Wednesday, December 26, 2007

Orang2 yang sedang Bosan

Pernahkah Anda perhatikan apa yang dilakukan orang2 ketika mereka bosan, bagaimana raut muka mereka? Mungkin saya termasuk sekian juta orang yang ‘kurang kerjaan’ sehingga kadang saya memperhatikan apa yang orang lain lakukan tanpa bermaksud mengamati secara sengaja. Bagi saya, bisa jadi ini adalah cara saya mengatasi kebosanan, atau bisa juga sebagai tanda bahwa saya sudah bosan dengan apa yang saya lakukan.

Ketika menunggu lampu merah atau ketika sedang macet, ada saja cara orang melewatkan waktunya. Sibuk dengan HP masing2, ato sibuk membolak-balik koran atau majalah, atau berbicara dengan orang di sampingnya. Lain waktu, ada yang bahkan sibuk mengaca dan membenarkan make-up. Tetapi tidak jarang, mereka melihat lurus ke depan, walau di depannya hanyalah sederetan panjang antrian mobil, bus, sepeda motor, yang kebetulan sama2 terjebak lampu merah atau macet. Ada juga yang mendengarkan radio ataupun MP3 player sambil mengetuk2kan tangannya di kap mobil.

Berbeda dengan mereka yang sudah lama menunggu angkot, tidak ada bedanya baik di Sydney atau Jakarta, atau mungkin tempat lainnya. Jika orang sudah bosan, mereka kadang cuma duduk, atau berdiri (jika tidak mendapat tempat duduk) diam dan melihat ke depan entah kemana, atau ke bawah. Jika sedang bersama teman, pacar, suami/istri ataupun anak, mereka sibuk dengan orang2 tersebut. Tapi tidak jarang juga yang sama2 diam, melihat2 arloji di tangan, lama nian busnya datang. Saking tidak ada kerjaannya, saya kadang bisa mendengar apa yang dikatakan orang di sebelah, sekali lagi tanpa bermaksud mencari tahu apa urusan mereka.

Kalau kebetulan sedang berada di angkutan umum sebagian besar orang yang saya perhatikan, jika tidak berbicara dengan orang di sebelahnya adalah membaca serta mendengarkan MP3 player mereka (terutama di Sydney, karena orang jarang membaca di angkutan umum di Jakarta!). Atau, seperti juga saya, cuma melihat keluar jendela, mengamati kembali jalan yang sama yang sudah berkali2 dilewati, gedung yang sama yang belum juga berubah. Kalau ditanya memikirkan apa, terkadang dalam keadaan seperti itu, pikiran ini malah istirahat. Atau kalau tidak, dia mencari2 kesibukannya sendiri, ‘kenapa sih ibu2 di seberang itu tidak diantar keluarganya, kan sudah tua?’ atau ‘aduhh, brisik sekali anak2 ABG di kursi belakang itu!’ Sepertinya, jika sedang kebosanan seperti itu, panca indera berfungsi dengan baik semuanya. Tapi tidak jarang juga di antara mereka yang tidur.

Lain lagi ceritanya dengan para spouse (terutama para lelaki), yang menemani belanja. Ketika matahari telah tinggi dan kaki sudah lelah menapaki semua sisi pusat perbelanjaan, mereka terkesan hanya tinggal menunggu nasib saja, pasrah menunggu di luar toko. Tak peduli lagi berapa kali kartu kredit mereka digesek, tak peduli lagi jikapun mereka harus membawakan bertas2 belanjaan. Itu kesan yang saya tangkap lo. Jangan salah, kasihan melihat mereka duduk kecapekan menunggu pasangan yang sedang giat membolak/ik barang, membandingkan harga, menghitung diskon. Ada kalanya, mereka terlihat agak marah ketika pasangan keluar dari toko membawa belanjaannya.

