Monday, August 31, 2009

Berseteru dengan Malaysia*

Akhir-akhir ini, katanya tari Pendet diklaim oleh Malaysia dalam salah satu promosinya di Discovery Channel, tapi sampai hari ini terus terang saya belum menyaksikan sendiri iklan tersebut. Jikalau benar bahwa iklan itu ada, yang namanya iklan kan emang buat menarik pasar, klo dipandang Pendet bisa menarik lebih banyak orang untuk mengunjungi Malaysia (walau saya belum menemukan benang merah orang datang ke Malaysia karena mau lihat tari Pendet), ya bolehlah. Namanya iklan kadang bukannya emang comot sana sini? Menampilkan tari Pendet dalam iklan Malaysia, walaupun itu iklan wisata, sebenarnya belum bisa disebut sebagai meng-klaim. Klaim kan jelas, bisa lewat pernyataan lisan atau tertulis dari pihak berwenang, ya mungkin disini Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, atau semacamnya lah. So, jika ada salah satu pejabat Malaysia bilang ke media, baik ngomong langsung atau lewat tulisan bahwa tari Pendet milik mereka, nah itu yang bisa dipermasalahkan dan bisa disanggah bahwa Malaysia mengklaim tari Pendet. Tetapi, menurut saya, kalau masih sebatas iklan, masih bisa diperdebatkan, apalagi yang bikin iklan (kabarnya) Discovery Channel (heran juga ya, sekelas Discovery Channel gak pake riset dulu apa kalau mau bikin iklan untuk suatu negara). Walaupun masih saja bisa dan boleh dipertanyakan, lah klo namanya iklan itu kan biasanya sesuai pesanan yang pasang, nah lo...

Kemudian, seperti biasanyalah reaksi orang Indonesia, dari sekedar mencela dan bilang Malaysia itu maling sampai menuntut pemutusan hubungan diplomatik (emang hubungan diplomatik tuh kayak pacaran apa, boleh putus nyambung seenak-enaknya, yang ini saya nilai kok keterlaluan aja gitu) bahkan sampai perang (sepertinya perang itu cuman modal orang saja tanpa senjata). Mungkin orang Malaysia juga akan mencaci orang Indonesia, masak begini saja bergaduh (ribut), dan mungkin sebaris kata-kata yang merendahkan bangsa, negara Indonesia keluar. Sejujurnya, setiap negara memiliki sebaris makian untuk negara lainnya, ke negara manapun untuk hal apapun. Jujur sajalah, sama seperti di Indonesia, setiap etnis sepertinya memiliki semacam stereotipe terhadap etnis lainnya.

Kemudian, saya baca the Jakarta Post online bahwa Undip tidak akan lagi menerima mahasiswa dari Malaysia gara-gara ribut-ribut soal Pendet ini. Kalau ini, saya pikir Pak Rektor menanggapi isu ini secara emosional saja. Setahu saya, seburuk-buruknya hubungan antara dua negara, ada beberapa hal yang biasanya tetap berjalan dengan lancar seperti pendidikan (mahasiswa satu negara sekolah di negara lainnya walau sedang berkonflik), pariwisata (walaupun tidak banyak) dan perdagangan. Jadi menurut saya, tidak perlulah menolak mahasiswa Malaysia sekolah di Indonesia gara-gara isu tari Pendet ini, toh kebenarannya belum dikonfirmasi lagi dan kalaupun benar tetap saja hal ini kok rasanya malah kurang mendidik. Hal ini bisa jadi malah merugikan Indonesia sendiri, bayangkan berapa saja mahasiswa Indonesia sekolah di Malaysia, bagaimana kalau mereka tiba-tiba dipulangkan semua gara-gara hal ini.

