nongkrongnya” dekat trotoar, deket tempat orang jalan. Belum kalau trotoarnya dipake pedagang kaki lima buat kios, jadinya kan mau tak mau jalan di jalan raya. Jalan yang jadi “hak”nya yang pake kendaraan, terpaksa kita ambil buat jalan kita sendiri. Lah bagaimana lagi, namanya juga terpaksa….

Tetapi, tidak semua pengendar mobil maupun motor yang gak punya hati, yang tidak mau tahu apakah pejalan kaki atau pengendara kendaraan lainnya dirugikan oleh kelakuannya. Masih ada kok yang memperhatikan orang lain, walau sedikit. Pagi ini, lagi2 setelah kecipratan sedikit air, saya harus melewati genangan air yang malah seperti danau di jalur busway depan Makopasmar. Musti rajin2 melihat apakah ada busway atau bus “nyasar” lainnya yang lewat jalur itu. tadi pagi sih waktu saya tepat berjalan dekat genangan itu, busway di belakang saya dengan baiknya berhenti, menunggu saya melewati genangan air itu. bisa dibayangkan kalau pas saya jalan disitu, tiba2 dengan kecepatan tinggi ada kendaraan yang lewat disitu, basah kuyuplah saya.

Begitulah, cerita singkat tentang pejalan kaki, genangan air, serta kendaraan2 di Jakarta. Kalau “jalanan becheq, tidak ada ojheq”, hati2 sajalah kalau jalan di jalanan Jakarta. Waspadalah, waspadalah …

Monday, February 11, 2008

Sekali Lagi Kita Kecolongan…

Pagi ini saya membaca salah satu artikel di thejakartapost.com, selain berita tertembaknya Presiden Timor Leste, Ramos Horta oleh kelompok pemberontak Alfredo Reinado. Ini mengenai "pencurian" kekayaan alam kita, lagi2 nama salah satu kopi yang kita ekspor dipatenkan bangsa lain. Tetapi untuk saat ini bukan Malaysia, ini salah satu negeri di Eropah, Belande! Nama perusahaannya adalah Holland Coffee B.V. Entah ketularan Malaysia, entah emang niatnya menangguk untung berlipat2, tapi tetap saja, mereka mematenkan salah satu nama kopi kita. Karena pematenan tersebut, Indonesia tidak lagi dapat menggunakan nama tersebut untuk produk kopi ekspor kita.

Kopi yang namanya dicatut adalah kopi Gayo. Menurut artikel tersebut, kopi jenis ini hanya tumbuh di Aceh Tengah dan Bener Meriah. Rachim Kartabrata dari Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) menyatakan bahwa Perusahaan Holland tersebut telah mengirimkan surat kepada pihaknya untuk tidak menggunakan kata "Gayo" untuk produk kopi Gayo yang diekspor ke Belanda. Pihak Belanda tersebut mengklaim bahwa perusahaannya telah mendaftarkan kata tersebut dalam salah produknya, "Gayo Mountain Coffee".

Indonesia sudah sering sekali kena beginian, pernah tempe, trus batik, trus lagu, sekarang kopi, mungkin besok2 hari akan ada lagi yang diklaim pihak asing. Dari tanaman yang bisa tumbuh dimana-mana (re: kopi), sampai hal-hal unik milik Indonesia (re: batik), dengan enaknya diaku milik bangsa lain. Memang beginilah kalau kita terlalu banyak memiliki kekayaan tapi tidak menyadari bagaimana menjaga dan memanfaatkan kekayaan tersebut.

Tapi, lagi-lagi orang Belande itu kok ya ndak berpikir panjang, mana ada kopi dari Belanda namanya Gayo, yang jelas2 nama Aceh. Eh, tapi kopi tumbuh ndak di Belande? Jangan2 mereka cuman beli dari negara lain trus dilabeli "Gayo" trus diekspor ke mancanegara. Haduh, yang satu ini lebih parah lagi. Tidak kreatif sekali kumpeni2 itu. Sudah menjajah selama beratus2 tahun, bukannya berpikir ganti rugi malah menimbulkan kerugian lebih besar. Yah, tapi mana ada sih bangsa penjajah yang mau mikirin negara jajahan, apalagi mereka sudah tidak dapat memeras jajahannya.

Mustinya kita belajar dari kesalahan, bagaimana caranya melindungi apa yang kita punya, salah satunya ya mematenkan produk2 kita. Saya dengar memang mahal awalnya, tapi pada akhirnya kita sendiri yang diuntungkan. Cuman, karena kita ni ada "tradisi" menggunakan barang2 bajakan (contoh dvd film bajakan) – "kita" dari artinya juga termasuk saya loh hehe – maka hak paten tentu seringkali kita abaikan. Bahkan tidak sedikit yang belum mengerti hak yang satu ini. Kita sering merasa memiliki, cuman jarang menerima konsekuensi bahwa memiliki berarti juga merawat, menjaga …

Begitulah, jika suatu saat nanti ada produk atau kesenian Indonesia yang diklaim milik bangsa lain kita sudah nggak heran lagi kan. Jadi, jika suatu saat, apakah itu Malaysia, apa Belanda mempatenkan gejog lesung ya jangan mendadak muntap2 hehe (sedang membayangken para kumpeni menumbuk padi di lesung …)