Anak2 memiliki cara sendiri jika mereka bosan. Banyak yang menangis keras2 mencari perhatian, merebut mainan temannya, menumpahkan minuman, mengobrak-abrik makanan. Seribu satu cara dilakukan agar mereka diperhatikan. Ada memang yang akhirnya tertidur, cuman sebagian besar yang saya temui ya itu, menangis keras2, atau jika mereka sudah bisa berbicara, mereka akan terus nerocos sana sini.

Tetapi itu pengamatan saya saja. Itu yang saya pikirkan ketika melihat orang terlihat kebosanan. Mungkin mereka marah, capek, tak kuasa menolak. Mungkin mereka harus segera sampai di tempat tujuan tetapi kendaraan umum selalu saja terlambat. Tapi menurut saya, mereka semua pada dasarnya hanya menginginkan satu hal yang sama, segera keluar dari situasi yang mengungkung mereka pada kebosanan itu sendiri.

Boxing Day

Hari ini, sehari setelah Natal di Australia. Sebagian besar toko dibuka jam 6 pagi dan memberikan diskon yang rata2 50% bahkan lebih. Sepertinya, semua orang sudah memenuhi kota/pusat perbelanjaan dari pagi. Ini adalah boxing day, sebuah hari dimana, literally, orang2 berebut barang (bahkan mungkin sampai benar2 saling meninju satu sama lain) yang dijual separuh dari harga biasanya. Menurut seorang teman, antrian sudah menyemut dari jam 6 pagi, itu berarti orang2 tersebut datang ke pusat perbelanjaan sebelum jam 6, bisa jam 5 bahkan mungkin tidak pulang sama sekali, demi diskon.

Salah seorang teman yang bertemu saya hari ini mengatkan kalau dia meninggalkan rumah dari jam 8 pagi dan menurut dia, banyak barang sudah habis terjual. Padahal saya baru pergi sekitar jam 11, jadi bisa Anda bayangkan, kalau saya tidak beli apapun. Alasannya sederhana, saya tidak memiliki target untuk membeli apa2, kemudian barang yang saya inginkan pun diskonnya tidak begitu banyak jadi kalaupun saya beli di Indonesia dengan harga penuh, masih akan lebih murah. Lagipula, saya bukan tipe orang yang saking gila belanjanya musti sabar mengantri di tengah keramaian orang. Kalau untuk berjalan ke counter-nya saja saya sudah kelelahan karena harus mencari celah di antara kerumunan orang, bagaimana saya harus memilih barang yang saya ingin beli. Saya memang bukan orang yang sabar untuk antri yang keterlaluan macam ini. Saya mentolerir antrian dan mungkin sudah terbiasa antri tapi tidak untuk berada di urutan seratus sekian, dan itu hanya untuk membeli barang yang sebenarnya saya tidak begitu memerlukannya!

Satu hal lagi, saya jarang bertemu dengan orang Indonesia di pusat perbelanjaan besar di Sydney pada hari2 biasa. Tetapi hari ini, saya bertemu banyak sekali orang Indonesia (pertama kali tentu dari bahasanya, bahkan ada yang pake bahasa Jawa!). Untuk kali ini orang Indonesia benar2 fit in the stereotype, belanja kalau ada diskon saja. Tapi tunggu dulu, tidak semua begitu, saya yakin banyak sekali orang Indonesia yang kelewat tajir yang tinggal di kota ini. Cuma karena kelewat kaya itulah kenapa saya tidak pernah bertemu dengan mereka, tentu saja lah tempat belanja kita berbeda.

Tetapi memang selama tinggal di Sydney, saya belum pernah melihat pusat kota – sekitar Pitt Street dan George Street – sebegitu ramainya, sampai2 mau jalan saja susah. Mungkin karena barang2 yang dijual di kota ini memang rata2 mahal maka adanya acara diskon seperti ini benar2 terasa. Saya melihat banyak sekali orang keluar dari pusat perbelanjaan dengan tentengan di tangan kanan dan kiri. Seorang teman mengatakan kalau dia perlu bantuan teman lainnya untuk membawakan belanjaannya. Sekiranya ini terjadi di Jakarta, mungkin suasana yang sama juga akan dapat ditemui.