Kemudian, lama-lama rasanya kok jadi gak enak baca koran tentang isu tari Pendet ini, soalnya komentarnya jadi gak sehat lagi. Masing-masing mencari pembenaran atas apa yang terjadi baik dari pihak Indonesia maupun Malaysia, ujung-ujungnya menjadi saling menghina. Tentu sebagai orang Indonesia saya tidak terima kalau dihina seperti "kenapa musti mengklaim sesuatu yang dimiliki bangsa yang ketinggalan 20 tahun dari kita" atau seperti komentar "miskin budaya yang penting kaya pekerti" (keduanya saya ambil dari the Jakarta Post online). Ya, kalau membaca komentar seperti itu siapa sih yang tidak akan emosi. Tapi lagi-lagi, emosipun mestinya ditempatkan pada porsi sewajarnya. 1) Kita mustinya memang mengakui secara ekonomi Malaysia lebih maju dari kita, setidaknya pembangunan sepertinya lebih merata di sana, tapi kita sebagai orang Indonesia jangan pula berkecil hati, berapa penduduk Malaysia dibanding berapa penduduk Indonesia, membagi kesejahteraan kepada penduduk yang kecil jumlahnya jauh lebih mudah daripada mensejahterakan ratusan juta orang. 2) Kemudian, akui sajalah secara bujet promosi mereka jauh di atas kita, untuk ulang tahun kemerdekaan tahun ini saja mereka punya program spesial di channel-channel seperti Discovery, National Geographic dan Asian Food Channel. Bandingkan dengan Indonesia, untuk sekedar bikin iklan yang bagus saja tidak bisa. Saya pernah melihat iklan pembalut wanita beberapa waktu lalu dalam rangka 17an, temanya keanekaragaman budaya Indonesia, iklan itu jauh lebih bagus daripada iklan ultimate in diversity-nya Budpar, bagaimana kita mau bersaing? 3) Kita belum bisa menyediakan lapangan pekerjaan yang cukup dan layak untuk semua penduduk kita, jadinya banyak orang kita yang terpaksa keluar negeri untuk sekedar bekerja, mencari nafkah menyambung hidup. Mungkin orang Malaysia yang keluar sudah yang profesional, jadi tidak ada stereotipe bangsa Malaysia sebagai bangsa babu seperti kita karena yang kita kirim sebagian besar memang tenaga informal.

Kembali kepada sengketa seni tradisional, kita mungkin bisa berkaca bahwa kita harusnya berbenah diri, budaya itu perlu dilestarikan, untuk itu bukan hanya modal mulut dan retorika, ada biayanya. Jaman sekarang biasanya siapa yang bisa bayar dialah yang dapat. Kalau Malaysia bisa mendapatkan "rahasia-rahasia" kebudayaan kita dan kemudian dengan sedikit modifikasi mengklaim miliknya, jangan terus serta merta dibilang menjiplak, hargailah itu sebagai kreasi, (pokoknya asal beda-beda dikit gitu) toh kalau dari sisi sejarah kita menang. Tapi ya itu, memang lebih mudah menyalahkan orang lain daripada menyalahkan diri sendiri. Dan penyakit orang Indonesia itu cenderung reaktif, kalau ada sesuatu yang terjadi baru bertindak, sepertinya menjadi preventif itu susah sekali. Baru kalau budaya kita diusik orang lain kita baru teriak, padahal sebelumnya mungkin kita tidak peduli apa yang kita miliki.

Mungkin mulai sekarang kita menginventaris apa yang kita punya dan tidak perlu menunggu negara tetangga menunjukkan itu. Kalau mengikuti emosi kita tentu tidak akan berhenti memaki, sudah saatnya kita menunjukkan kita bangsa yang besar, kita besar bukan dengan memaki bangsa lain yang mungkin telah merugikan kita, kita besar bukan karena kita menuruti emosi kita, kita besar bukan karena kita mengambil yang bukan hak kita. Kita besar karena kita memiliki beragam budaya dan mampu menjaganya, kita besar karena kita mampu bertindak rasional ketika suatu hal terjadi pada kita, kita harusnya mampu menunjukkan ini dan bukannya menuruti emosi.

*sebenarnya ketika menulis ini saya juga emosi, terutama membaca komentar pro Malaysia, ada yang bilang "I don't understand Indonesians" de el el, well, same here pal, "I don't understand Malaysians either". Kok jadi saling ingin dimengerti, jadi kayak tema lagu melow abg yang lagi berantem pas pacaran...dudududu...

