Sunday, November 2, 2008

Jumlah Orang dengan Berat Badan Lebih Menyamai Jumlah Orang Lapar

Setidaknya itulah sekilas yang saya baca di www.globalissues.com, ironis bukan. Sementara beratus ribu orang kelaparan di DR Congo karena perang saudara, atau banyak orang Indonesia yang susah untuk makan tiga kali sehari, banyak orang lain di bagian dunia lainnya yang menderita obesitas! Makanan cepat saji lah yang selama ini dituding sebagai penyebab utamanya. Tetapi, saya tidak hendak menekankan pada makan apa saja orang-orang itu hingga menderita obesitas tapi lebih betapa ironisnya perbandingan di atas. Menurut web yang sama, “sejak 1980 jumlah orang yang kurang makan turun menjadi 1,1 milyar, sementara itu jumlah orang dengan berat badan lebih telah mencapai 1,1 milyar”.

Hidup kadang tidak adil memang. Tapi pertanyaannya, hidup bagian mana yang telah berlaku tidak adil, elemen hidup yang mana yang membuat perbedaan begitu besar. Ketika dunia disibukkan dengan isu ketahanan pangan, ternyata isu itu tidak berlaku bagi setiap negara, setidaknya bukan bagi setiap orang. Di manapun juga sudah sering berlaku, ketika ada yang mati kelaparan, ternyata tidak sedikit yang mati kekenyangan, entah karena kecelakaan, sistem distribusi yang tidak rata atau entah karena kesalahan kebijakan. Tetapi apapun itu, kenyataan tidak bisa dipungkiri begitu saja bahwa memang koin memang memiliki dua sisi yang berbeda, ada yang gelap ada yang terang, ada siang ada malam, ada lapar (kelaparan) ada kenyang (atau dalam hal ini kekenyangan) …

Tuesday, September 16, 2008

Batik asal China Masuk Indonesia

Saya membaca "Kompas" hari ini (16 September 2008) dan menemukan artikel menarik. Sebenarnya saya tidak tahu apakah artikel tersebut bisa digolongkan menarik atau sebaliknya. Ini mengenai bagaimana China melihat peluang bisnis di Indonesia dengan jelinya. Beberapa waktu lalu saya sempat menulis di blog ini mengenai trend batik di Indonesia. Rupanya China melihat hal ini sebagai peluang bisnis yang menjanjikan.

Menurut artikel di "Kompas" tersebut, batik dari China telah membanjiri pasar tradisional di Semarang. Menurut penjual di pasar tersebut, dia mendapatkan pasokan batiknya dari pasar Tanah Abang. Menurut dia lagi batik China harganya jauh lebih murah dari batik Pekalongan maupun Solo dan pembeli lebih menyukainya. Selain karena harganya juga karena tidak luntur. Karenanya, dia tidak lagi menjual batik Pekalongan, yang harganya bisa 2 bahkan 3 kali lipat dari batik China.

Kalau melihat hal tersebut pastilah pengrajin batik lokal yang dirugikan. Pembeli memang tidak bisa disalahkan. Siapa yang tidak mau barang murah dengan kualitas yang relatif lebih tinggi. "Kompas" menulis juga bahwa peran Pemerintah melalui paten dan perlindungan pengrajin batik tradisional mutlak perlu jika kita tidak mau kehilangan seni tradisional yang satu ini.

Disebutkan pula bahwa batik China ini warnanya lebih terang dan dijual dengan harga berkisar 30.000-70.000 rupiah. Jikalau Anda ingin membantu pengrajin batik lokal, mungkin untuk saat ini Anda bisa menghindari membeli batik dengan merk "Orlena" maupun "Nie Wen". Dua merk itulah yang ditulis koran yang saya kutip. Mungkin lebih mahal jika kita membeli batik lokal tapi secara motif dan warna saya yakin batik lokal lebih bagus. Kalau masalah luntur memang pengrajin lokal harus meningkatkan kualitas produksinya. Tapi, tetap saja jika Anda membeli batik lokal dengan mutu yang baik, yang berarti lebih mahal, batik tersebut akan lebih awet. Lagipula, bukankah barang China terkenal murah tetapi tidak awet?

Sebagai bandingan boleh saya kutip beberapa harga di "Mirota Batik" Yogyakarta, untuk selembar kain batik tulis bukan sutra (batik yang benar-benar pengerjaanya manual dan memerlukan waktu yang lama) Anda harus membayar sedikitnya Rp. 500.000. Untuk selembar kain batik Pekalongan dengan warna-warna indah sedikitnya Anda harus membayar Rp. 90.000. Untuk kemeja batik sedikitnya Anda membayar Rp. 50.000, kalau di Beringharjo Anda masih bisa mendapat harga di kisaran Rp. 35.000-an untuk kemeja batik dengan model sederhana. Saya bukannya ingin mempromosikan toko di atas, tetapi saya coba bandingkan dengan harga batik China tadi.

Lihatlah betapa beda harganya lumayan jauh. Tetapi saya tetap percaya bahwa batik lokal jauh lebih bagus. Tidak apalah Anda menabung sebentar untuk membeli batik yang benar-benar batik, yang dibuat oleh orang yang mengerti batik daripada Anda membeli "batik-batikan" yang dikerjakan mungkin dengan asal-asalan. Maksud saya, tetap saja beda antara memakai barang original dibanding barang bajakan? Ya, kalau untuk membeli VCD baru bisa membeli bajakan masak sih untuk batik Anda rela merendahkan standar Anda dengan membeli yang bajakan pula. Jadi, hindari batik bajakan (batik buatan China maksudnya) dan belilah batik lokal (batik Indonesia) yang emang beneran batik …

Monday, September 15, 2008

Insiden Pasuruan

Saya hendak membagi sebuah cerita yang mengerikan sekaligus bikin merinding. Ironis! Sebenarnya kejadian ini dimulai dari sebuah niat baik seorang berlebih di Pasuruan, membagi-bagi sebagian hartanya untuk yang tak berpunya. Tetapi oh tetapi, rencana dan niat baik memang tidak selalu berakhir baik kalau tidak dilakukan dengan baik pula. Sebanyak 21 orang tewas karena berebut sedekah dari bapak kaya yang sayang saya lupa namanya ini.

Dari layar TV saya bisa liat bagaimana ratusan orang berdesakan untuk sekedar mendapatkan sedekah yang saya tidak tahu persis berapa nilainya. Tapi berapapun itu tentu sangat berarti bagi orang-orang yang berebut tersebut. Saya lihat seorang ibu kesakitan di luar pagar besi rumah hartawan tadi karena didesak dari belakang. Saya mendengar tangisan anak walau tidak terekam kamera gambarnya.

Yang tidak terlihat di gambar adalah aparat keamanan, entah polisi maupun satpam, untuk mengamankan kegiatan tersebut. Maksud saya, karena acara tersebut melibatkan banyak orang yang memerlukan bantuan dan biasanya massa cenderung bertindak di luar akal sehat, semestinya ada petugas keamanan untuk mengatur orang-orang tersebut. Mungkin perlu diterapkan sistem antrian sehingga tidak perlu berdesakan. Atau didata saja warga yang membutuhkan bantuan di daerah tersebut, sehingga kalau memang mau membantu sekalian saja pembantu bapak kaya tadi mendatangi rumah orang-orang yang membutuhkan untuk menyalurkan sedekah, sekalian silaturahmi, kan lebih baik. Tidak usahlah membuat headline karena membagi rejeki ke orang lain, katanya kalau kita berbuat kebaikan tidak boleh menyombongkannya. Tapi ini menurut yang saya dengar dari Pak Ustadz dulu waktu ngaji di kampung saya. Tetapi sekali lagi saya memilih berprasangka baik dengan pak hartawan ini, beliau hanya ingin membagi kebahagiaan dengan orang lain, tetapi tidak memperhitungkan kejadian seperti ini.

Komentar teman kantor yang duduk di sebelah saya, "Indonesia ini kaya, inilah yang namanya mati di lumbung padi". Memang ironis bukan? Menurut pejabat Pemda setempat, bapak hartawan ini tidak berkoordinasi dengan pejabat Pemda untuk pengamanan dan pengaturannya mungkin. Padahal ini dilakukan setiap tahun, tetapi kenapa tahun ini menjadi seperti ini?

Begitulah, mungkin si bapak hartawan belum sadar bahwa di Indonesia ini makin banyak orang miskin, banyak orang yang memerlukan sedekah sehingga tidak melihat kemungkinan seperti ini. Tapi walaupun berakhir sedih, semoga niat baik pak hartawan telah dicatat Tuhan, lagipula beliau sudah berusaha untuk melaksanakan niatan tersebut. Berniat baik itupun sudah sulit apalagi melaksanakannya. Jadi, hal ini tetap perlu dihargai, ya toch?

Wednesday, September 10, 2008

Razia di Bulan Puasa

Di Indonesia, banyak hal aneh dan kadang tak masuk akal bisa terjadi setiap saat, walo bagi pelakunya hal itu tidaklah aneh. Saya tidak hendak menulis mengapa hal tersebut aneh dan tak masuk akal, lebih mengapa orang sampai berbuat hal tersebut. Cuma sebagai anggota masyarakat kebanyakan, saya merasa kurang sreg dengan apa yang terjadi selama ini. Bukan berarti bahwa di negara lain tidak pernah terjadi hal-hal aneh, keanehan adalah manusiawi tampaknya. Saat ini adalah bulan puasa. Anda tahu fenomena apa yang muncul di bulan puasa ini? Ya, razia atas nama agama dan moral terjadi di mana-mana. Saya tidak hendak membela mereka yang masih menggunakan jasa PSK di siang bolong (bulan puasa pula) atau saya tidak hendak memihak mereka yang menkonsumsi minuman beralkohol di banyak tempat hiburan malam ketika umat Islam ke Masjid menjalankan sholat sunnah tarawih, saya hanya ingin membagi pendapat saya tentang the-so-called razia tersebut.

Sebenarnya, apakah tujuan razia-razia tersebut (razia minuman keras, pelacuran, perjudian bahkan saya dengar penjualan makanan di siang hari)? Saya kira tujuannya mulia, yaitu ingin agar kesucian bulan yang penuh rahmat ini tidak dinodai oleh hal-hal duniawi yang dapat dianggap sebagai maksiat. Akan tetapi saya malah mendapati di banyak media bahwa guna menjaga kesucian bulan Ramadhan ini, banyak orang malah menodainya dengan perbuatan anarkis. Maksud saya, cara para perazia tersebut menutup tempat-tempat pelacuran, perjudian serta hiburan malam tersebut yang malah bisa membuat masyarakat luas berbalik memihak ke pengelola tempat-tempat yang dianggap perazia sebagai terkutuk tersebut.

Coba saja Anda bayangkan, apabila Anda salah dan ada seseorang mengatakan kepada Anda bahwa Anda salah dengan membawa golok, pentungan dan berkata kasar kepada Anda, apa reaksi Anda pada saat itu? Anda takut, kesal, geram atau mungkin Anda malah balik menyerang. Pertama-tama mungkin Anda akan menyerah kalah, atau tampak seperti menyerah kalah, tetapi diam-diam Anda menyiapkan serangan balik dengan segenap argumentasi dan bukti-bukti pengrusakan yang Anda terima. Bagaimanapun, secara hukum merusak properti milik orang lain kan salah, masalah bagaimana sistem memproses kesalahan tersebut di jalur hukum adalah hal lain. Coba bandingkan jika orang yang menganggap Anda salah tersebut datang baik-baik kepada Anda dan mengajak berdiskusi bagaimana sebaiknya Anda menjalankan bisnis hiburan malam atau apalah namanya itu di bulan puasa, memberikan saran dan pendapatnya, tentu walaupun mungkin merasa kesal Anda akan berusaha untuk mendengarkannya. Keinginan untuk mendengar itu sudah menjadi sebuah awal yang baik untuk berubah, karena sebagian besar orang ingin didengar tetapi enggan mendengar. Tujuan sama, tetapi cara berbeda seringkali memberikan hasil yang jauh berbeda.