Namun demikian ternyata tidak semua toko buka pada hari ini. Ketika masuk Queen Victoria Building (QVB), sebenarnya saya berniat melihat2 ke ‘Body Shop’, toko kosmetik dan perawatan tubuh yang menggunakan prinsip fair trade. Tetapi ternyata toko tersebut tutup. Demikian pula dengan sebuah toko coklat yang ada di dekatnya. Ketika itu musnahlah harapan saya mendapatkan diskon untuk produk2 ‘Body Shop’ yang menurut saya lumayan mahal tersebut. Mungkin memang ada beberapa toko yang tidak dapat lagi diturunkan harganya sehingga kalaupun buka juga tidak dapat menawarkan apa2.

Benar kata seorang teman, kalau memang benar2 berniat memanfaatkan boxing day harus datang dari pagi, pas tokonya buka kalau perlu. Tetapi saya untuk saat ini hanya berniat sebagai penonton saja. Saya hanya ingin tahu seperti apa sih boxing day itu. Ketika saya keluar dari sebuah toko, saya lihat tempat duduk di depan toko tersebut dipenuhi orang2 (yang sebagian besar laki2), dengan wajah kelelahan. Mungkin mereka sudah keluar rumah dari subuh, sehingga setelah jam makan siang, sudah loyo. Ya, begitulah enaknya menjadi penonton, tidak perlu antri, tidak perlu pusing2 menghitung pengeluaran, tetapi mendapatkan kesenangan. Jika pun ada barang yang terbeli, ya, anggap saja itu bonus…

Tuesday, December 25, 2007

Natal di Sydney


Saya memang tidak merayakan Natal, tetapi di manapun itu, seingat saya, belum pernah sekalipun melewatkan diskon dalam rangka hari tersebut. Tetapi ini bukan masalah diskon untuk menyambut Natal, yang kalau di Sydney, dan mungkin di Australia pada umumnya akan sangat terasa. Tetapi ini mengenai pengamatan saya tentang bagaimana orang2 sini melewatkan hari yang sakral untuk umat Kristiani tersebut.

Kalau masalah dekorasi, giat nian mereka memasangnya, bahkan sejak jauh2 hari. Seingat saya waktu itu masih bulan November, rasanya baru beberapa hari saya menyerahkan tugas2 kuliah saya. Pusat perbelanjaan maupun kantor bahkan beberapa pusat keramaian lainnya sudah penuh dengan dekorasi warna warni. Penyalaan lampu di pohon natal pun sudah sejak jauh2 hari. Bahkan orang2 di sekitar saya, dari pembicaraan mereka, tanpa bermaksud menguping pembicaraan orang lain, sudah membicarakan kado natal.

Kemaren, tanggal 24 Desember yang nota bene malam Natal, saya sedang berada di salah satu restauran di daerah the Rocks. Di meja sebelah kami, duduk beberapa orang yang sebelum pesan makanan sudah sibuk tukar menukar kado. Waktu itu saya pikir, begini kali ya orang2 sini melewatkan malam Natal. Waktu itu masih siang, sekitar jam 3an. Kemudian malamnya, ketika saya pulang dari acara salah seorang teman, pusat kota terlihat sangat ramai. Banyak sekali orang yang keluar dengan pakaian pesta mereka, dan memenuhi jalan2 Sydney. Kerumunan orang umumnya terpusat di beberapa pub di sepanjang jalan utama. Dengan memakai topi merah Santa Klaus, segelas bir atau anggur atau apalah minuman itu di tangan, mereka memenuhi klub2 malam Sydney.