Tuesday, August 4, 2009

Semua (sepertinya) Tergantung Mood

Selama hidup saya sekian puluh tahun di dunia ini (hemm, terkesan tua sangat daku ini), saya memang suka memperhatikan orang, apa yang mereka pakai, apa yang mereka makan, apa yang mereka bawa, apa yang mereka lihat dll. Sepertinya saya ini tidak punya pekerjaan saja melihat orang dengan sebegitunya, tapi saya tidak melihat hal-hal tersebut sambil melotot kok, kadang hanya sepintas, kadang kalau sangat, sangat menarik perhatian saya bisa menikmati waktu saya untuk melihat bagaimana orang tersebut berinteraksi dengan yang lainnya. Jangan salah, ketertarikan ini bukan seperti ketertarikan antara dua insan (regardless of their gender) yang menyebabkan mereka saling jatuh hati, ini lebih kepada ketertarikan yang tiba-tiba datang di saat menunggu bus, menunggu antrian di bank, kantor pos dll, ketika (sepertinya) tidak ada hal lain yang dilakukan. Ini hanyalah ketertarikan tanpa ada maksud apa-apa, kalaupun akhirnya hati ini jatuh juga, yaa, anggap saja bonus ...

Walaupun demikian, saya memang jarang benar-benar memperhatikan mood seseorang, apa yang dia rasakan, apa yang dia pikirkan, apa yang membuatnya sedih/tertawa/bahagia/murung. Saya kadang bertanya memang kenapa Si A terlihat begitu ceria ketika hari sebelumnya terlihat berduka, tetapi lama-lama saya berpikir bahwa keingintahuan untuk yang satu ini hanya selintas saja. Sampai akhirnya, beberapa bulan terakhir ini saya memperhatikan orang-orang sekitar saya dengan segala polah tingkahnya, saya pikir apa yang namanya mood itu memang sangat mempengaruhi bagaimana orang tersebut berinteraksi dengan orang lain. Kadang, saya sangat mudah meminta sesuatu dari seseorang ketika dia sedang senang, tapi ketika wajahnya keruh, untuk berbicara saja malas, maka sepertinya apa yang saya katakan tidak penting lagi. Jika saat-saat seperti ini datang pada seseorang, saya biasanya lebih suka membiarkannya sendiri dan bicara lagi lain waktu kecuali untuk hal-hal yang sangat, sangat penting.

Kenapa orang senang atau kata orang mood-nya sedang bagus? Mungkin dia baru mendapatkan rejeki, anaknya diwisuda dengan nilai membanggakan, istrinya memberikannya sesuatu yang istimewa sebagai kado ulang tahun, cucunya mulai bisa menyebut namanya, atasannya memberikan pujian, apa yang dia inginkan terpenuhi, dan banyak hal lainnya. Kadang, saya sendiri merasa bahwa saya bisa saja tiba-tiba merasa bahagia dan senang tanpa tahu kenapa saya begitu. Perasaan itu tiba-tiba saja datang, dan biasanya untuk yang satu ini, secepat itu dia datang, secepat itu juga dia pergi.

Kenapa orang bertampang murung dan tiba-tiba semuanya terasa salah? Bisa jadi dia baru saja kehilangan seseorang yang berarti dalam hidupnya, anaknya tidak mendengarkan nasehatnya, bawahannya membantahnya, atasannya memarahinya, apa yang benar-benar dia inginkan ternyata diraih oleh orang lain, terlalu capai setelah perjalanan jauh dll. Anehnya, ketika perasaan ini tiba-tiba datang, tidak secepat itu pula dia pergi.

Mengapa perasaan negatif lebih lama ada daripada perasaan bahagia? Mengapa kesedihan itu sepertinya abadi dan kebahagiaan tidak dapat berlangsung selamanya? "Ahh, itu perasaanmu saja, mood-mu baru jelek" mungkin itu komentar yang sering kita dengar. Tapi entahlah, mungkin waktu saya menulis ini mood saya sedang tidak bagus gara-gara ada yang sedang mood-nya jelek. Mungkin benar kata orang bijak, hal buruk cepat menular tapi hal baik susah menirunya.

Tidak ingin menduakan atau bermaksud mempertanyakan kuasa-Nya, tapi bagaimana jika Tuhan mempunyai mood, bagaimana kalau mood-Nya sedang tidak bagus? Mungkin, untuk orang-orang tertentu yang memiliki kekuasaan, mood seharusnya tidak lagi mereka hiraukan. Tapi, lagi-lagi, penguasa kan juga manusia ...

Saturday, May 16, 2009

Udara akhir2 ini

Panas...

