Monday, July 28, 2008

“Losing my religion”: on the Nuke

Ini sebenarnya gara-gara saya membaca “Newsweek” edisi 26 Mei-2 juni 2008. Di dalamnya ada salah satu artikel yang menarik perhatian saya. Artikel ini secara umum adalah wawancara dengan salah seorang pendiri Greenpeace – organisasi lingkungan internasional yang sangat terkenal itu – yang berubah pandangan mengenai nuklir. Bapak ini adalah Patrick Moore.

Mr. Moore dulunya adalah salah satu orang yang sangat menentang penggunaan tenaga nuklir untuk tujuan apapun, termasuk untuk pembangkit listrik. Seperti diketahui banyak orang, Greenpeace sampai sekarang konsisten dengan ide untuk tidak menggunakan tenaga nuklir walaupun sebagai tenaga listrik. Alasannya adalah limbah nuklir sangat sulit untuk diolah kembali, ataupun didaur ulang secara alami. Namun, Mr. Moore mulai meragukan keyakinannya sendiri ketika dia sadar bahwa sebenarnya tenaga nuklir banyak digunakan di bidang kedokteran dan menyelamatkan hidup banyak orang. Dia juga mengkritik para “petinggi” Greenpeace yang tidak memiliki latar belakang pendidikan formal science tetapi pada kenyataannya menangani isu-isu yang bersinggungan bahkan merupakan isu-isu yang terkait dengan ilmu kimia, biologi maupun genetik.

Hal lainnya adalah terkait dengan semakin langkanya bahan bakar fosil yang walaupun mencemari lingkungan ternyata terbukti sangat diperlukan. Dengan adanya krisis energi, tenaga alternatif seperti matahari dan angin memang mulai banyak dikembangkan di negara-negara maju. Akan tetapi, sampai saat ini biaya untuk mebuat pembangkit listrik dengan kedua tenaga tersebut masih sangat mahal dan pada akhirnya menjadikan proyek-proyek kedua tenaga alternatif ini menjadi tidak efisien baik dari segi ketersediaan tenaga listrik itu sendiri dan terutama biaya. Selain itu, terkait dengan “mitos” bahwa limbah nuklir tidak bisa atau sangat sulit dimanfaatkan lagi (didaur ulang) ternyata tidak sepenuhnya benar. Mr. Moore mengemukakan beberapa data mengenai hal tersebut. 50% tenaga nuklir yang diproduksi di AS ternyata menggunakan hulu ledak nuklir Rusia yang telah dijinakkan.

Mr. Moore juga menganalogikan non-proliferasi nuklir dengan penggunaan machete (semacam parang). Machete memang banyak berperan dalam konflik berdarah di berbagai belahan dunia, tetapi benda yang sama banyak digunakan oleh petani di negara berkembang untuk membuka lahan, yang berarti mendatangkan kebaikan bagi banyak orang. Kemudian pertanyaannya adalah perlukah melarang penggunaan machete ini karena perannya dalam berbagai konflik? Jawaban Mr. Moore adalah, melarangnya bukanlah sebuah pilihan yang harus diambil. Ditambahkan lagi bahwa tidak ada satu pun reaktor nuklir yang berperan dalam pembuatan bom atom Hiroshima.

Membaca artikel tersebut seperti membaca seseorang yang menemukan keyakinan barunya. Dengan segala data dan bukti dia berusaha untuk membuktikan bahwa apa yang dia (baru) percaya adalah benar. Saya tidak dapat mengatakan bahwa Mr. Moore salah dan Greenpeace atau siapapun yang menentang nuklir adalah benar, atau sebaliknya. Yang menarik justru bukan siapa yang benar dan siapa yang salah. Tetapi yang menarik adalah bagaimana seseorang dengan sebuah kepercayaan yang begitu kuat tentang suatu hal dan pernah menentang pemerintah karena kepercayaanya itu tiba-tiba berbalik dan mengatakan bahwa apa yang selama ini dia percaya adalah salah. Yang lebih menarik lagi adalah bahwa dia berani mengakui bahwa dia salah dan berkampanye untuk menyuarakan kebenaran yang baru ditemukannya itu. Tetapi tolong jangan diartikan bahwa “masa lalu” Mr. Moore (penentang nuklir) adalah kesalahan total. Sekali lagi saya tekankan bahwa baik buruknya nuklir itu tergantung bagaimana kita melihatnya dan untuk keperluan apa dia dikembangkan, dan baik buruknya untuk suatu masyarakat.