Kemudian, ketika seorang teman mengatakan pada saya bahwa ada razia rumah makan yang dibuka di siang hari puasa di salah satu propinsi di Indonesia timur, reaksi saya pertama-tama justru marah, mengapa warung harus tutup di bulan puasa? Maksud saya walaupun ini bulan puasa tidak semua orang berpuasa, baik itu Muslim maupun non-Muslim, dengan berbagai variasi alasannya. Dan tidak semua pemilik warung makan orang Islam kan? Tambahan, orang yang tidak berpuasa kan perlu makan, jadi apa salahnya tetap berusaha di siang hari bulan puasa selama itu bukan tindakan kriminal. Apa perazia akan menanggung biaya hidup pemilik warung ini kalau dilarang berjualan di siang hari selama bulan puasa, padahal dia tidak buka di malam hari? Kenapa orang memaksa orang lain untuk menghormati keyakinannya tetapi tidak mau menghormati keyakinan orang lain. Saya heran memangnya kalau warung buka di siang hari puasa, itu akan membatalkan puasa semua orang ya. Mengapa ini tidak dianggap sebagai ujian atas “ke-puasa-an” orang-orang yang ingin menutup warung tersebut. Jikalau Anda bisa melalui ujian tersebut maka bolehlah Anda dipuji-puji sebagai umat Tuhan yang berbakti. Berpuasa bukan bagaimana Anda mengeliminasi tantangan, tetapi lebih kepada bagaimana Anda menghadapi tantangan tersebut.

Kemudian mengenai razia-razia di tempat-tempat hiburan malam, jika Anda dapat menghentikan aktivitas mereka bulan ini dengan alasan puasa (atau saya lebih suka menyebutnya sebagai membawa-bawa nama Tuhan), apa alasan yang akan digunakan untuk melakukan hal yang sama di bulan-bulan lainnya? Jika bulan ini semua orang (terlihat) alim kemudian bulan berikutnya tiba-tiba orang-orang mabuk di jalan-jalan dan tidur di pelukan PSK, Anda sebut apa hal itu? Setahu saya setelah puasa adalah bulan Syawal, jika tidak salah itu adalah bulan peningkatan. Ibadah Anda tidak akan berhenti setelah bulan puasa berakhir kan. Setelah bulan puasa Anda dihadapkan pada tantangan bagaimana mempertahankan apa yang Anda lakukan selama puasa bukan? Tetapi kalau setelah bulan puasa semua yang Anda sebut berbau maksiat giat lagi kan tidak ada gunanya razia-razia penuh kekerasan tersebut. Toh, yang merazia bukan orang yang terbebas dari nafsu duniawi. Saya sering berpikir bahwa mereka itu adalah kepada sekelompok orang yang egois yang hanya peduli pada kepentingan pribadi dan golongannya sendiri dan untuk mencapainya mengorbankan kepentingan orang lain. Ini seperti mereka menari-nari di atas kepedihan orang lain.

Kemudian mengenai nama Tuhan (agama) dipakai sebagai alasan untuk melakukan razia tersebut, saya pikir tidak pada tempatnya. Tuhan itu tidak perlu diagung-agungkan juga sudah agung, tidak perlu Tuhan Anda bela dengan pentungan dan kekerasan karena Tuhan itu tidak menyukai kekerasan. Tuhan tidak memerlukan bantuan Anda, tetapi sebaliknya. Kalau mau jujur, apakah orang-orang yang melakukan razia dengan dalil agama tersebut benar-benar dilandasi hati nurani untuk berbuat kebajikan bagi ummat? Jikalau ya, kenapa tindakannya menjadi kriminal begitu. Jika ya, kenapa justru apa yang mereka lakukan tersebut seperti mencoreng nama agama yang mereka bela-bela itu. Karena tindakan anarkis tersebut tidak heran orang men-cap Islam sebagai agama penyuka kekerasan. Kita boleh berkelit dengan berbagai bukti dari Al-Quran maupun Hadist. Tetapi agama, saat ini, bukan hanya melulu tentang kitab, tetapi juga tentang pengikutnya. Apa yang dilakukan sebagian umat suatu agama, itulah yang orang pikir sebagai agama itu sendiri. Jadi sekali lagi, teks boleh bilang Islam berhati lembut, tetapi ternyata kenyataan lapangan berbalik 180⁰, jadi apa mau dikata?

Kemarin saya membaca email yang judulnya lebih kurang “istri tetangga”. Semula saya pikir bahwa email itu akan mengingatkan pembaca untuk tidak mengganggu istri orang lain. Ternyata saya mengartikannya secara literal, ternyata maksudnya lain sama sekali. Ini tentang seorang mahasiswa yang pada masa kuliahnya pernah berdiskusi dengan tokoh Emha Ainun Najib. Dalam ceritanya (kurang lebih seingat saya), si mahasiswa yang anak kos ini ditanya apa dia memiliki tetangga, apa tetangganya punya istri, apa dia pernah melihat kaki istri tetangganya? Sampai pada pertanyaan terakhir di mahasiswa bertanya kenapa ditanya seperti itu? Intinya adalah bahwa istri tetangganya itu bukan urusan si anak kos ini, apa dia cantik atau jelek, dia adalah urusan suaminya. Begitupun keyakinan, urusi keyakinan Anda sendiri, keyakinan orang lain biar dia yang mengurusnya. Demikian kurang lebihnya.

Sekali lagi, terkait dengan razia-razia di atas bukan berarti saya setuju dengan pelacuran, tetapi saya termasuk orang yang percaya bahwa jika Anda ingin dihormati maka Anda harus dapat menunjukkan bahwa Anda layak untuk itu. Jika ada yang salah di lingkungan Anda, pentungan dan kekerasan bukan jalannya. Karena kedua hal itu hanya akan menambah permasalahan saja. Yang penting bukan menghilangkan permasalahan tersebut untuk sementara tapi bagaimana menyelesaikannya untuk jangka panjang. Terkesan klise? Memang demikian idealnya kan? Bagaimana orang akan menunjukkan toleransi terhadap keyakinan Anda jika Anda tidak mau melakukan hal yang sama kepada orang dengan keyakinan berbeda? Jadi kenapa harus membawa-bawa pentungan untuk merazia tempat-tempat yang dianggap tidak sepantasnya ada di bulan puasa ini, di bulan ini kita mencoba bertobat bukan malah membuat kesalahan baru.

Friday, September 5, 2008

Balada Mudik Lebaran

Setiap tahunnya, di Indonesia, mudik hari raya merupakan tradisi, baik lebaran maupun natal. Karena sebagian besar penduduknya Muslim, maka mudik lebaran merupakan fenomena tersendiri. Tiket tujuan ke semua daerah di Indonesia kalau lebaran tiba menjadi berlipat harganya dan tiba-tiba menjadi langka. Dari tiket kereta sampai pesawat. Bahkan travel pun saya yakin musti pesan jauh-jauh hari, kalau tidak bakal kehabisan juga.

Makanya, antrian panjang di berbagai stasiun di Jawa (setahu saya jalur kereta yang paling aktif memang hanya di pulau ini, entah kalau di Sumatera bagaimana) sebulan sebelum keberangkatan menjelang lebaran menjadi berjubel dipenuhi orang-orang yang bersemangat liburan atau “mudik”, istilah yang sering dipakai. Walaupun dibilang bahwa ada kereta tambahan, tetap saja tiket sudah habis dari pagi. Contohnya pagi ini, saya berencana kembali ke Jakarta tanggal 5 Oktober, tiket bisa dipesan sebulan sebelumnya yang artinya adalah hari ini. Mengapa tanggal 5, karena tanggal 6 kantor sudah mulai lagi dan kalau sampai Jakarta setidaknya semalam sebelumnya maka bisa beristirahat dahulu setelah 8 jam perjalanan. Kami sudah berada di Gambir sekitar jam 08.20. Betapa senangnya saya karena tidak melihat antrian panjang. Tetapi ketika sampai di depan loket, diberitahu bahwa semua tiket dari Yogya-Gambir di hari itu sudah habis untuk semua kereta. Itu berarti dalam hitungan satu jam lebih sedikit, semua tiket sudah ­sold out! Hebat bukan?

Waktu itu saya heran juga, bukannya katanya pembelian tiket diperketat untuk menghindari calo – PT KAI sedang disorot di banyak media re: calo tiket ini – tetapi tetap saja tiketnya sudah habis sejak pagi. Ini juga karena memang sistem pembelian tiket KA sekarang online sehingga bisa diakses di stasiun manapun di Indonesia. Tapi tetap saja kecewa juga. Teman saya sempat berkomentar sehari sebelumnya waktu kami ke Gambir karena salah menghitung tanggal, ada spanduk yang bertuliskan kira-kira “Calo tidak memecahkan masalah”, tapi begitu kami keluar dari pemesanan tiket sudah ada orang yang menawarkan tiket, jadi mana yang benar?

Kalau tiket kereta sudah habis, sebenarnya bisa coba pesawat tapi ya ampyun tiket pesawat ke Yogya itu mungkin sama mahalnya dengan tiket ke Bali. Huaduh, cape deh … heran kenapa bisa begitu. Mungkin karena memang banyak orang yang sering mondar mandir ke Yogya kali yaa … NY memang selalu menarik, karena harga-harga yang jauh lebih murah, batik-batik yang beraneka, jajanan yang macam-macam, dan relatif dekat dari Jakarta. (catatan: NY=NewYorkarto Hadiningrat…:D).

Ya, begitulah, pelajaran moral penting dari peristiwa di atas adalah, jikalau Anda ingin berlibur ke Yogya, baik lebaran maupun bukan, dan Anda adalah tipe orang yang masih berpikir soal keuangan, maka pesanlah tiket dan rencanakanlah perjalanan Anda dari jauh-jauh hari supaya Anda tidak mengalami yang saya alami, pusing nyari tiket pulang…terlalu…

Tuesday, August 19, 2008

Merdeka!!!

Apa yang berbeda dari HUT RI tahun ini dengan tahun-tahun sebelumnya? Dari keramaian menurutku sama saja, pawai bernuansa merah putih dimana-mana, umbul-umbul maupun hiasan merah putih dan warna warni masih saja ada, lomba gapura paling kreatif kayaknya masih menjadi agenda salah satu TV swasta, terus upacara bendera tetap on walau hari minggu (rajin ya bo’). Terus apa yang berbeda? Mungkin karena waktu upacara di lapangan tenis, setelah upacara selesai anak-anak Sekdilu 33 tidak menyanyikan lagu-lagu nasional yak? Tapi tidak tahu apa tahun lalu anggota Sekdilu masih juga bernyanyi untuk para peserta upacara?

Anyway, the point is, apa yang sebenarnya berbeda dari HUT RI ke-63 ini? Waktu tanggal 16 Agustus malam aku jalan ke Ambasador, kenapa ya rasanya malam itu seperti malam lebaran minus takbiran. Terus paginya pas tanggal 17 Agustus, niat pengen jalan ke ITC mau liat-liat kebaya karena ada temen yang perlu beli, tetapi ternyata dari ITC Mangga Dua sampai Kuningan tutup. Bisa bayangin gak ITC tutup di siang bolong? Seingatku aku belum pernah “ditolak” masuk ITC atau mall walapun ada perayaan apapun, bahkan lebaran haji. Tapi tanggal 17 Agustus kemarin, mereka meliburkan diri, antara takjub dan tak percaya, ada fenomena apa ini (kenapa jadi seperti paranormal melihat situasi ya…)


Terus ketika ke Plangi, itu department store yang ada disana gak buka sampai jam 12 siang, kalau toko-toko kecil dan tempat makan sih sudah ramai. Tidak tahu kenapa, tanggal 17 Agustus tahun ini seperti lebaran hari pertama saja, orang-orang semangat libur. Atau mungkin karena Senin juga libur jadi pada pulkam. Well, apapun itu Merdeka !!!