Itulah satu kata yang tepat untuk menggambarkan bagaimana cuaca/udara akhir-akhir ini. Hujan memang turun semalam dan paginya pun bekas-bekasnya masih terlihat. Langit siang ini masih cerah tetapi jauh disana mendung tebal mulai menggantung. Tetapi tetap saja, udara tidak mau bertenggangrasa, adanya hanya panas sahaja, keringat mengucur bahkan ketika berada dalam mobil ber-AC, karena memang panasnya udara luar sampai menembus ke mobil ber-AC sekalipun. Tetapi itu mungkin mobil saya sahaja yang kurang canggih, entahlah bagi mereka yang berada di dalam mobil-mobil luxurious, tentu lain keadaannya.

Menurut beberapa orang, kalau dibandingkan tahun lalu, cuaca tahun ini jauh lebih panas. Entahlah, bukan hanya saya yang mengeluhkan panasnya udara akhir-akhir ini. Setiap bertemu dengan orang, tak jarang hal pertama yang diungkapkan adalah, "aduh, panas betul hari ini." Atau kurang lebih begitulah. Saya yakin banyak penjelasan ilmiah mengenai hal ini, boleh jadi, penjelasan lainpun bermunculan, maksudnya bagi mereka yang mendalami hal-hal magis, mungkin akan mengatakan hal lain. Bisa jadi ini adalah suatu kebetulan dan di tahun depan pada bulan yang sama udara menjadi lebih sejuk. Masih ada banyak kemungkinan untuk itu, namun untuk saat ini, cukuplah saya katakan kalau akhir-akhir ini udara memang panas sekali ...

Friday, April 24, 2009

Selamat Hari Bumi ...

22 April 2009

Hari itu terlewatkan begitu saja, setidaknya di lingkungan tempat saya bekerja dan tinggal. Sama seperti satu hari sebelumnya, tanggal 21 April, Hari Kartini. Tetapi mungkin di hari yang sama di belahan bumi lain, hari itu adalah hari yang sakral. Saya yakin banyak pihak yang telah mempersiapkan banyak acara untuk memperingati maupun menyambut hari tersebut. Lihat saja di beberapa koran besar pasti ada iklan untuk menyambut koran ini, ada juga mungkin artikel yang ditulis oleh organisasi lingkungan untuk menyambut hari ini. Mungkin Kementerian Lingkungan HIdup juga memiliki cara sendiri untuk memperingati tanggal 22 April tadi.

Tetapi tetap saja, di lingkungan tempat saya tinggal, hari itu berlalu seperti biasanya. Mungkin tidak banyak sampah plastik di jalanan, mungkin tidak banyak polusi karena asap pabrik tapi tetap saja, hari berlalu seperti yang lalu, panas, memusingkan dan melelahkan. Mungkin memang hari-hari tertentu tidak perlu diperingati ataupun untuk sekedar diingat. Mungkin begitupun dengan hari bumi. Tidak peduli tanggal berapapun hari itu diperingati, tidak ada bedanya, bumi sudah semakin renta, rapuh dan tidak berdaya. Kita telah dengan angkuh mengeksploitasinya, memperdayainya, menghisap saripatinya tanpa berpikir apa yang terjadi jika semuanya telah habis, bagaimana kita hidup. Mungkin pertanyaan yang harusnya dipertanyakan adalah, apabila bumi sudah tidak memiliki apa-apa lagi, bagaimana mungkin kita mengubah kebiasaan kita yang telah mendarah daging, diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya, dikekalkan dari satu jaman ke jaman lainnya, kebiasaan yang seenaknya, kebiasaan tidak mempedulikan apa yang terjadi kelak karena yang penting adalah sekarang.

Sekarang adalah sekarang adalah sekarang. Kelak, biarlah datang kemudian, segala sesuatunya bisa dipikirkan nanti. Kalau bisa ditunda sampai esok hari kenapa harus membuat diri pusing hari ini, iya kan? Toh sudah banyak yang bilang bahwa kesadaran yang tiba-tiba tentang bumi pada hari ini seharusnya dilakukan berpuluh tahun yang lalu. Bagaimana kita dapat mengembalikan apa yang telah hilang puluhan tahun lalu pada hari ini. Bagaimana mungkin kita mengejar ketinggalan itu. Untuk hal yang satu ini mungkin lebih baik berbuat sedikit daripada tidak sama sekali.