Mungkin saya pernah menulis di sini juga bahwa Indonesia tidak seharusnya memiliki reaktor nuklir karena berbagai alasan, dan saya masih memegang itu. Sekali lagi dengan keterbatasan saya yang tidak memiliki dasar teknik nuklir dan hanya mendasarkan apa yang ditulis dan dikatakan orang, saya masih meyakini pendapat saya itu. Akan tetapi, bukan berarti bahwa saya menolak mentah-mentah apa yang disampaikan Mr. Moore. Dalam beberapa (dan bahkan banyak) hal pendapatnya perlu dipertimbangkan dan dipelajari kembali.

Tetapi sekali lagi, nuklir itu sekarang bukan hanya menjadi komoditas teknik atau ekonomi saja tetapi lebih dari itu dia merupakan komoditas politik. Mungkin, untuk memutuskan perlu/tidaknya reaktor nuklir bisa jadi bukan karena pertimbangan energi alternatif ataupun efisiensi biaya tetapi lebih pada harga diri atau pertimbangan keamanan suatu negara dari (ketakutannya akan) serangan militer negara lain (yang sebenarnya tidak begitu relevan untuk masa sekarang). Yang mana yang benar memang masih layak untuk diperdebatkan, tetapi untuk saat ini biarkan yang memiliki pengetahuan teknis tentang itu yang memutuskan. Bahkan keputusan orang yang kompeten saja terkadang merugikan, bagaimana jika keputusan itu dibuat oleh orang yang tidak tahu secara mendalam, ya toch?

Ibukota Indonesia pindah (?)

Apa yang ada di benak sebagian besar orang Indonesia jika ada pernyataan, “ibukota negara pindah”? Bagi para politisi (terutama anggota Dewan yang terhormat) mungkin akan segera memanggil Presiden dan jajarannya, mempertanyakan (lebih tepat kalau dibilang menggugat), memberikan pandangan (atau bisa juga dibilang berteori a la anggota Dewan), membuang banyak waktu jajaran Presiden yang hanya pada akhirnya tidak memberikan solusi. Maklum, fasilitas di Jakarta ini sudah terlalu lengkap, jalan sudah mulus walau macet, jadi kalau anggota Dewan terhormat pindah di tanah belantara antah berantah, ya kok kayaknya tidak pantas untuk kedudukan mereka (hidup adalah kedudukan). Bagi para pelaku bisnis akan sangat concern karena ini masalah uang, bagaimana bisa menjalankan bisnis dengan lancar jika pemangku kebijakan berada jauh dari jangkauan, waktu adalah uang, jarak adalah uang (hidup adalah uang). Bagi para pegawai pemerintah (terutama golongan bawah) mereka akan mempertanyakan bagaimana fasilitas perumahan bagi mereka, apakah diberikan gratis atau harus mencicil KPR di tempat baru (hidup adalah mencicil KPR dan bunganya). Bagi para supir angkot dan kernetnya, mungkin yang mereka pedulikan hanyalah, “terus, penduduk Jakarta pindah semua tidak, sebagian besar maih ada to, kalau begitu ya baguslah setidaknya masih bisa memenuhi setoran” (hidup adalah mengejar setoran). Bagi sebagian lainnya dari berbagai kalangan, terutama yang berpendidikan, mereka mungkin hanya akan berkomentar, “ah, mimpi kali yee…” (bagi mereka, hidup adalah menjadi skeptis).