Monday, July 28, 2008

“Losing my religion”: on the Nuke

Ini sebenarnya gara-gara saya membaca “Newsweek” edisi 26 Mei-2 juni 2008. Di dalamnya ada salah satu artikel yang menarik perhatian saya. Artikel ini secara umum adalah wawancara dengan salah seorang pendiri Greenpeace – organisasi lingkungan internasional yang sangat terkenal itu – yang berubah pandangan mengenai nuklir. Bapak ini adalah Patrick Moore.

Mr. Moore dulunya adalah salah satu orang yang sangat menentang penggunaan tenaga nuklir untuk tujuan apapun, termasuk untuk pembangkit listrik. Seperti diketahui banyak orang, Greenpeace sampai sekarang konsisten dengan ide untuk tidak menggunakan tenaga nuklir walaupun sebagai tenaga listrik. Alasannya adalah limbah nuklir sangat sulit untuk diolah kembali, ataupun didaur ulang secara alami. Namun, Mr. Moore mulai meragukan keyakinannya sendiri ketika dia sadar bahwa sebenarnya tenaga nuklir banyak digunakan di bidang kedokteran dan menyelamatkan hidup banyak orang. Dia juga mengkritik para “petinggi” Greenpeace yang tidak memiliki latar belakang pendidikan formal science tetapi pada kenyataannya menangani isu-isu yang bersinggungan bahkan merupakan isu-isu yang terkait dengan ilmu kimia, biologi maupun genetik.

Hal lainnya adalah terkait dengan semakin langkanya bahan bakar fosil yang walaupun mencemari lingkungan ternyata terbukti sangat diperlukan. Dengan adanya krisis energi, tenaga alternatif seperti matahari dan angin memang mulai banyak dikembangkan di negara-negara maju. Akan tetapi, sampai saat ini biaya untuk mebuat pembangkit listrik dengan kedua tenaga tersebut masih sangat mahal dan pada akhirnya menjadikan proyek-proyek kedua tenaga alternatif ini menjadi tidak efisien baik dari segi ketersediaan tenaga listrik itu sendiri dan terutama biaya. Selain itu, terkait dengan “mitos” bahwa limbah nuklir tidak bisa atau sangat sulit dimanfaatkan lagi (didaur ulang) ternyata tidak sepenuhnya benar. Mr. Moore mengemukakan beberapa data mengenai hal tersebut. 50% tenaga nuklir yang diproduksi di AS ternyata menggunakan hulu ledak nuklir Rusia yang telah dijinakkan.

Mr. Moore juga menganalogikan non-proliferasi nuklir dengan penggunaan machete (semacam parang). Machete memang banyak berperan dalam konflik berdarah di berbagai belahan dunia, tetapi benda yang sama banyak digunakan oleh petani di negara berkembang untuk membuka lahan, yang berarti mendatangkan kebaikan bagi banyak orang. Kemudian pertanyaannya adalah perlukah melarang penggunaan machete ini karena perannya dalam berbagai konflik? Jawaban Mr. Moore adalah, melarangnya bukanlah sebuah pilihan yang harus diambil. Ditambahkan lagi bahwa tidak ada satu pun reaktor nuklir yang berperan dalam pembuatan bom atom Hiroshima.

Membaca artikel tersebut seperti membaca seseorang yang menemukan keyakinan barunya. Dengan segala data dan bukti dia berusaha untuk membuktikan bahwa apa yang dia (baru) percaya adalah benar. Saya tidak dapat mengatakan bahwa Mr. Moore salah dan Greenpeace atau siapapun yang menentang nuklir adalah benar, atau sebaliknya. Yang menarik justru bukan siapa yang benar dan siapa yang salah. Tetapi yang menarik adalah bagaimana seseorang dengan sebuah kepercayaan yang begitu kuat tentang suatu hal dan pernah menentang pemerintah karena kepercayaanya itu tiba-tiba berbalik dan mengatakan bahwa apa yang selama ini dia percaya adalah salah. Yang lebih menarik lagi adalah bahwa dia berani mengakui bahwa dia salah dan berkampanye untuk menyuarakan kebenaran yang baru ditemukannya itu. Tetapi tolong jangan diartikan bahwa “masa lalu” Mr. Moore (penentang nuklir) adalah kesalahan total. Sekali lagi saya tekankan bahwa baik buruknya nuklir itu tergantung bagaimana kita melihatnya dan untuk keperluan apa dia dikembangkan, dan baik buruknya untuk suatu masyarakat.

Mungkin saya pernah menulis di sini juga bahwa Indonesia tidak seharusnya memiliki reaktor nuklir karena berbagai alasan, dan saya masih memegang itu. Sekali lagi dengan keterbatasan saya yang tidak memiliki dasar teknik nuklir dan hanya mendasarkan apa yang ditulis dan dikatakan orang, saya masih meyakini pendapat saya itu. Akan tetapi, bukan berarti bahwa saya menolak mentah-mentah apa yang disampaikan Mr. Moore. Dalam beberapa (dan bahkan banyak) hal pendapatnya perlu dipertimbangkan dan dipelajari kembali.

Tetapi sekali lagi, nuklir itu sekarang bukan hanya menjadi komoditas teknik atau ekonomi saja tetapi lebih dari itu dia merupakan komoditas politik. Mungkin, untuk memutuskan perlu/tidaknya reaktor nuklir bisa jadi bukan karena pertimbangan energi alternatif ataupun efisiensi biaya tetapi lebih pada harga diri atau pertimbangan keamanan suatu negara dari (ketakutannya akan) serangan militer negara lain (yang sebenarnya tidak begitu relevan untuk masa sekarang). Yang mana yang benar memang masih layak untuk diperdebatkan, tetapi untuk saat ini biarkan yang memiliki pengetahuan teknis tentang itu yang memutuskan. Bahkan keputusan orang yang kompeten saja terkadang merugikan, bagaimana jika keputusan itu dibuat oleh orang yang tidak tahu secara mendalam, ya toch?

Ibukota Indonesia pindah (?)

Apa yang ada di benak sebagian besar orang Indonesia jika ada pernyataan, “ibukota negara pindah”? Bagi para politisi (terutama anggota Dewan yang terhormat) mungkin akan segera memanggil Presiden dan jajarannya, mempertanyakan (lebih tepat kalau dibilang menggugat), memberikan pandangan (atau bisa juga dibilang berteori a la anggota Dewan), membuang banyak waktu jajaran Presiden yang hanya pada akhirnya tidak memberikan solusi. Maklum, fasilitas di Jakarta ini sudah terlalu lengkap, jalan sudah mulus walau macet, jadi kalau anggota Dewan terhormat pindah di tanah belantara antah berantah, ya kok kayaknya tidak pantas untuk kedudukan mereka (hidup adalah kedudukan). Bagi para pelaku bisnis akan sangat concern karena ini masalah uang, bagaimana bisa menjalankan bisnis dengan lancar jika pemangku kebijakan berada jauh dari jangkauan, waktu adalah uang, jarak adalah uang (hidup adalah uang). Bagi para pegawai pemerintah (terutama golongan bawah) mereka akan mempertanyakan bagaimana fasilitas perumahan bagi mereka, apakah diberikan gratis atau harus mencicil KPR di tempat baru (hidup adalah mencicil KPR dan bunganya). Bagi para supir angkot dan kernetnya, mungkin yang mereka pedulikan hanyalah, “terus, penduduk Jakarta pindah semua tidak, sebagian besar maih ada to, kalau begitu ya baguslah setidaknya masih bisa memenuhi setoran” (hidup adalah mengejar setoran). Bagi sebagian lainnya dari berbagai kalangan, terutama yang berpendidikan, mereka mungkin hanya akan berkomentar, “ah, mimpi kali yee…” (bagi mereka, hidup adalah menjadi skeptis).

Begitulah, memang akan sangat sulit memindahkan Jakarta ke tempat lain di Indonesia, maksudnya dengan menyediakan fasilitasnya sekalian, terutama untuk pemerintahan, karena idenya memisahkan pusat bisnis dan pusat pemerintahan. Malaysia sukses dengan Putra Jaya, tetapi ingat kasus mereka tidak sepelik Jakarta, dan Malaysia lebih memiliki sumber daya untuk itu. Majalah “Intisari” edisi Juni 2008 mengupas keadaan ini.

Rata-rata kepadatan Jakarta saat ini mencapai 15.000 orang per kilometer. Karena persebaran tidak rata, bisa jadi ada satu wilayah dimana tiap kilometernya dihuni lebih dari jumlah tersebut. Jakarta itu ternyata hanya memiliki daya dukung untuk 6 juta orang saja, yang berarti sejak tahun 1986 angka tersebut telah terlampaui. Ada banyak fakta baru yang diungkap mengenai kondisi ibukota ini, seperti bahwa ketinggian permukaan tanah setiap tahunnya turun 0,8 cm; 55% pencemaran air tanah disebabkan oleh limbah dari septic tank; sepanjang 2007 hanya ada 73 hari berkualitas udara baik, naik dari 2006 yang hanya 45 hari, naik dari 5 tahun sebelumnya yang rata-rata hanya 30-an hari (saya tidak tahu ini di Jakarta sebelah mana dan sebaik apa kualitasnya).

Kalau dilihat, memang ibukota ini dijejali dengan banyak bangunan bertingkat yang tinggi-tinggi tetapi tidak terlihat pemanfaatan tanah untuk jalur hijau. Jika Anda ke Jakarta (terutama di bilangan Senayan) satu ruas jalan penuh dengan mal-mal besar, depan belakang, berhadap-hadapan dan anehnya semuanya ramai dikunjungi orang (beli atau tidak itu urusan lain). Di bagian lainnya banyak dibangun “Pusat Grosir” dengan konsep seperti ITC hanya namanya dibikin Indonesia saja. Menurut majalah diatas, pembangunan Jakarta mamang selama ini adalah “pro market dan bukan pro rakyat … Jakarta dibangun dengan modal kapital besar tetapi modal sosial nol.” Bahkan salah seorang nara sumber menyatakan bahwa adanya pertentangan antara gedung megah dan fasilitas wah dengan rendahnya tingkat ketaatan warganya disebut sebagai, “gagalnya proses transisi dari daerah tradisional ke kota modern. Bangunan fisiknya bagus, tapi manusianya, maaf ya, masih kampungan.”

Sebenarnya, pada jaman Soekarno, terdapat wacana untuk memindahkan ibukota ke luar Jawa. Waktu itu daerah yang dipilih adalah Palangkaraya. Pertimbangannya adalah untuk memeratakan pembangunan daerah bagian barat dan timur karena lokasinya berada di tengah-tengah negara. Konsep ini terinspirasi dari pindahnya ibukota Brasil ke Brasilia, dengan pertimbangan lokasi di tengah negara. Tetapi saat ini bahkan Brasilia pun menjadi “korban” urbanisasi sehingga kota yang dirancang hanya untuk 500.000 orang sekarang dijejali 2,5 juta manusia. Mungkin inilah masalah klasik perpindahan pusat kekuasaan itu. Jika pun memang benar-benar pindah, ibukota negara memang selalu akan menjadi daya tarik tersendiri untuk mereka yang ingin memperbaiki nasib. Sehingga pilihan jatuh pada pindah ke ibukota. Kota yang dirancang hanya untuk sedikit orang bisa jadi menjadi tidak kondusif lagi karena sudah terlalu banyak yang datang dan tinggal.