Namun kita dihadapkan kepada jutaan bahkan ratusan juta orang pesimis, orang-orang praktis dan para pelaku bisnis yang tidak percaya bahwa melakukan sedikit hal bisa membantu banyak. Bagi orang-orang ini, daripada membuang banyak waktu dan pikiran serta tenaga untuk hal-hal yang mereka anggap tidak berguna maka lebih baik tetap melakukan apa yang selama ini dilakukan tetapi hidup mereka lancar saja (setidaknya untuk masa ini). Tapi ada juga orang-orang yang terlalu penat untuk memikirkan bumi karena perut mereka terlalu lapar, anak-anak sakit sementara kepanasan dan kehujanan. Bagi mereka, apalah artinya kepedulian untuk bumi sementara hidup mereka di bumi inipun tidak dapat disebut enak bahkan jauh dari standar layak.

Begitulah, kita tidak bisa menarik garis tegas antara benar dan salah dalam hal ini, maksudnya sikap dan perilaku orang-orang yang kurang berpendidikan dan berpenghasilan rendah ketika mereka tidak peduli terhadap lingkungan. Mungkin garis tersebut dapat ditarik untuk mereka yang telah berpendidikan lebih baik dan berpenghasilan lebih tinggi; orang-orang yang dengan tanpa segan dan berpikir panjang dengan mudah "membuang" uang untuk sesuatu yang sepertinya sayang untuk dibeli kalau dilihat dari kacamata si miskin; orang-orang yang sebenarnya secara akademik sangat pandai tetapi tidak bijak secara perbuatan; orang-orang yang terlalu menggampangkan segalanya dengan alih-alih uang; orang yang memiliki segalanya tetapi berbuat seenaknya untuk hal apa saja; orang-orang yang, secara sederhana bisa dikatakan menyebalkan, menjengkelkan, mengecewakan, memalukan.

Bumi, mungkin itulah gambarannya selalu sampai akhir jaman nanti. Ketika ada orang miskin, orang kaya pun banyak juga; ketika ada yang mati kelaparan, tidak sedikit yang berlimpah harta; ketika ada yang percaya bahwa kebiasaan buruk harus dihentikan, tidak sedikit juga yang mempercayai dan melakukan sebaliknya. Seperti siang berganti malam dan panas berganti hujan, mungkin begitulah gambarannya. Bagaimanapun tidak akan ada yang berjuang untuk bumi ini kalau semua orang sudah tahu apa yang harus dilakukan, memang perlu setitik noda hitam untuk menyadarkan kita bahwa ada yang harus dilakukan.

Selamat hari bumi 2009

Kecewa

Ada banyak alasan kenapa orang jadi merasa kecewa, tidak mendapatkan pesanan dengan cepat waktu di restoran, nunggu bis kelamaan padahal sudah hampir telat, sudah antri tiket kereta dari pagi giliran sudah di depan counter tiket sudah habis, tidak diijinkan keluar malam, diputus pacar, mungkin intinya tidak mendapatkan apa yang diinginkan. Yang menarik diamati bukan bagaimana orang kecewa tapi justru bagaimana mereka mengekspresikan kekecewaan itu. Ada teman yang menggunakan kata "kecewa" atau "chewah" menjadi semacam kata "halah", jadi sering dengar kata ini diucapkan.

(1) Ada yang marah-marah di tempat ketika apa yang dicari atau diinginkan tidak didapat. Begitu diberitahu, orang tersebut akan melotot dan berteriak-teriak, mencaci maki berusaha mendapatkan alasan dengan pertanyaan yang diutarakan keras-keras (walaupun ada juga yang cukup berteriak kemudian pergi karena kesal). Kalau sudah begini, biasanya kalau tidak adu mulut berkepanjangan, jadinya malah berkelahi secara fisik, kemudian salah satu cedera, yang paling fatal salah satu atau malah dua-duanya meninggal. Kalau gini kejadiannya, komentarnya mungkin, "what a wasted life!" (yang ini sinetron banget)