Begitulah, memang akan sangat sulit memindahkan Jakarta ke tempat lain di Indonesia, maksudnya dengan menyediakan fasilitasnya sekalian, terutama untuk pemerintahan, karena idenya memisahkan pusat bisnis dan pusat pemerintahan. Malaysia sukses dengan Putra Jaya, tetapi ingat kasus mereka tidak sepelik Jakarta, dan Malaysia lebih memiliki sumber daya untuk itu. Majalah “Intisari” edisi Juni 2008 mengupas keadaan ini.

Rata-rata kepadatan Jakarta saat ini mencapai 15.000 orang per kilometer. Karena persebaran tidak rata, bisa jadi ada satu wilayah dimana tiap kilometernya dihuni lebih dari jumlah tersebut. Jakarta itu ternyata hanya memiliki daya dukung untuk 6 juta orang saja, yang berarti sejak tahun 1986 angka tersebut telah terlampaui. Ada banyak fakta baru yang diungkap mengenai kondisi ibukota ini, seperti bahwa ketinggian permukaan tanah setiap tahunnya turun 0,8 cm; 55% pencemaran air tanah disebabkan oleh limbah dari septic tank; sepanjang 2007 hanya ada 73 hari berkualitas udara baik, naik dari 2006 yang hanya 45 hari, naik dari 5 tahun sebelumnya yang rata-rata hanya 30-an hari (saya tidak tahu ini di Jakarta sebelah mana dan sebaik apa kualitasnya).

Kalau dilihat, memang ibukota ini dijejali dengan banyak bangunan bertingkat yang tinggi-tinggi tetapi tidak terlihat pemanfaatan tanah untuk jalur hijau. Jika Anda ke Jakarta (terutama di bilangan Senayan) satu ruas jalan penuh dengan mal-mal besar, depan belakang, berhadap-hadapan dan anehnya semuanya ramai dikunjungi orang (beli atau tidak itu urusan lain). Di bagian lainnya banyak dibangun “Pusat Grosir” dengan konsep seperti ITC hanya namanya dibikin Indonesia saja. Menurut majalah diatas, pembangunan Jakarta mamang selama ini adalah “pro market dan bukan pro rakyat … Jakarta dibangun dengan modal kapital besar tetapi modal sosial nol.” Bahkan salah seorang nara sumber menyatakan bahwa adanya pertentangan antara gedung megah dan fasilitas wah dengan rendahnya tingkat ketaatan warganya disebut sebagai, “gagalnya proses transisi dari daerah tradisional ke kota modern. Bangunan fisiknya bagus, tapi manusianya, maaf ya, masih kampungan.”

Sebenarnya, pada jaman Soekarno, terdapat wacana untuk memindahkan ibukota ke luar Jawa. Waktu itu daerah yang dipilih adalah Palangkaraya. Pertimbangannya adalah untuk memeratakan pembangunan daerah bagian barat dan timur karena lokasinya berada di tengah-tengah negara. Konsep ini terinspirasi dari pindahnya ibukota Brasil ke Brasilia, dengan pertimbangan lokasi di tengah negara. Tetapi saat ini bahkan Brasilia pun menjadi “korban” urbanisasi sehingga kota yang dirancang hanya untuk 500.000 orang sekarang dijejali 2,5 juta manusia. Mungkin inilah masalah klasik perpindahan pusat kekuasaan itu. Jika pun memang benar-benar pindah, ibukota negara memang selalu akan menjadi daya tarik tersendiri untuk mereka yang ingin memperbaiki nasib. Sehingga pilihan jatuh pada pindah ke ibukota. Kota yang dirancang hanya untuk sedikit orang bisa jadi menjadi tidak kondusif lagi karena sudah terlalu banyak yang datang dan tinggal.