Tetapi mungkin bisa dibandingkan dengan Canberra, ibukota Australia. Semua kegiatan pemerintahan negara tersebut dipusatkan di Canberra yang memang benar-benar kota buatan. Sedangkan perdagangan dan bisnis tetap berada di Sydney dan beberapa negara bagian lainnya. Hasilnya adalah, Canberra mungkin merupakan salah satu ibukota negara paling sepi dan karena tidak ada urbanisasi besar-besaran seperti Jakarta maupun Brasilia, pemerintah bisa fokus ke urusan-urusan lainnya. Bahkan, karena sepinya pemerintah Canberra memiliki program untuk menarik para pensiunan untuk hidup dan tinggal disitu. Tetapi lagi-lagi, ini kembali kepada masalah ketaatan dan perilaku penduduk suatu negara. Saya tidak mengatakan bahwa orang Australia lebih baik dari orang Indonesia (percayalah dalam beberapa hal selain disiplin, mereka bisa jauh lebih menjengkelkan), tetapi mungkin karena jumlah mereka lebih sedikit sehingga lebih mudah diatur dan sistem hukum mereka berfungsi dengan baik. Terlepas dari perpindahan ibukota, coba bandingkan Indonesia dengan negara-negara yang lebih kaya di Asia Tenggara, penduduknya pasti jauh di bawah Indonesia (tentu Anda akan setuju karena Indonesia adalah negara dengan populasi terbesar di seluruh ASEAN).

Permasalahan lain jika memang ibukota pindah adalah biayanya akan terlalu besar, untuk mempersiapkan lahan dan membangun infrastruktur serta memnindahkan SDM-nya. Tetapi kalau menurut saya pribadi ini lagi-lagi kembali ke niat, jika memang mau (dan mampu tentu saja) hal itu bisa dilakukan. Jika infrastruktur yang dipersoalkan, bila melihat ke belakang, Jakarta dulu juga bukan apa-apa, daerahnya berawa-rawa (menurut yang saya baca dari bukunya Pramudya). Jadi, sekarang mau pindah atau tidak, mau menyelamatkan bumi Jakarta itu sendiri atau tidak? Jika tidak pindah, mungkin ada solusi lainnya (yang pasti banyak ditentang aktivis HAM), pindahkan saja orang-orang dari Jakarta (atau dalam kata lain usir mereka yang “tidak berkepentingan” dari Jakarta). Masalahnya, siapa yang berkepentingan dan siapa yang tidak? Kalau melihat hal ini, pindah ibukota adalah wacana dari jaman ke jaman, Soekarno dengan Palangkaraya, Soeharto dengan Jonggol, presiden lainnya dengan daerah yang lain, hanyalah wacana, wacana, dan wacana. Pada akhirnya hidup adalah memiliki wacana (terlepas dari keinginan untuk merealisasikannya…).

Friday, July 25, 2008

Earl Grey and Me ...

Saya sebenarnya bukan tipe orang yang terobsesi pada jenis minuman tertentu. Bukan tipe orang yang harus minum kopi/teh begitu mata terbuka di pagi hari. Atau bukan tipe orang yang tidak bisa hidup tanpa orange juice. Saya hanya tipe orang yang tidak bisa tanpa air, sesederhana itu. Tetapi sekitar sebulan yang lalu tiba-tiba saya pengen banget minum teh Earl Grey, yang mahal itu. Bukannya saya ini sombong tidak mau lagi minum teh melati atau teh tubruk tapi aroma Earl Grey itu ngangeni gitu lo ... (ini gara-gara pernah hidup di antara bule-bule). Tetapi masalahnya "hanya" dua; harganya kalau di Indonesia ini (menurut standar saya) mahal, dan tidak semua supermarket menjualnya.

Akhirnya, demi merasakan dan mencium aroma si Earl yang abu-abu itu, minggu kemarin saya paksakan juga hunting ke mal cukup besar di bilangan Jakarta Selatan. Ya, akhirnya saya temukan juga teh yang satu ini. Walaupun mahal, tetapi (lagi-lagi) demi ingin kembali merasakan teh yang satu ini, saya beli juga. Akhirnya begitulah akhir pencarian Earl Grey saya. Mungkin kalau menyitir kata Andrea Hirata, saya ini termasuk mengidap penyakit gila nomer sekian ... obsessive compulsive pada Earl Grey, the tea ...

Monday, June 23, 2008

Trend Batik: Hanya Latahkah?

Di Indonesia, khususnya di Jakarta, banyak sekali sekarang orang berpakaian batik, dari pasar tradisional sampe mall2 besar yang lampunya berkilauan. Padahal dulu2 orang pake batik itu biasanya cuman hari Jumat, itupun dah dapet cap, “tuh pasti PNS”. Trus klo gak gitu orang ke kondangan aja pake kemeja batik dan itu cuma bapak2nya ajah. Tapi sekarang keadaan berubah, orang2 kantoran swasta besar yang gedungnya tinggi menjulang pake batik, para expat dari kulit putih ampe coklat pun pake batik juga, para selebritis pun ikut2 pake batik, ibu2 pejabat klo belanja ato sekedar jalan2 juga pake batik. Sekarang semua orang berbatik, ada gejala apa ini?

Sisi baiknya, kain tradisional Indonesia mulai diakui dan orang tidak malu lagi untuk memakainya. Dengan begitu optimis lah ya klo batik gak akan punah, setidaknya sampe orang gak bosen memakainya. Kemudian, dari segi promosi, orang2 mulai tahu klo batik itu punya Indonesia dan bukan Malaysia. Eh, tapi tunggu, walo Malaysia claim batik punya mereka tetapi secara motif dan teknik pembuatan beda jauh kok dari Indonesia Saya yakin klo di Malaysia gak ada canting maupun batik tulis, jadi no worries lah mate!

Sisi buruknya, membosankan! Maksudnya bukan ngeliat orang pake batik jadi membosankan tapi buanyak sekali pameran bertema batik di Jakarta ini, dan sayangnya modelnya sama, blus batik perempuan yang lengannya kaya balon ituh, pokoknya model ibu2 pejabat banget deh. Kemarin saya sempet ke pameran Icraft 2008 di JCC, judulnya ajah craft tapi itu isinya sebagian besar batik dengan model yang sebagian besar sama semua, motif yang mirip2. Kemudian, orang Indonesia itu pan sukanya musiman, klo sekarang semua pake batik, mungkin tinggal menghitung hari aja orang akan bosan trus meninggalkannya. Just wait and see. Kemudian klo semua seragam gini, jadinya kok semuanya mengacu pada model yang sama alias mereka (para pengusaha baju batik) kok terkesan tidak mau repot2 untuk berkreasi. Oke lah klo motif batik2 tradisional memang sudah seperti itu dan motif2 modern juga sudah banyak, masalahnya model bajunya kok sayangnya itu2 saja. Jadinya klo di jalan ngeliat orang tuh pake bajunya kok sama semua gt lohh, gak kreatip…

Tapi memang tidak bisa dipungkiri klo kesadaran berbatik ini mestinya juga diikuti dengan kesadaran bahwa Indonesia itu masih punya songket, tenun ikat dll. Masalah kapan makainya itu bisa disesuaikan dengan acara to. Sayangnya kita ini memang masih suka latah, klo orang pake A maka semua ikut2an pake A. Klo selebritis B pake model C semua orang mengikuti. Itu memang sisi strategisnya public figure cuma kapan kita bisa mandiri dengan pilihan fashion (ceilah…). Maksudnya kita pake karena kita suka dan merasa nyaman dan tidak memalukan lah, maksudnya tepat waktu dan tempat. Ya mudah2an saja orang berbatik tidak latah tapi karena memang suka, bukan karena (kaya PNS) pake batik karena terpaksa, harus pake batik tiap Jumat bo!

Friday, April 18, 2008

Nasib Paru-Paru di Jakarta

Udara di mana-mana pun di Indonesia ini saya rasa memang sudah menurun kualitasnya. Banyak orang berlomba-lomba untuk memiliki kendaraan bermotor, karena kalau tidak aksesibilitasnya terbatas karena angkutan umum tidak dapat diandalkan. Para pengusaha angkutan umum pun berlomba-lomba menambah armada karena permintaan meningkat, tapi karena panjang jalan yang digunakan tidak juga bertambah, adanya hanya menambah kemacetan saja.

Kalau di Jakarta maka hal tersebut tentu lebih parah. Dimana-mana berjubel pengendara motor (dan mobil pribadi tentunya) serta angkutan umum berebut badan jalan. Semua kendaraan, baik yang (mungkin) lolos uji emisi dan yang tidak layak jalan sama sekali menyumbang polusi asap di mana-mana. Tak heranlah kalau melihat ke langit Jakarta warnanya bukan lagi biru jernih, tapi abu2. Serba salah memang, mau naik angkutan umum, tidak nyaman; mau pakai kendaraan pribadi, kena macet juga; mau jalan, asap dimana-mana; trus musti bagaimana???

Sebagai ilustrasi bagaimana parahnya kualitas udara di Jakarta, apa yang harus saya hadapi setiap hari bisa saya ceritakan disini. Mungkin tidak semua orang mengalami hal yang sama persis, tapi saya yakin sebagian besar orang Jakarta memang terpampang oleh polusi udara di kesehariannya.

Pagi hari saya ke kantor jalan kaki karena dekat, walaupun masih pagi, saya harus menghirup udara yang kena polusi, maklum jalan yang saya lewati memang jalan salah satu jalan utama di area itu. Mungkin ada pertanyaan, kenapa tidak pakai masker. Pertama, saya ini orang yang tidak suka hal-hal yang ribet, kedua boleh jadi saya tidak peduli dengan itu semua, ketiga kalau saya nilai sudah keterlaluan, saya lebih suka menutup hidung pakai tisu. Mungkin, sebagian besar orang seperti saya dalam hal kepedulian menutup hidung bila berada di pinggir jalan besar, kami lebih suka menganggap itu sebagai hal yang biasa saja, tidak usah bereaksi yang terlalu “heboh”.

Setelah saya sampai kantor, bukan berarti saya terbebas dari polusi. Kantor saya itu di pinggir kali yang airnya hitam dan mampet. Kata teman saya, kalau beruntung kita bisa lihat biawak berenang-renang disitu. Lah, kalau masih ada hewan bisa hidup disitu bukannya airnya berarti masih bisa dibilang “layak” (setidaknya untuk standar biawak). Anyway, ruangan saya di lantai 6, tapi nyamuknya banyak sekali, jadi harus disemprot insektisida buat membunuhnya dan itu bau dan membuat napas sesak. Tapi memang kita cuma punya dua pilihan dalam hal ini; menyemprot dengan obat nyamuk yang berarti polusi udara atau kita kena demam berdarah yang berarti nyawa juga terancam.

Itu belum semuanya. Setelah terpampang oleh polusi asap kendaraan bermotor di jalam raya dan obat nyamuk semprot, saya harus menjadi perokok pasif, gara-gara kasubdit saya itu perokok berat. Kalau saya ke ruangannya mesti bau rokok, kadang dia kalau keluar dibawa juga rokoknya padahal ruangan kami ber-AC! Dulu-dulu sih saya diamkan saja, tidak enak. Tapi beberapa hari yang lalu saya bilang, kalau merokok jangan keluar dari biliknya, soalnya asapnya itu. Mungkin dia berpikir waktu itu saya berlagu sekali tidak mau bau asap rokok, karena dia tanya teman saya apa suaminya merokok. Kalau dia mau berdebat waktu itu, mungkin akan tetap saya layani, kalau dia punya hak untuk merokok, saya juga punya hak untuk menghirup udara bersih! (wah, jadi esmosi saya ini).