(2) Kemudian ada juga yang dengan aktif menumpahkan kekecewaan tersebut dalam bentuk tulisan. Dari grafitti di dinding-dinding kota yang mungkin bertuliskan, "A - B" (A dan B nama orang dan tanda strip itu diganti gambar hati yang retak, oohh tragisnya); atau bisa juga dengan menghabiskan satu buku harian untuk menulis kronologis kejadian, mencoba menganalisa apa yang salah, mencari pembenaran bahwa si penulis ada di pihak yang benar dan semua kesalahan adalah milik orang lain selain dirinya. Ada juga yang tiba-tiba tekun di depan komputer/laptop menulis berbyte-byte dokumen padahal biasanya rajin main games komputer. Yang sekarang kebanyakan rajin mengungkapkan perasaan dengan meng-upload "cerita tragis"nya ke internet, membuat blog, mencari sebanyak mungkin pendukung sehingga terkurangilah kekecewaannya. Yang terakhir ini sedang nge-tren. (yang ini kreatif banget)

(3) Tapi, ada juga yang diam dalam kekecewaan. Begitu tahu apa yang diharapkan tidak diperoleh, orang itu cuma diam, memendam untuk diri sendiri, tidak seorangpun boleh tahu. Semua orang tahu ketika menemukan tubuh kakunya menggantung di salah satu tiang di salah satu kamar di rumahnya atau rumah kontrakan atau rumah kosnya. Tapi tidak semua yang diam memilih cara tragis ini, ada yang tetap diam dan berlaku seolah-olah tidak ada apa-apa dan hidup berjalan seperti biasa, prinsipnya hanya dia dan Tuhan yang tahu. (yang ini tragis bin ironis banget)

Mungkin saya menulis ini karena kecewa dan karena sok kreatif (lihat no. 2) sehingga mencoba mencurahkan kekecewaan saya itu (walau saya sendiri tidak tahu kenapa saya tiba-tiba menulis ini). Atau saya sok-sok kaya para antropolog yang suka menganalisa perilaku manusia? Atau memang saya sedang tak ada kerjaan sehingga hal yang gak penting begini dipermasalahkan. Ya, untuk kali ini biarlah saya dan Tuhan yang tahu ... (yang ini terkesan sok relijius...)


Sunday, April 19, 2009

Yang Tak Pernah Lekang oleh Waktu

Apakah itu?

Ada iklan yang bilang "diamonds are forever". Tapi sebenarnya apa sih forever itu? Klo politisi sedang kampanye mau cari masa untuk menyaingi penguasa akan bilang, "tiada yang abadi selain perubahan itu sendiri, saatnya untuk berubah." Tetapi klo pernyataan politis begini biasanya tidak akan kekal, sebentar juga hilang dan akan muncul yang baru sesuai kepentingan. Jadi, apa itu yang abadi? Klo Anda tanya ke orang yang sedang dimabuk cinta, mungkin dia akan menjawab, "cinta itu yang abadi." Tidak salah menjawab demikian, hanya saja ada pertanyaan selanjutnya seperti, "cinta siapa yang abadi?"

Adalah Ryan, the notorious serial killer yang katanya barusan mengeluarkan album. Klo menurut berita2 yang saya baca, dia itu semasa masih bersama orang tuanya (waktu bebas dulu), sering memperlakukan orang tuanya secara kasar. Mungkin karena anak semata wayang maka dia selalu ingin mendapatkan apa yang dia mau. Tapi terlepas dari itu, sebenarnya dia tak ada hak untuk berlaku begitu. Tetapi lihatlah sekarang ketika dia dipenjara, siapa yang dengan tabah mendampinginya, mendoakannya? Tidak lain ya orang tuanya itu. Menurut berita yang saya baca juga (was it di Detik.com atau Kompas.com ya?), orang tuanya dengan serba keterbatasan selalu berusaha mendampinginya sewaktu sidang, membawakannya makanan, berdoa untuknya, berupaya agar dia tidak dihukum mati. Walaupun mereka tahu dia salah tetap saja mereka berusaha agar anaknya diberi keringanan hukuman.

Mungkin itulah yang tak lekang oleh waktu, bahkan ketika orang yang disayang dalam kondisi yang terburuk, dalam keadaan yang paling tidak menguntungkan, orang tua tetap berusaha ada disana untuk memastikan anaknya baik2 saja. Yang saya banyak dengar dan lihat di infotainment, ketika orang yang pernah disayang sepertinya sudah menjadi begitu membosankan, maka terjadilah putus cinta, perceraian dan lain2. Tetapi saya tidak menulis ini untuk mengkritisi keputusan2 tersebut, hidup adalah pilihan. Siapa tahu walaupun berpisah mereka masih saling menyayangi, agar mereka tidak saling menyakiti lagi, mungkin demikian kenapa keputusan berpisah diambil. Tapi keputusan ini tidak diambil oleh orang tua Ryan, dan mungkin oleh banyak orang tua lainnya ketika anak mereka dalam bahaya, dalam titik terendah kehidupan mereka, orang tua ada disana, walaupun tidak secara fisik tetapi dalam doa, dalam pengharapan mereka selalu ada.