Saya memang bukan orang Nasrani, tetapi setahu saya, di malam seperti itu teman2 saya yang merayakan, di Indonesia, sedang sibuk2nya di rumah, makan malam dengan keluarga atau siap2 mengikuti misa malam Natal. Sebenarnya ada beberapa gereja di sepanjang George Street, tetapi, kerumunan orang malah terlihat banyak di sekitar klub malamnya. Waktu itu saya pikir mungkin mereka misa-nya paginya kali yaa. Ternyata pagi tadi saya keluar, jalanan sepi. Hari ini, 25 Desember memang sebagian besar toko tutup, baru buka besok pagi untuk apa yang mereka namakan boxing day.

Tetapi sekali lagi, ini pengamatan saya sebagai pendatang yang membandingkan suasana Natal dengan yang ada di tanah air. Orang2 memang merayakan sebuah tradisi secara berbeda2 walaupun mungkin berasal dari tuntunan yang sama. Maksud saya, mungkin itu cara mereka mensyukuri hidup, tidak hanya dengan berdoa sepanjang malam, tetapi dengan bersenang2. Ini bukan masalah benar atau salah, tapi mungkin lebih kepada pilihan. Ketika orang2 di bagian dunia lain memilih gereja dan rumah sebagai tempat untuk merayakannya, mungkin orang2 sini beranggapan bahwa klub malam lebih tepat untuk itu. Saya tidak men-encourage Anda untuk berpikir bahwa setiap yang keluar dari klub malam mesti mabuk, tapi saya memberanikan diri untuk bertukar pandangan dengan Anda mengenai masalah ini. Mungkin karena rumah tidak dapat menampung banyak tamu, maka bertemu dengan kolega ataupun teman akan lebih leluasa di tempat umum, misal di klub malam. Tidak perlu menyediakan tempat, tinggal membelikan mereka minuman atau makanan gratis saja sebagai tanda terima kasih telah datang.

Itu saja menurut saya. Memang ‘lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya’, jadi saya tidak mau berprasangka. Walaupun terus terang prasangka buruk saya tetap ada. Tetapi biarlah hal itu cukup untuk saya saja. Untuk dibagi dengan orang lain saya hanya ingin Anda melihat hal ini dari sisi lainnya, bukan dengan stereotype klub malam = mabuk2an, tetapi coba kita renungkan sama2. Bisa jadi bagi mereka klub malam = tempat bersosialisasi. Siapa tahu lo, jika di antara pengunjungnya adalah politisi, kebijakan negeri kanguru ini mungkin dimulai dari perbincangan ringan di klub malam. Tidak semua yang berbau2 malam itu gelap kok, coba lihat saja lampu2 penerang jalan yang hanya menyala di waktu malam atau waktu mendung tebal, ndak gelap to ...

Saturday, December 22, 2007

Hari Ibu


Hari ini, tanggal 22 Desember di Indonesia diperingati sebagai hari ibu. Hari ibu di Indonesia erat kaitannya dengan sejarah berdirinya negara ini. Pada hari itu di tahun 1928, para perempuan di Nusantara mengadakan Konggres Perempuan pertama se-Indonesia, yang bertempat di Yogyakarta. Entah bagaimana, kaitan antara sejarah Konggres Perempuan dengan penetapan Hari Ibu. Maksud saya, jika tonggak sejarahnya adalah Konggres Perempuan, kenapa peringatannya terkesan ‘eksklusif’ sebagai Hari Ibu.

Saya bukannya tidak mau ada Hari Ibu tetapi hanya sedikit mempertanyakan kaitan Konggres Perempuan dengan Hari Ibu. Atau mungkin pada waktu itu yang berkonggres sebagian besar sudah berstatus ibu? Entahlah. Tetapi, apapun alasannya, pada hari itu, ibu2 ‘semestinya’ memiliki saat dimana beliau diperlakukan secara istimewa oleh anggota keluarganya. Bukannya kalau tidak ada peringatan itu kemudian ibu tidak perlu diperlakukan secara istimewa. Tapi, coba Anda amati di sekitar Anda, bahkan ibu Anda sendiri. Selain hari raya atau hari ulang tahun beliau misalnya, pada saat apa lagi ibu Anda diberi perhatian khusus oleh anggota keluarga lainnya?