Pulang dari kantor, polusi dari asap kendaraan bermotor akan kembali menyapa saya. Kalau seperti ini terus2an, kapan coba saya bisa hidup di Jakarta dengan sehat yang sebenarnya. Mungkin saya bisa menjaga makanan, tapi apa saya bisa menjaga agar udara yang saya hirup tiap hari bersih, kalau polusinya sudah tidak terkendali seperti ini. Saya yakin, kalau sebagian besar orang Jakarta mengalami apa yang saya alami, paru-paru mereka pun mesti juga sudah terisi banyak zat2 polutan beracun.

Saya sangat sangat berharap, kalau ibukota negara ini pindah saja, ke daerah yang belum banyak penduduknya, yang belum banyak bangunan dan industrinya, jadi perencanaan tata kotanya bisa benar-benar dimulai dari awal. Tidak perlu mengeringkan air tanah biar bisa bikin pondasi mall, tidak perlu menggusur warga miskin untuk membangun pusat perbelanjaan. "Make it simpler, but make it much cleaner". Tapi itu angan2 sahaya saja, apa boleh buat, ibukota negara ini belum akan pindah sebelum tenggelam. Menurut penulis buku “Gadjah Mada”, imajinasi itu lebih penting dari ilmu pengetahuan, tapi menurut saya, apa guna kemampuan berimajinasi tinggi kalau pada akhirnya itu hanya sebatas angan-angan saja tanpa realisasi. Karena hidup ini bukan hanya bagaimana berangan-angan tapi bagaimana mewujudkan angan-angan itu, ya toch?

Thursday, April 17, 2008

Sampah (Plastik) Dimana-mana

Sampah memang sudah menjadi fenomena dimana-mana. Dari pasar tradisional yang becek kalau hujan, bahkan sampai supermarket yang ada di mal-mal di pusat kota. Dari warung makan kaki lima pinggir jalan yang berdebu sampai restaurant siap saji di pusat perbelanjaan yang ber-AC. Bahkan di angkutan umum pun kadang (bahkan sering) terdapat sampah. Dan, iya, sampah-sampah di tempat2 umum seperti itu memang didominasi oleh plastik.

Suatu saat saya berbelanja di salah satu supermarket yang merupakan chain dari Perancis. Ya, tahulah, disana memang saya sukanya barang-barang yang biasa saya perlukan selalu ada, soal harga pun sama saja, dimana-mana sekarang memang mahal. Kemudian saya pingin membeli jeruk waktu itu, karena yang sedang diiklankan adalah jeruk lokam (atau lokan? Saya lupa) dan rasanya juga manis maka saya ke tempat buah-buahan. Tetapi yang membuat saya miris waktu memilih jeruk tersebut adalah bahwa setiap jeruk dibungkus dengan bungkus plastik (individual wrap). Padahal para pembeli musti menggunakan kantong plastik lagi untuk menimbang jeruk tersebut dan membawanya pulang. Disamping jeruk-jeruk tersebut ada sebuah keranjang sampah yang penuh plastik-plastik pembungkus jeruk yang tidak diinginkan para pembeli termasuk saya. Bayangkan, berapa saja sampah plastik yang dihasilkan dari membeli dan mengkonsumsi jeruk di perbelanjaan yang namanya dalam bahasa Indonesia (menurut teman yang cas cis cus berbahasa Perancis) adalah “perempatan” itu.

Tetapi jangan salah, supermarket ini pingin juga lo go green. Buktinya, setiap Anda membayar di kasir mesti ditawari tas warna hijau yang (katanya) dapat digunakan lagi, cukup membeli sekali katanya. Saya memang kadang melihat ada beberapa orang yang menggunakan tas tersebut, tetapi setiap saya antri belum pernah ada yang mau beli tuh, termasuk saya! Kalau saya alasannya sederhana, saya bawa tas kanvas yang sudah saya gunakan berkali-kali. Satu hal lagi, tas yang ditawarkan untuk berbelanja berulang-ulang itu berbahan PLASTIK! Ya, itu kan sama saja menambah sampah, maksudnya tas platik kan tidak awet dan tidak kuat untuk membawa barang-barang belanjaan, kenapa kalau niatnya mengurangi sampah tapi green bag-nya juga dari plastik?

Tapi, tunggu dulu, akhir-akhir ini supermarket itu sudah mulai menjual tas kanvas kok, walau saya tak tahu harganya berapa, lagi-lagi saya belum pernah tanya, belum butuh. Tetapi tetap saja green bag plastik itu masih dijual.

Tidakkah Anda lihat ada paradoks disini, di satu sisi ada niat baik untuk mengurangi sampah (plastik), tapi disisi lain ternyata plastik masih digunakan secara berlebihan. Maksud saya, memang kita masih perlu plastik tetapi bisa kan dikurangi, terutama untuk hal-hal yang tidak perlu seperti membungkus jeruk satu persatu itu tadi. Ya, namanya juga baru mulai belajar hidup yang lebih ramah lingkungan, satu dua kesalahan boleh lah. Tapi, sayangnya kesalahan ini tidak bisa ditolerir lama-lama soalnya kalau kelamaan bisa fatal juga.

Mengurangi sampah plastik dengan menjual tas belanja berbahan plastik? Apa kata dunia???

Thursday, February 28, 2008

Food (in)Security…

"Add another item to the list of threats to world peace: Food."
Kutipan tersebut saya ambil dari edisi online Time international tgl 27 Februari 2008. Miris membacanya, apalagi melihat ilustrasinya, sekumpulan orang yang berebutan makanan pembagian organisasi Palang Merah di sebuah daerah kumuh Nairobi, Kenya. Ada yang menarik dari artikel ini, kenyataan bahwa di negara2 maju seperti AS dan Inggris, para petani dapat menikmati keuntungan berlipat, sementara petani2 di Pakistan, Senegal, Burkina Faso, serta negara2 berkembang lainnya sedang kembang kempis mempertahankan hidup. Jangankan untuk menabung di bank, lah untuk makan dan mencukupi kebutuhan dasar saja (walaupun faktanya mereka yang menghasilkan bahan makanan) sulit.

Naiknya harga minyak disinyalir sebagai salah satu penyebab kenaikan harga kebutuhan pokok, hampir di semua negara. Jika harga minyak naik, maka harga2 barang industri lainnya juga naik, transportasi pun tidak ketinggalan, sehingga harga2 makanan ikut melambung juga. Masih ingat kan bagaimana harga tempe naik karena kelangkaan kedelai, yang disebabkan gagal panen dan mahalnya kedelai impor? Yah mungkin seperti itu juga dengan kenaikan bahan kebutuhan pokok ini.

Bagaimana mungkin seseorang akan berpikir jernih dan tenang kalau perutnya lapar? Bagaimana mungkin seorang bapak akan menyekolahkan anak2nya, memberikan pendidikan yang lebih baik jika untuk makan tiga kali sehari saja kadang tidak tercukupi? Bagaimana ibu hamil yang akan melahirkan anaknya pergi ke bidan terlatih atau dokter ketika biaya perawatan untuk orang sakit tidak lagi terjangkau? Jika harga kebutuhan pokok naik, memang akan memacu kenaikan harga2 lainnya. Nah kalau mau makan saja sulit, bagaimana dengan kebutuhan lainnya?

Coba saja bayangkan saja jika peristiwa rebutan makanan seperti di daerah miskin di Nairobi ini terjadi di banyak negara, secara serentak, kan efeknya akan sangat menyedihkan. Belum jika terjadi di perbatasan, wah bisa2 perang. Kadang2 saya suka merasa bersalah kalau tidak bisa menghabiskan makanan di piring saya. Bukan apa2, makanan itu yang bagi saya mungkin membosankan, bisa jadi sangat berharga bagi banyak orang lainnya yang membutuhkan. Makanya, sekuat tenaga saya selalu berusaha menghabiskan makanan yang saya makan. Sebenarnya itu bukan solusi permasalahan kenaikan bahan makanan, tapi secara moral, sepertinya hal itu dilakukan sebagai salah satu bentuk tanggung jawab terhadap makanan.

Memberikan bantuan makanan juga bukan penyelesaian jangka panjang. Sampai kapan sih orang bisa bergantung pada bantuan? Kan akan lebih bermanfaat untuk ke depannya jika diberi bekal bagaimana mendapatkan sumber makanan secara kontinyu; bertani atau berdagang? Ya, solusi ini klise, tapi bagaimana lagi. Walau saya juga sadar petani kalau di Indonesia ini sebagian besar tidak memiliki lahan sendiri, alias buruh tani. Jadi, mau mempraktekkan kemampuan bertani dimana kalau lahan saja tidak punya, secara sekarang orang tidak suka menanam padi, atau jagung serta kedelai, sepertinya menanam pondasi perumahan lebih menguntungkan.

Kalaupun orang2 memiliki uang lebih pada tahun2 lalu, maka uang dengan jumlah yang sama sekarang tidak dapat membeli sejumlah barang yang sama dengan tahun2 berikutnya. Harga uang makin turun, harga barang yang naik. Sepertinya ada semacam “konvensi”, harga itu kalau sudah naik ya susah turun, atau malah pantang turun. Yaa, lama2 jadi kaya para pemimpin yang tak tahu diri mau terus2an menjabat bukan? Tapi memang begitulah kenyataannya, harga yang naik jangan diharapkan turun, terutama untuk kebutuhan pokok. Berharap saja pendapatan naik, jadi masih bisa menutup kebutuhan dasar setidaknya. Tapi mengharapkan yang satu ini juga kadang2 terlalu muluk juga.

Anyway, coba saja bayangkan dunia yang penuh dengan orang2 kelaparan, air susah, anak sakit2an, mau beli bensin ngantri, listrik byar pet, banjir dimana2, kebakaran hutan juga, gimana ndak perang tuh dunia seperti itu. orang ngantri saja potensi perkelahian antara sesamanya tinggi, belum kalau masalah tersebut dipersulit dengan permasalahan2 lainnya.

Ya, jadi para calon Miss Universe, Miss World, Miss Understanding (:-p), lain kali kalau ditanya tentang konsep world peace, jangan asal ngomong world peace ajah, tapi dijelasin juga bagaimana itu si world peace dicapai. Ohh, pertanyaan pertama (Anda boleh bilang ini sinis, saya memang sinis!), bagaimana bisa berlenggak lenggok memamerkan inner beauty bisa mem-promote world peace hayoo?

Wednesday, February 27, 2008

Tawuran Antar-Mahasiswa (lagi)…

Kemaren sore saya melihat breaking news di salah satu TV swasta mengenai tawuran antara mahasiswa di Universitas Hasanuddin, Makasar. Yang terlibat para mahasiswa Fakultas Teknik dengan Fakultas Ekonomi (atau Sastra yaa…) yang dibantu oleh teman2nya dari Fisip. Sengaja saya sebutkan dengan jelas, biar kalau mereka baca ini jadi bisa mawas diri (ini juga kalau baca, kalaupun baca juga kalau masih ada rasa malu jadi mawas diri).

Saya melihat tayangan TV tersebut jadi miris sendiri, kenapa bisa orang2 yang maunya dibilang terpelajar, berpendidikan. Mereka itu orang2 berpendidikan tinggi dibanding rakyat kebanyakan, yang makan pun kadang sulit. Tapi, lagi2, kelakuan kok ya minus, pokoknya memalukan. Saya tidak tahu masalah sebenarnya apa, soalnya yang baca berita cuman bilang klo perselisihan tersebut kelanjutan dari perselisihan sebelumnya. Semoga saja masalahnya bukan rebutan cewek (atau cowok) kan kalau iya, idih amit2 deh! Bukannya rebutan pasangan itu harus diselesaikan tapi kan itu urusan pribadi yang harusnya diselesaikan secara pribadi juga, gak perlu ngajak massa deh. Tapi sekali lagi, ini semoga bukan masalah pribadi seperti itu.