Mungkin benar kesimpulan yang selama ini saya ambil, bahkan orang yang dianggap paling jahat, dianggap paling tidak berguna, paling dibenci, paling sering dicaci maki, yang mungkin dikatakan paling pantas mati, memiliki orang2 yang peduli dan menyayangi mereka, orang2 yang tidak pernah berhenti berharap yang terbaik, berdoa dengan sungguh2 supaya mereka diselamatkan, orang2 yang akan menitikkan airmata apabila mereka disakiti, orang2 yang akan menuntut apabila mereka diperlakukan dengan tidak adil. Begitulah kira2 mungkin yang selalu akan ada sampai kapanpun ...

Monday, March 16, 2009

The Importance of Being Un-important… *

*baca: gak penting gitu lohh

Kenapakah demikian? Jikalau Anda menuju Temburong, Brunei dari Bandar Seri Begawan melalui jalan darat maka Anda harus mewati wilayah Malaysia yaitu Limbang. Tidak ada yang sebenarnya menarik dengan Limbang ini terkecuali bahwa banyak orang Brunei yang "alim nan relijius" itu yang suka "having fun" di kota ini karena mereka tidak bisa melakukannya di negara asal. tapi ini bukan tentang Limbang tetapi tentang perbatasan Malaysia-Brunei Darussalam.

Untuk memasuki wilayah Temburong dari Limbang, Anda harus menyeberangi sebuah sungai yang airnya kecoklatan karena tanah yang terbawa arus. Ada sebuah kapal yang katanya dimiliki bersama oleh semacam koperasi dari Malaysia dan Brunei. Jadinya seperti kongsi dagang antara dua negara gitu kali ya kecuali bahwa "barang dagangan"nya adalah jasa angkutan. Satu mobil yang menggunakan kapal tersebut harus membayar B$ 4 atau sekitar Rp. 28.000,- (dengan kurs B$ 1 = Rp. 7.000,-). Coba tebak berapa lama waktu yang diperlukan untuk menyeberangi sungai itu dengan kapal tadi? Ya, kira-kira kurang dari 5 menit kalau tidak dihitung waktu mobil masuk dan mobil keluar dan nunggu kapal penuh dan berangkat. Jadi, pertanyaan berikutnya, berapa lebar itu sungai? Jangan bayangkan sungai Kapuas atau sungai besar lainnya di Indonesia, sungai yang dimaksudkan ini hitungannya puluhan meter saja. Hmmm,sepertinya 20m pun tak ada ...

Kenapa tidak membuat jembatan saja? Well, ini masalah periuk nasi orang-orang di dua negara. kalau ada jembatandan kalaupun ada bayarannya pasti masuk ke kas negara. Kalau pakai kapal swasta begini uang langsung masuk ke orang Malaysia dan Brunei. Selain itu, ada perahu kecil khusus penumpang yang waktu saya disana hanya satu, siapa tahu ada yang jalan kaki.

Kemudian, di salah satu tiang kapal ada gambar handphone di tengah-tengah lingkaran merah dan dicoret ditengahnya. Intinya, peringatan dilarang menggunakan telepon seluler sewaktu dalam kapal. Mungkin takut akan membahayakan navigasi, takut kalau ada penumpang yang sms-an atau telpon-telponan kapalnya gak akan sampai seberang, begitu kali. But, c'mon mate, itu jarak ditempuh kurang dari 5 menit, seberangnya juga ketahuan dimana, wong keliatan (kata orang Jawa, cetho welo-welo nyolok moto. Kalau orang yang nekad dan kuat renang juga sebentar sampai, jadi kenapa gak bole pake hp di kapal? Biar memenuhi standar pelayaran internasional kali yaa (anyway, apa sih isinya standar pelayaran internasional?), soalnya kan ini penyeberangan antara 2 negara. Tapi emang kalau di kapal (bukan kapal terbang), gak boleh pake hp yak? Hmmm...gak penting ...

test

kenapa yak beberapa kali mau post entry kagak berhasil2...