Jika Anda tinggal di perkotaan, dari keluarga berada, memiliki pembantu, tentunya ibu Anda tidak perlu susah payah mengurusi semua pekerjaan rumah, dari memasak, mencuci, bersih2 rumah dan banyak lagi pekerjaan rumah lainnya. Tapi, jika Anda tinggal di desa, dimana pembantu rumah tangga tidak lazim dimiliki oleh keluarga2 di sana, dan semua pekerjaan rumah tangga adalah ‘tanggung jawab perempuan’, yang nota bene ibu Anda, saya yakin beliau akan sedikit memiliki waktu untuk dirinya sendiri. Belum jika harus membantu mengurus sawah dan ternak, belum jika anak yang telah berkeluarga dan memiliki bayi tinggal bersama orang tua. Pernahkah Anda bayangkan sejenak saja, kapan ibu pada situasi tersebut memiliki waktu untuk dirinya sendiri?

Terus terang saya juga kurang paham apa makna Hari Ibu di Indonesia. Untuk sekedar mengingat adanya Konggres Perempuan tersebut atau ada hal yang lainnya, misalnya sebuah hari di mana para anak dan suami merenung akan apa yang telah mereka lakukan pada para ibu atau para istri. Tetapi, lagi2 saya tidak menemukan jawabannya. Pada akhirnya, jika motif terakhir yang digunakan sebagai dasar memperingati Hari Ibu mungkin pernyataan, ‘jikalau mengingat apa yang telah ibu beri pada keluarganya bisa dilakukan setiap saat, tidak perlu tanggal 22 Desember’, akan kembali muncul. Tetapi sekali lagi, mungkin bukan ini maksud keseluruhannya. Mungkin dapat kita tarik satu hal saja, kalau banyak orang terlalu sibuk bekerja bahkan tidak punya waktu untuk diri sendiri, bagaimana akan punya waktu untuk ibunya?

Kalau saya coba renungkan apa yang telah ibu saya berikan pada saya, saya yakin seumur hidup saya mencoba membayarnya, saya tidak akan pernah bisa melakukannya. Saya dibesarkan di desa di Jawa di mana laki2 selalu dinomersatukan. Walau keluarga kami Alhamdulillah tidak sampai harus memilih anak yang mana yang harus disekolahkan, mana yang harus putus sekolah karena biaya. Orangtua saya bukan termasuk kalangan berlebih, mereka adalah kalangan pekerja yang harus menanggung beban keluarga yang tidak sedikit. Sebagai orang desa, anehnya orangtua saya tidak memiliki sawah seperti para tetangga pada umumnya. Mereka hanya mengandalkan gaji PNS yang Anda bisa bayangkan, jika pada saat sekarang golongan III a saja gaji ‘hanya’ sekitar 1 jutaan bagaimana dengan tahun 80an, mungkin berbilang puluhan ribu saja. Kami tidak memiliki pembantu rumah tangga, pasti sangat repot mengurusi keluarga besar, yang waktu itu anak masih kecil2 dan semua harus selesai sebelum anak2 pergi ke sekolah dan orangtua pergi bekerja. Jam berapa ibu saya harus bangun saat itu? Saya percaya bahkan beliau harus bangun sebelum subuh untuk membersihkan rumah, memasak, serta mempersiapkan dirinya sendiri untuk bekerja. Belum di sekolah jika beliau harus menghadapi anak yang bandel, yang susah menangkap pelajaran, yang tidak pernah mengerjakan PR, mungkin jika saya di posisi beliau kepala ini sudah mau pecah rasanya.