Mereka sangat kalapnya sampai saling lempar kerikil, batu bahkan bahan material di sekitar kampur antar sesama. Ruang perkuliahan ada yang sampai rusak, pecahan batu bata, kerikil juga berserakan, polisi tak kuasa mencegah, sampai2 dikeluarkan tembakan peringatan. Apa yang begini ini yang nantinya akan memimpin bangsa. Apa yang begini ini jauh lebih layak dari para pemimpin yang dituduh korupsi, yang mereka minta untuk diturunkan. Bukannya saya mau membela para koruptor itu, tapi saya tidak suka dengan kelakuan seperti ini, menghujat orang lain sementara diri sendiri juga tidak beres.

Oke, kembali ke tawuran tersebut. Saya heran apa sebenarnya akar permasalahan yang mereka selisihkan sehingga harus saling lempar batu seperti itu. Jika anak2 muda di Palestina melakukan hal ini karena mereka tidak memiliki senjata untuk mempertahankan apa yang menjadi haknya, bangsanya. Lah ini, apa yang mereka pertahankan sehingga harus mengorbankan kepentingan orang banyak seperti ini. Walaupun disorot kamera TV pun sepertinya mereka tidak malu. Sudah putus urat malu itu, ketika emosi bertahta di atas akal sehat.

Seharusnya, mereka kan lebih bisa mengemukakan logika daripada emosi. Tapi kenapa mereka malah lebih mengedepankan baku hantam. Sampai2 rektornya sendiri yang musti turun. Mungkin banyak orang yang melihat tayangan itu akan berkomentar, “mau jadi apa anak2 ini”. Wahai para mahasiswa, apa sih yang kalian cari dalam tawuran seperti itu? Sepertinya mereka tak mau kalah dengan anak2 SMA dalam hal tawuran ini. Tapi kalau dibandingkan dengan anak SMA begini, mungkin mereka masih bisa ngeles, “ahh TNI sama Polri aja masih suka tawuran, kenapa kita tidak?” Nah lo…speechless deh jadinya …

Friday, February 22, 2008

Krisis Energi

Sudah dua hari ini ada giliran pemadaman listrik di Jakarta. Kemarin waktu pagi2 datang ke kantor, listrik juga byar pet, mati hidup. Menurut berita, itu dikarenakan pembangkit listriknya sedang kekurangan pasokan batubara karena gelombang pasang dan banjir di beberapa daerah, hingga batubara tidak bisa dipasok dengan segera. Waktu saya dengar batubara untuk bahan bakar pembangkit listrik, saya hanya bisa komentar, hari gini masih pake batubara!!!

Sebenarnya sudah ada wacana Indonesia mau bikin Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Idenya canggih, dan kalau untuk deterrence secara politik wah efeknya bisa huibat, saking hebatnya. Bagaimana tidak, secara senjata dan kapal2 kita yang sudah uzur itu saja cukup untuk membikin Australia kelabakan, ketakutan, jangan2 Indonesia menyerang neh. Bukan itu saja, waktu ada rencana membeli Sukhoi dari Rusia, wacana di negara kangguru itu tuh sudah begitu hebohnya. Baru rencana itu, baru mau beli, belum jadi, entah kalau sekarang sudah terbeli. Nah apalagi kalau kita punya PLTN, huaduh gak kebayang deh orang2 di negara itu. Ini contohnya saja. Tapi, PLTN itu banyak kelemahannya terutama kalau dibangunnya di Indonesia. Bagaimana tidak, la wong busway yang BBG (Bahan Bakar Gas) saja bisa terbakar gara2 supirnya gak mau memperhatikan peringatan penumpang. Lah bagaimana ceritanya dengan PLTN, mungkin jika punya sudah berkali2 bocor, berkali2 meledak juga bisa kali yee, trus seluruh Indonesia sekarang sudah terkena radiasi, memang ini membayangkannya keterlaluan sadis tapi bagaimana lagi …

Saya bukannya meremehkan ahli kita. Saya yakin secara substansi Indonesia memiliki banyak orang yang pandai (ini bertentangan dengan pernyataan seorang yang famous dari dunia entertainment kita). Tapi, kita ini sukanya meremehkan hal2 yang kita anggap enteng, tidak penting, tapi kenyataannya yang kecil2 itu justru implikasinya bisa luar biasa, ya seperti bau asap di busway tadi yang karena tidak ditanggapi jadi kebakaran. Saya ingat seorang praktisi perhotelan bilang, yang begini ni yang namanya pitfall, hal kecil yang berakibat fatal. Kadang memang kita suka memperhatikan hal2 kecil, remeh, tapi yang memang benar2 sepele, yang kalaupun tidak diurus juga tidak akan terjadi apa2, tapi justru hal2 “sepele” lainnya yang mustinya diurusi malah dibiarkan saja.

Coba bayangkan, klo jadi bikin PLTN, konstruksinya saja nanti mesti gak bener karena materialnya dikorupsi, trus klo dah jadi mesti kita merawatnya juga asal2an, trus kalau ada kebocoran kecil, mesti bilangnya ahh sedikit ini, tidak apa2, belum lagi kita ini hidup di negara yang rentan gempa, nah kalau sudah meledak baru tuh komentar di mana2 untuk kemudian melakukan kesalahan yang sama. Pernah ada yang bilang, “membuat sebuah kesalahan itu suatu kebodohan.” Nah, Anda bisa bayangkan to bagaiamana kalau kesalahan tersebut dibuat berulang2, hemmm…jadinya retarded? Ya sudahlah pokoknya intinya demikian.

Negara ini sedang krisis energi, dan memang bukannya tidak ada yang punya inisiatif membuat energi alternatif. Sudah banyak lah yang menawarkan solusi, biofuel misalnya. Masalahnya saya pernah baca tapi lupa dimana, oke lah biofuel itu energinya jenisnya yang ramah lingkungan, bisa diproduksi berulang2, dan sumbernya berlimpah. Permasalahannya pengolahannya itu yang tidak ramah lingkungan. Terus kalau mau dibilang berlimpah2 juga tidak bisa dibenarkan begitu saja. Coba Anda lihat, banjir dimana2, panen gagal, dimana lagi akan ditanami tanaman2 sumber biofuel. Kalau misalnya sumber energinya kedelai, lah tempe saja sekarang mahal, karena kedelai langka, jadinya tidak efektif juga to. Sebenarnya menurut saya, ide biofuel itu sangat bagus, masalahnya perlu dipikirkan bagaimana pengolahannya supaya ramah lingkungan, bagaimana menjamin pasokan sumbernya ketika cuaca sedang tidak bersahabat seperti sekarang.

Saya pernah melihat di TV ada seseorang dengan ide untuk mengolah sampah menjadi bahan bakar. Caranya, membakar sampah2 tersebut untuk kemudian dibuat briket2 seperti briket batubara, atau gampangnya seperti arang. Idenya bagus, untuk mengurangi sampah tapi caranya yang menurut saya malah menimbulkan masalah baru, yaitu asap dari proses daur ulang serta hasil samping dari penggunaan briket2 sampah tersebut. Tuh, kan siapa bilang orang Indonesia tidak pandai, banyak sudah muncul ide bagus. Tapi ya itu, kadang kita memang berpikirnya tidak terlalu jauh sehingga ekses2 ke depan kadang belum terpikirkan dengan matang.

Kita kan punya cukup sinar matahari, bahkan akhir2 ini gelombang laut yang tinggi tapi sampai sekarang belum terdengar penggunaannya secara maksimal, atau dengan kata lain dalam skala besar. Akhir2 ini malah kita sering diguncang gempa. Ini pemikiran gila, tapi anyway, sebenarnya bisa tidak ya energi gempa itu dimanfaatkan untuk pembangkit listrik, daripada destruktif. Ya memang sih itu akan insidental saja tapi kan kalau dapat dimanfaatkan kan lumayan to. Ya, tapi sekali lagi, ini pemikiran gila…

Tuesday, February 19, 2008

Busway: Antara Benci dan Rindu

Busway sebenarnya, kalau boleh jujur, sangat membantu. Mungkin bukan jenis angkutan umum yang nyaman2 sangat, tapi kalaupun dikatakan sama sekali tidak nyaman juga tidak betul. Di semua busway ada fasilitas AC, ada tempat berdiri yang memadai dengan pegangan tangan pula. Tempat sampah memang tidak disediakan karena kebijakan pengelola, penumpang tidak boleh makan/minum di dalam busway. Alat pengaman juga cukup memadai, karena ada palu pemecah kaca kalau tiba2 terjadi hal yang tidak diinginkan. Tetapi untuk pemadam kebakaran, saya tidak ingat pernah melihatnya di busway, jadi jika memang alat yang satu ini tidak ditemukan berarti pengamanan memang boleh dibilang kurang memadai.

Selain itu, busway punya jalur sendiri, sehingga kalau ada kemacetan, bisa cepat kalau pake busway. Namun, jalur busway yang aman dari pengguna jalan lain, maksudnya tidak digunakan oleh pengguna jalan lain, selama ini yang saya tahu hanya di jalur Blok M-kota. Terus terang juga saya belum mencoba semua jalur busway. Selama ini yang sering saya gunakan hanya Blok M-Kota kemudian Senen-PGC-Kampung Rambutan. Kalau dibandingkan ya jauh, armada jelas lebih bagus Blok M-Kota, secara perjalanan ya lebih nyaman jalur busway yang dibuka pertama kali itu. Kalau yang di Kampung Rambutan, jalur busway-nya bisa digunakan oleh pengguna jalan lainnya, jadinya kebayang kan kalau lagi macet, naik busway atau bukan sama saja.

Idealnya memang jalur busway jangan sampai mengurangi lebar jalan yang sudah ada, cuman masalahnya kalau mau dibuat jalan khusus kaya monorail yang tidak jadi2 itu, kalau di Jakarta tempatnya sudah tidak ada. Tapi untuk banyak orang busway sangat membantu lo, terutama kalau angkutan kota yang biasa digunakan datangnya lama dan kalaupun ada berdesak2an dan jalanan macet. Bukan berarti naik busway itu nunggunya tidak lama dan tidak berdesak2an, tapi setidaknya lumayan, masih bisa pegangan dan tidak usah repot2 nyari2 dompet tempat uang setoran angkot. Kadang membayar di muka memang jauh lebih praktis, tidak usah kawatir kembalian yang belum diberika dll.

Khusus untuk berdesak2an, para pengguna busway tentunya sudah pengalaman juga. Sering jika saya pulang kantor tepat jam 5 atau 6, jika ada busway lewat bisa dipastikan penumpangnya seperti sarden, berdempet2an, penuh. Saya tidak tahu apakah karena armadanya yang sedikit/masih kurang, atau karena manajemennya saja yang belum benar2 jalan sehingga kedatangan busway tidak merata dan tidak bisa diperkirakan waktunya. Maksud saya, akan sangat2 membantu jika busway itu ada jadwalnya. Misalnya, setiap 15 menit atau setengah jam sekali ada busway yang datang, sehingga penumpang bisa mengira2 kapan musti berangkat ke halte, dan waktu tidak habis di jalan untuk menunggu angkot. Tetapi, ini semua dengan satu syarat, jika ada jadwal maka ajadwal tersebut dipenuhi, bukan hanya sebagai pajangan belaka. Mungkin, permasalahan dengan hal satu ini adalah jika jalur busway-nya tidak hanya untuk busway saja sehingga waktu tidak dapat ditentukan kapan. Tapi, untuk jalur seperti Blok M-kota kan mestinya sudah dapat dijadwalkan karena jalurnya eksklusif, dan waktu bisa dihitung dengan pasti. Tapi lagi2, ini perlu usaha ekstra, yang bagi pengelola angkutan umum tidak ada dalam kamus mereka.