Tetapi mungkin bisa dibandingkan dengan Canberra, ibukota Australia. Semua kegiatan pemerintahan negara tersebut dipusatkan di Canberra yang memang benar-benar kota buatan. Sedangkan perdagangan dan bisnis tetap berada di Sydney dan beberapa negara bagian lainnya. Hasilnya adalah, Canberra mungkin merupakan salah satu ibukota negara paling sepi dan karena tidak ada urbanisasi besar-besaran seperti Jakarta maupun Brasilia, pemerintah bisa fokus ke urusan-urusan lainnya. Bahkan, karena sepinya pemerintah Canberra memiliki program untuk menarik para pensiunan untuk hidup dan tinggal disitu. Tetapi lagi-lagi, ini kembali kepada masalah ketaatan dan perilaku penduduk suatu negara. Saya tidak mengatakan bahwa orang Australia lebih baik dari orang Indonesia (percayalah dalam beberapa hal selain disiplin, mereka bisa jauh lebih menjengkelkan), tetapi mungkin karena jumlah mereka lebih sedikit sehingga lebih mudah diatur dan sistem hukum mereka berfungsi dengan baik. Terlepas dari perpindahan ibukota, coba bandingkan Indonesia dengan negara-negara yang lebih kaya di Asia Tenggara, penduduknya pasti jauh di bawah Indonesia (tentu Anda akan setuju karena Indonesia adalah negara dengan populasi terbesar di seluruh ASEAN).

Permasalahan lain jika memang ibukota pindah adalah biayanya akan terlalu besar, untuk mempersiapkan lahan dan membangun infrastruktur serta memnindahkan SDM-nya. Tetapi kalau menurut saya pribadi ini lagi-lagi kembali ke niat, jika memang mau (dan mampu tentu saja) hal itu bisa dilakukan. Jika infrastruktur yang dipersoalkan, bila melihat ke belakang, Jakarta dulu juga bukan apa-apa, daerahnya berawa-rawa (menurut yang saya baca dari bukunya Pramudya). Jadi, sekarang mau pindah atau tidak, mau menyelamatkan bumi Jakarta itu sendiri atau tidak? Jika tidak pindah, mungkin ada solusi lainnya (yang pasti banyak ditentang aktivis HAM), pindahkan saja orang-orang dari Jakarta (atau dalam kata lain usir mereka yang “tidak berkepentingan” dari Jakarta). Masalahnya, siapa yang berkepentingan dan siapa yang tidak? Kalau melihat hal ini, pindah ibukota adalah wacana dari jaman ke jaman, Soekarno dengan Palangkaraya, Soeharto dengan Jonggol, presiden lainnya dengan daerah yang lain, hanyalah wacana, wacana, dan wacana. Pada akhirnya hidup adalah memiliki wacana (terlepas dari keinginan untuk merealisasikannya…).

Friday, July 25, 2008

Earl Grey and Me ...

Saya sebenarnya bukan tipe orang yang terobsesi pada jenis minuman tertentu. Bukan tipe orang yang harus minum kopi/teh begitu mata terbuka di pagi hari. Atau bukan tipe orang yang tidak bisa hidup tanpa orange juice. Saya hanya tipe orang yang tidak bisa tanpa air, sesederhana itu. Tetapi sekitar sebulan yang lalu tiba-tiba saya pengen banget minum teh Earl Grey, yang mahal itu. Bukannya saya ini sombong tidak mau lagi minum teh melati atau teh tubruk tapi aroma Earl Grey itu ngangeni gitu lo ... (ini gara-gara pernah hidup di antara bule-bule). Tetapi masalahnya "hanya" dua; harganya kalau di Indonesia ini (menurut standar saya) mahal, dan tidak semua supermarket menjualnya.

Akhirnya, demi merasakan dan mencium aroma si Earl yang abu-abu itu, minggu kemarin saya paksakan juga hunting ke mal cukup besar di bilangan Jakarta Selatan. Ya, akhirnya saya temukan juga teh yang satu ini. Walaupun mahal, tetapi (lagi-lagi) demi ingin kembali merasakan teh yang satu ini, saya beli juga. Akhirnya begitulah akhir pencarian Earl Grey saya. Mungkin kalau menyitir kata Andrea Hirata, saya ini termasuk mengidap penyakit gila nomer sekian ... obsessive compulsive pada Earl Grey, the tea ...