Tetapi nyatanya beliau tetap mengajar sampai purna tugas, semua anak telah bekerja, beliau tetap saja seperti dulu waktu saya masih kecil. Bangun pagi dan membersihkan rumah, pergi ke pasar, memasak dan lain sebagainya. Jika saya hanya melihat diri saya sendiri, mungkin saya menganggap bahwa sangat berat beban ibu saya. Bukan mengecilkan beban beliau, tapi bagaimana dengan ibu2 yang lebih tidak beruntung dari beliau, mereka yang tidak memiliki pendidikan, bahkan menjadi petani pun hanya sekedar buruh tani yang berarti tidak memiliki tanah sendiri. Akan jauh lebih berat lagi hidup mereka. Tapi mereka masih lebih beruntung daripada ibu2 yang tinggal di kolong2 jembatan di Jakarta, yang harus kejar2an dengan petugas Kamtib, banjir dan dingin di kala hujan, serta nyamuk dan debu di kala panas. Mereka mungkin sama sekali tidak punya waktu untuk istirahat, bahkan sekedar berangan2 seandainya memiliki rumah sendiri, walau kecil.

Saya yakin, masih banyak potret ibu di Indonesia yang lainnya. Mereka yang berkarir. Mereka yang mengabdikan seluruh waktunya untuk keluarga. Mereka yang harus membagi waktu antara rumah dan pekerjaan. Mereka yang harus berjuang sendirian karena suami telah berpulang, ataupun suami telah ingkar janji. Mereka yang harus menahan air mata di depan anak2 dan para istri lainnya. Mereka yang bahkan tidak pernah menikah karena dikhianati oleh laki2 yang pernah bersama mereka. Mereka yang masih muda, ataupun yang sudah berumur. Jika mereka adalah perempuan dan mereka memiliki anak, walaupun anak angkat sekalipun, mereka adalah para ibu. Mereka selama ini dianggap lemah karena mereka ‘hanyalah’ perempuan, yang bisa diperintah, yang menurut pendapat beberapa suami mereka harus tunduk dan tidak boleh membantah, yang sering dianggap bodoh, yang sering dilupakan. Tetapi sebenarnya mereka itu perempuan2 yang kuat, karena telah melahirkan berarti telah berjuang melawan maut, dan Anda tahu bahwa jika mereka menang melawan maut bukannya itu pertanda kekuatan? Mereka kuat karena mereka telah membagi apa yang mereka punya bahkan nyawanya untuk anak2nya, mereka telah membagi waktu yang begitu berharga dengan orang lain. Anda bayangkan berapa pelatihan manajemen waktu yang dihabiskan oleh seorang CEO untuk bisa mengurusi beberapa perusahaan sekaligus, dan apa seorang ibu perlu pelatihan khusus untuk membagi waktu antara dia dan anak2nya?

Mereka mungkin ‘hanyalah’ ibu, yang secara kebetulan adalah istri ayah Anda, dan tanpa Anda kehendaki telah melahirkan Anda. Tetapi satu hal yang perlu diingat, Anda boleh memiliki segala kelebihan di dunia ini. Jika Anda laki2, semua perempuan bisa jadi tergila2 kepada Anda, jika Anda perempuan, bisa jadi banyak laki2 telah bertekuk lutut di hadapan Anda. Tapi, semua itu tidak akan Anda miliki jika Anda tidak pernah dilahirkan oleh ibu Anda. Dengan segala yang Anda miliki sekarang, malukah Anda pada ibu kandung Anda sendiri, karena mungkin beliau kurang terpelajar, beliau tidak tahu banyak hal, atau hal lainnya. Jika Anda bisa menjawab bahwa Anda tidak malu maka berbahagialah, Anda sedang tidak berusaha melarikan diri dari kenyataan. Tapi jika ada pertanyaan, ‘jika Anda bisa memutar roda waktu dan memilih siapa yang melahirkan Anda, siapa yang Anda pilih?’ dan ternyata Anda memilih orang selain ibu kandung Anda sendiri, mungkin saya perlu bertanya, ‘ada yang salah di kepala atau hati Anda?’

Friday, December 21, 2007

'Are You Malaysian?'