Ya begitulah balada busway, jika sedang tidak penuh, jalanan lancer, nyaman nian naik busway. Tapi jika penumpangnya penuh, nunggunya lama, dan harus sampai di tujuan dengan segera, busway ini memang keterlaluan…begitulah busway kita. Sekilas info, di Yogya akan ada juga yang namanya Trans Jogjakarta, belum dapat share secara saya belum pernah mencoba, belum tahu kapan akan mulai jalan, baru melihat halte2nya sajah…mungkin setelah itu akan ada lagi Trans Bogor, Trans Surabaya, Trans Denpasar, Trans Jayapura, Trans….

Thursday, February 14, 2008

“Sudah Becheq, Tidak Ada Ojheq ….”

Kutipan di atas sedang tenar di Jakarta, orang2 mengambilnya dari pernyataan yang (konon) berasal dari pesinetron pendatang baru, Cinta Laura, namanya seperti judul sinetron. Seorang Indonesia keturunan Jerman, yang klo ngomong Indonesia gak faseh dan aksennya kebule2an sehingga, menurut ybs musti belajar Bahasa Indonesia ke Australia (nah lo!). Jangan2 klo Bahasa Inggrisnya parah musti belajar ke China! Anyway, itu menurut email2 yang beredar, bahwa pernyataan tersebut berasal dari ybs yang Indo-Jerman itu.

Sebenernya ini mengenai keadaan akhir2 ini di Jakarta, sering sekali hujan. Bukannya tidak bersyukur, tapi jalanan yang kadang berlubang2 itu dipenuhi genangan air. Ini saya tidak sedang mengeluh pada Tuhan, tapi pada yang punya tanggung jawab memelihara jalan2 di ibu kota ini. Mending2 klo para pengendara motor dan mobil sadar diri klo kendaraannya melewati jalanan berlubang yang penuh itu bisa merugikan pengguna jalan lainnya (re: pejalan kaki). Maksudnya klo kebetulan ada orang jalan deket genangan air itu trus ada kendaraan lewat, ngebut pula, pejalan kaki tersebut kan akan basah kecipratan air tadi.

Ya, seperti yang saya alami tadi pagi. Ketika saya jalan dekat genangan air, tiba2 ada motor yang lewat dan begitulah, air hujan yang tergenang itu mampir dan ikut membahasahi baju saya. Padahal saya baru saja keluar rumah, on the way ke kantor. Untungnya, airnya tidak banyak jadinya saya tidak basah kuyup dan musti ganti baju, hanya kecipratan sedikit saja. Tapi, walaupun sedikit tak urung makian keluar juga, walau tidak saya teriak ke pengendara motor tersebut. Rugi, dia sudah jauh, lagian malu saja dilihat orang, pagi2, gerimis, teriak2 di perempatan, padahal yang dimaki tidak di situ.

Klo pejalan kaki yang disalahkan karena dekat jalan dekat genangan air, lah jawabannya simple, mau jalan kemana lagi? Lah si genangan air itu “nongkrongnya” dekat trotoar, deket tempat orang jalan. Belum kalau trotoarnya dipake pedagang kaki lima buat kios, jadinya kan mau tak mau jalan di jalan raya. Jalan yang jadi “hak”nya yang pake kendaraan, terpaksa kita ambil buat jalan kita sendiri. Lah bagaimana lagi, namanya juga terpaksa….

Tetapi, tidak semua pengendar mobil maupun motor yang gak punya hati, yang tidak mau tahu apakah pejalan kaki atau pengendara kendaraan lainnya dirugikan oleh kelakuannya. Masih ada kok yang memperhatikan orang lain, walau sedikit. Pagi ini, lagi2 setelah kecipratan sedikit air, saya harus melewati genangan air yang malah seperti danau di jalur busway depan Makopasmar. Musti rajin2 melihat apakah ada busway atau bus “nyasar” lainnya yang lewat jalur itu. tadi pagi sih waktu saya tepat berjalan dekat genangan itu, busway di belakang saya dengan baiknya berhenti, menunggu saya melewati genangan air itu. bisa dibayangkan kalau pas saya jalan disitu, tiba2 dengan kecepatan tinggi ada kendaraan yang lewat disitu, basah kuyuplah saya.

Begitulah, cerita singkat tentang pejalan kaki, genangan air, serta kendaraan2 di Jakarta. Kalau “jalanan becheq, tidak ada ojheq”, hati2 sajalah kalau jalan di jalanan Jakarta. Waspadalah, waspadalah …

Monday, February 11, 2008

Sekali Lagi Kita Kecolongan…

Pagi ini saya membaca salah satu artikel di thejakartapost.com, selain berita tertembaknya Presiden Timor Leste, Ramos Horta oleh kelompok pemberontak Alfredo Reinado. Ini mengenai "pencurian" kekayaan alam kita, lagi2 nama salah satu kopi yang kita ekspor dipatenkan bangsa lain. Tetapi untuk saat ini bukan Malaysia, ini salah satu negeri di Eropah, Belande! Nama perusahaannya adalah Holland Coffee B.V. Entah ketularan Malaysia, entah emang niatnya menangguk untung berlipat2, tapi tetap saja, mereka mematenkan salah satu nama kopi kita. Karena pematenan tersebut, Indonesia tidak lagi dapat menggunakan nama tersebut untuk produk kopi ekspor kita.

Kopi yang namanya dicatut adalah kopi Gayo. Menurut artikel tersebut, kopi jenis ini hanya tumbuh di Aceh Tengah dan Bener Meriah. Rachim Kartabrata dari Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) menyatakan bahwa Perusahaan Holland tersebut telah mengirimkan surat kepada pihaknya untuk tidak menggunakan kata "Gayo" untuk produk kopi Gayo yang diekspor ke Belanda. Pihak Belanda tersebut mengklaim bahwa perusahaannya telah mendaftarkan kata tersebut dalam salah produknya, "Gayo Mountain Coffee".

Indonesia sudah sering sekali kena beginian, pernah tempe, trus batik, trus lagu, sekarang kopi, mungkin besok2 hari akan ada lagi yang diklaim pihak asing. Dari tanaman yang bisa tumbuh dimana-mana (re: kopi), sampai hal-hal unik milik Indonesia (re: batik), dengan enaknya diaku milik bangsa lain. Memang beginilah kalau kita terlalu banyak memiliki kekayaan tapi tidak menyadari bagaimana menjaga dan memanfaatkan kekayaan tersebut.

Tapi, lagi-lagi orang Belande itu kok ya ndak berpikir panjang, mana ada kopi dari Belanda namanya Gayo, yang jelas2 nama Aceh. Eh, tapi kopi tumbuh ndak di Belande? Jangan2 mereka cuman beli dari negara lain trus dilabeli "Gayo" trus diekspor ke mancanegara. Haduh, yang satu ini lebih parah lagi. Tidak kreatif sekali kumpeni2 itu. Sudah menjajah selama beratus2 tahun, bukannya berpikir ganti rugi malah menimbulkan kerugian lebih besar. Yah, tapi mana ada sih bangsa penjajah yang mau mikirin negara jajahan, apalagi mereka sudah tidak dapat memeras jajahannya.

Mustinya kita belajar dari kesalahan, bagaimana caranya melindungi apa yang kita punya, salah satunya ya mematenkan produk2 kita. Saya dengar memang mahal awalnya, tapi pada akhirnya kita sendiri yang diuntungkan. Cuman, karena kita ni ada "tradisi" menggunakan barang2 bajakan (contoh dvd film bajakan) – "kita" dari artinya juga termasuk saya loh hehe – maka hak paten tentu seringkali kita abaikan. Bahkan tidak sedikit yang belum mengerti hak yang satu ini. Kita sering merasa memiliki, cuman jarang menerima konsekuensi bahwa memiliki berarti juga merawat, menjaga …

Begitulah, jika suatu saat nanti ada produk atau kesenian Indonesia yang diklaim milik bangsa lain kita sudah nggak heran lagi kan. Jadi, jika suatu saat, apakah itu Malaysia, apa Belanda mempatenkan gejog lesung ya jangan mendadak muntap2 hehe (sedang membayangken para kumpeni menumbuk padi di lesung …)

Monday, January 28, 2008

Jakarta Semakin Mahal

Ternyata bukan saya saja yang berpikiran seperti ini. Saya pikir biaya hidup di Indonesia (terutama Jakarta) akan jauh lebih murah daripada di Australia, atau di negara lain pada umumnya. Ternyata pemikiran ini tidak sepenuhnya benar. Ketika saya pulang ke Jakarta, saya mengharapkan bahwa dengan uang Rp. 100.000 (atau sekitar AUD 12) saya dapat membeli banyak barang (saya pakai standar harga di supermarket seperti Carrefour, Hero atau Matahari, bukan niat saya beriklan disini lo ya). Tetapi perkiraan tersebut meleset jauh. Ternyata harga2 barang di Jakarta sudah jauh melambung dari setahun yang lalu.

Seorang teman yang baru pulang dari Belanda juga merasakan hal yang sama. Jika di Belanda dia bisa membeli roti mantou (roti beras khas China biasanya digoreng atau dikukus untuk memakannya, biasanya untuk sarapan) seharga € 1, maka dia harus mengeluarkan Rp. 14.000 untuk barang yang sama, yang sebenarnya harganya sama saja, hanya dalam mata uang yang berbeda. Jika harga2 barang sebenarnya sama, apa yang membuatnya lebih mahal?

Tentu saja jawaban atas pertanyaan di atas adalah bahwa jumlah uang perbulan yang diterima di Indonesia hanya sekitar US$ 140-an (dengan kurs $1=Rp. 9000). Saya memakai standar gaji PNS golongan IIIa, yang masih single. Anda bisa bayangkan jika dengan uang sekitar $ 100, untuk bertahan di Jakarta selama sebulan, dengan pengeluaran yang lebih banyak tetapi harga dan kebutuhan melonjak. Bagaimana tidak pusing memutar otak bagaimana cara bertahan dengan halal.

Memang perhitungan di atas tidak akan berlaku bagi pegawai swasta, PNS Depkeu atau pegawai BI misalnya. Tapi kalau cuma PNS biasa ya begitulah keadaannya. Kalau Anda kebetulan manajer di perusahaan besar di Jakarta dan membaca blog ini, Anda mungkin akan mencibir saja. Dan mungkin Anda akan bersyukur tidak pernah lolos tes CPNS (:D). Tapi memang kenyataannya demikian, tanggung jawab tidak lebih sedikit, jika ada kesalahan sedikit saja seluruh dunia mengutuk, belum tuntutan atasan langsung yang macam2, belum ditambahi keluhan2 rekan2 kerja yang lebih senior (maupun junior), tapi tetap kesejahteraan masih minim.

Bukannya saya tidak bersyukur. Saya hanya ingin memberikan gambaran betapa hidup semakin sulit di Indonesia (secara umum). Jika dibandingkan mereka yang tidak memiliki pekerjaan dan harus menghidupi satu keluarga tentu saya ini termasuk yang amat sangat beruntung. Saya masih bisa makan dengan layak, tidur nyenyak, dan masih bisa nonton di bioskop jika ada film baru. Jujur, saya sangat bersyukur dengan apa yang saya miliki saat ini.

Tetapi ya itu tadi, kalau dilihat dari tingkat kelayakan hidup, mungkin Jakarta memang bukan sebuah tempat yang dapat dianggap layak untuk hidup nyaman. Setidaknya bagi orang2 berpenghasilan rendah. Belum lagi udaranya yang amat sangat kotor, kemacetan dimana2, taksi yang katanya tarif lama tapi malah mengalahkan taksi tarif normal, angkot yang sering berdesakan, busway-pun sekarang semakin kacau saja, dan preman di setiap sudut kota. Dengan semua itu bagaimana Anda akan merasa nyaman dan aman hidup di ibu kota RI ini.

Lagi2 semua dihadapkan pada pilihan, tetap tinggal atau pindah. Jika tetap bertahan maka harus tahan dengan semua resiko. Jika pun memutuskan untuk pindah, resikonya juga tidak kalah banyak. Permasalahannya adalah kadang kesempatan itu cuma datang sekali, dan sekali kita lewatkan maka dia tidak akan datang lagi. Permasahalannya lagi, bagaimana kita tahu bahwa bertahan adalah sebuah kesempatan yang tidak boleh dilewatkan, atau pindah merupakan keputusan terbaik? Sepertinya banyak hal lain yang dapat dijadikan pertimbangan. Kelemahan dengan banyak pertimbangan adalah, in the end of the day, jika semua pertimbangan dipikirkan masak2 maka tidak ada waktu lagi untuk merealisasikan keputusan hasil timbang menimbang itu.

Jadi, mahalnya biaya hidup memang harus disikapi dengan hati2. Gangguan tidak sedikit dan tidak mudah untuk diabaikan begitu saja. Tetapi, apa kenaikan biaya hidup dengan sangat drastis ini sebenarnya sebuah “konspirasi”, menekan kenaikan jumlah orang yang berduyung2 ke ibukota? Entahlah, yang jelas, jikapun teori itu benar, membeli tempe pun Anda akan terheran2, dengan harga yang sama barang yang didapat jauh lebih sedikit dari sebelumnya. Oh Jakarta2 (Indonesia pada umumnya), mahal nian untuk bertahan di kotamu …

Sampaikan Salam Saya ...

Waktu itu pagi hari, jam 4 pagi, saya harus cepat2 ke bandara untuk mengejar pesawat pagi dari Jakarta. Tetapi salam perjalanan, ternyata hujan turun dengan amat lebatnya. Teringat pengalaman mendapatkan turbulence beberapa hari sebelumnya, saya sempat was2 juga. Dan dengan ‘optimisnya’ saya mengira pesawat saya akan delay beberapa waktu, apalagi Garuda, yang terkenal telat, suka gak tepat waktu dan hal2 yang terkait dengan waktu lainnya, kecuali dating awal …

Tetapi kenyataan berkata lain, nyatanya pesawat diberangkatkan pada waktu yang ditentukan, walaupun gerimis masih rintik2 di luar. Lagi2 perasaan was2 saya malah semakin besar. Saya sudah menguatkan diri seandainya goncangan2 tidak bersahabat akan saya alami. Tetapi lagi2, itu hanya prasangka buruk saya. Ternyata selama penerbangan, semuanya Alhamdulillah berjalan dengan lancar dan kami selamat sampai Yogyakarta.

Waktu keluar dari pesawat, saya berada di belakang seorang bapak separuh baya berbadan agak subur. Sesampai di pintu pesawat, di depan dua orang pramugari yang sibuk tersenyum dan mengucapkan terima kasih, bapak2 ini saya dengar mengatakan, ‘Mbak, tolong sampaikan salam saya pada pilotnya, landing-nya bagus!’ Saya cuman tersenyum di belakangnya, tapi terus terang, selama menggunakan jasa pesawat terbang, walaupun perjalanannya sangatlah mulus, komentar tersebut baru pertama kali saya dengar.

Selama ini kalau penerbangan buruk saja kita memaki2 maskapai yang membawa kita, tapi kalau semuanya baik2 saja, jarang kita memberikan apresiasi kita. Saya tidak menuduh orang lain, ini semata2 yang selama ini saya praktekkan. Bukan apa2, tetapi memang rasanya aneh kalau kita memberikan komentar seperti bapak2 di atas. Seharusnya sih tidak apa2, cuman karena mungkin tidak (atau belum) terbiasa makanya jadi terdengar aneh.

Tetapi mungkin hal2 seperti itu memang diperlukan, mengucapkan terima kasih, memberikan sedikit pujian dengan tulus. Daripada memberikan pujian tetapi sebenarnya niatnya untuk menjilat orang yang dipuji, maka untuk hal seperti ini, diam akan jauh lebih baik. Maka, jika lain kali pesawat mendarat dengan selamat dan mulus, selain mengungkapkan terima kasih, tapi juga rasa syukur, mungkin tidak ada salahnya pesen sama mbak2 pramugari di dekat pintu keluar, ‘tolong, sampaikan salam saya pada pilot, landing-nya bagus… .’

Tuesday, January 15, 2008

Dari Mana?

Menurut Anda, pertanyaan macam apa yang sulit dijawab? 'Kapan Menikah?' (bagi yang belum) atau 'kapan punya anak?' (bagi yang sudah menikah), 'Kapan mantu?' (bagi yang anaknya sudah besar). Ketiga pertanyaan itukah atau ada pertanyaan lainnya? Sebenarnya ketiganya bisa dijawab dengan mudah asal ada jawabannya dan memang tidak ingin merahasiakan sesuatu. Tapi jika pun ada jawaban atas pertanyaan tersebut, kalau memang belum berniat mempublikasikannya, maka menjadi sulit juga. Ataukah pertanyaan2 yang Anda temui dalam wawancara kerja, dalam sidang skripsi maupun thesis, merupakan pertanyaan2 sulit?

Tapi, dari semua pertanyaan sulit yang sering kita temui, menurut saya ada satu pertanyaan sederhana yang kadang menjawabnya perlu berpikir juga. Setidaknya bagi saya, mungkin karena memang otak saya yang lambat prosesnya atau memang sebenarnya jawaban dari pertanyaan sederhana tersebut tidaklah begitu sederhana. Bagi saya, pertanyaan yang terkadang membuat bingung (dan karenanya saya anggap tidak mudah) adalah pertanyaan 'dari mana?' Untuk menjawabnya Anda harus benar2 peka terhadap konteks kapan dan dimana pertanyaan tersebut ditanyakan. Tapi konteks bisa saja tumpang tindih. Jadi misalnya Anda di terminal Kampung Rambutan, baru saja sampai dari Bandung, dari mengunjungi teman, dan Anda asli Surabaya, kemudian orang di sebelah Anda di angkot bertanya 'dari mana Mbak/Mas?', Anda mau menjawab bagaimana? Anda bisa bilang, Bandung, Surabaya atau bahkan mengunjungi teman. Tapi ketika Anda menyebutkan salah satunya, terkadang ada perasaan (dan pertanyaan baru timbul dari diri kita), maksud orang tadi, 'dari mana asal saya', atau 'saya pergi dari mana?'

Permasalahan 'dari mana' seringnya adalah pertanyaan ini sering tidak dijelaskan. Maksudnya, apakah si penanya bermaksud bertanya asal, barusan datang dari mana, dari unit mana? Jika Anda di kantor, dengan banyak bagian, kemudian anda barusan pulang kampung, dan Anda berada di unit yang bukan tempat Anda bekerja, ketika Anda ditanya 'dari mana?' Anda mau menjawab apa, dari unit A, dari kota B? Jawabannya tidak pernah salah tapi kadang tidak tepat. Ketika Anda menjawab 'dari unit A', maka mungkin akan muncul pernyataan yang memperjelas 'dari mana' tadi, mungkin si penanya akan mengatakan, 'maksudnya, asal Anda dari mana?' Nah lo, susah juga kan?

Sebenernya tidak sulit sih, cuman sebenernya kita perlu peka terhadap situasi. Tapi jikapun Anda ditanya 'dari mana' Anda bisa menjawab apa saja, sesuai dengan situasi Anda, jika pun dianggap tidak nyambung oleh si penanya jelaskan saja jika memang menurut interpretasi Anda si penanya mengharapkan jawaban itu. Kalau tidak, dikoreksi saja, gampang to...(sepertinya sih demikian)

Kembali Pulang...

Setiap waktu yag telah berlalu pasti membawa perbedaan kepada setiap orang, walaupun perbedaan itu tidaklah besar. Apa yang terjadi di suatu tempat, pada orang2 yang tinggal di tempat tersebut setelah beberapa lama ditinggalkan? Apakah ada gedung baru yang didirikan, keadaan lalu lintas semakin parah, banjir dimana-mana, ataukah, luasan taman kota yang dulunya gersang tak terawat tiba2 menjadi berubah dengan hijaunya rimbunan pohon, semaraknya warna2 bunga yang sedang berkembang. Bagaimana dengan orang2nya? Semakin banyakkah yang tinggal disana atau sebaliknya. Apakah mereka masih merupakan orang2 yang sama yang suka membuang sampah sembarangan, yang tidak peduli dengan orang lain, orang2 yang sama yang selalu berdesak2an di angkutan umum. Ataukah, mereka adalah orang2 yang menyimpan bungkus permennya dan baru membuangnya setelah menemukan tempat sampah, orang yang dengan sadar dan senang hati memberikan tempat duduknya pada orang2 yang sudah renta dan perempuan atau anak2.

Saya belum dapat mengatakan apa yang berubah dari Jakarta setelah hampir setahun saya tinggalkan. Perjalanan dari bandara sangatlah lancar, tidak ada kemacetan, menurut sopir taksi yang mengantar saya, hari itu Sabtu dan libur panjang, jadi orang2 mungkin sudah keluar Jakarta. Cuaca juga tidak sepanas yang pernah saya ingat, waktu itu mendung. Tetapi seingat saya, walaupun mendung, Jakarta bukannya biasanya panas, hareudang kata orang Sunda (apakah penulisan kata tersebut tepat?). Tetapi waktu kurang dari satu hari memang belum dapat memberikan gambaran sebenarnya mengenai kota ini.

Apapun itu, yang saya baca di media sangatlah parah, macet karena pembangunan jalur busway, banjir karena musim hujan sudah datang, dan gubernur baru tentunya. Tetapi terus terang, yang terakhir bukan menjadi hal yang menarik bagi saya. Jikalau kemarin Jakarta sepi bukan berarti bahwa hal itu berlaku setiap hari. Saya membayangkan tanggal 2 Januari nanti, ketika banyak orang sudah mulai masuk kantor, maka macet akan dapat ditemui dimana2.

Tetapi saya tetap menemui hal yang sama seperti yang saya temui di banyak daerah di Indonesia. Ketika saya masuk daerah pemukiman, banyak orang yang memperhatikan apa yang saya lakukan, mungkin mulai membicarakannya. Setelah hampir setahun saya dapat melakukan apapun tanpa ada yang peduli, kini saatnya saya harus juga memperhatikan orang lain, apa yang mereka katakan. Walaupun itu bukan (dan tidak selalu) berarti bahwa saya harus mengikuti pendapat2 mereka. Mendengar saja terkadang sudah cukup. Pada kesempatan yang lain, bahkan akan lebih baik kalau kita pura2 tidak mendengar sama sekali.

Saya tahu mungkin akan sangat tidak nyaman kembali ke lingkungan dimana orang2 suka membicarakan apa yang kita lakukan atau katakan. Tetapi bukan Indonesia namanya jika orang2 sudah lagi tidak peduli apa yang Anda kerjakan. Bahkan Anda membeli barang baru saja, mobil atau furniture baru, tidak sampai keesokan harinya orang2 di kompleks Anda sudah tahu semua. Hebatnya, ini tidak perlu memakai alat komunikasi yang canggih, tidak memerlukan satelit maupun internet. Ini hanya perlu kekuatan kata2 para tetangga di kompleks Anda. Tetapi, sekali lagi, saya bahagia kembali lagi ke lingkungan itu, karena nanti kalau ada apa2 saya akan banyak yang membantu, walaupun mendapatkan juga bonus diomongin orang2… Harga yang Anda harus bayar untuk kembali ke rumah memang besar, tapi akan jauh lebih mahal kalau Anda meninggalkannya.