Saya sudah terhitung hampir setahun di negeri kangguru ini. Ya, kalau mau dihitung secara pasti, begini perinciannya, saya datang tanggal 18 Januari 2007, berarti sisa bulan Januari tahun yang sama yang saya lewati disini, terhitung dari 18 Januari adalah 14 hari. Kemudian saya melewatkan bulan Februari s/d November sampe penuh, itu berarti ada 10 bulan. Kemudian sekarang tanggal 21 Desember, berarti kira-kira keseluruhan waktu yang sudah saya lewatkan di negara ini adalah 11 bulan 5 hari.

Tapi tahukah Anda, sebagai orang yang asalnya secara geografis berada persis di utara Australia ini, saya tidak pernah di-acknowledge sebagai orang Indonesia. Bukan tidak pernah sama sekali, tapi setiap bertemu dengan orang, baik bule, maupun berwarna jika mereka sedang rajin basa basi dan mencoba menebak dari rimba mana saya berasal, pertanyaannya selalu, ‘are you Malaysian?’ Dan tentu saja jawaban saya selalu ‘NO!’ Sekali dua kali saya sih maklum, maksudnya penampilan saya memang membuat orang dapat segera menebak kalau saya Muslim, lah terus orang2 yang telah saya temui dan menanyai asal saya itu mungkin mengasumsikan kalau satu2nya negara di mana orang Islam tinggal ya Malaysia. Waktu saya mengatakan Indonesian, mereka paling cuman mengangguk2 saja.

Terus terang saya ya kecewa lah. Sebagai salah satu orang yang berasal dari negara yang begitu ditakuti akan menyerang Australia, ehh, la kok belum pernah ada yang menyebut nama Indonesia pada tebakan pertama. Kadang saya berpikir, apa ini karena mereka secara geografi a bit illiterate (mohon maaf kalau terlalu kasar), atau memang karena tidak mau peduli saja. Saya berani taruhan kalau jawaban saya Bali instead of Indonesia mereka akan segera berkomentar, ‘wahh, pulau yang indah, nice beaches, beautiful girls, bla bla bla…’ Saya yakin hampir semua orang Australia pernah ke Bali, tapi coba tanyakan ke mereka, berapa yang pernah ke Indonesia. Bukan apa2, tetapi saya percaya bahwa masih banyak orang sini yang menganggap Bali itu bukan bagian dari Indonesia, dan ternyata Malaysia lebih berjaya di sini. Yaa, setidaknya namanya lah.

Saya kadang heran, apa yang membuat orang Australia melewati Indonesia untuk kemudian ke Malaysia? Bahkan beberapa waktu lalu, saya dengan seorang teman sedang menunggu bus di halte dekat Fish Market. Kemudian ada seorang laki2 tengah baya mendekati dan menanyakan dari mana, trus dia menebak2 (lagi2) ‘dari Malaysia ya?’ Saya bilang tidak, trus dia mencoba menebak2 dan menyebutkan hampir semua negara anggota ASEAN, bahkan Myanmar! Well, untuk yang satu ini mungkin karena waktu itu sedang seru2nya para Bhiksu di negara tersebut melakukan protes. Kemudian dia bertanya, ‘trus sebenarnya dari mana?’ Saya bilang saja, ‘coba tebak lagi.’ Dia sudah merasa telah menyebutkan semua negara di Asia Tenggara. Kemudian ketika nama Indonesia muncul, baru dia bilang, ‘ooo, iya!’ Saya tidak tahu harus bilang apa waktu itu. Dia menunjukkan pengetahuan mengenai nama2 negara di Asia Tenggara secara memadai, tetapi dia telah melupakan negara yang paling besar di kawasan itu. Mungkin ini yang disebut,’gajah di pelupuk mata tidak tampak, tetapi kuman di seberang laut kelihatan,’ walau dengan konteks yang berbeda dari biasanya.

Kembali ke masalah Malaysia. Saya terus terang tidak memiliki teman Malaysia selama di Sydney ini, bahkan di Indonesia juga tidak. Satu2nya student Malaysia yang mengambil unit yang sama dengan saya, orangnya sombong nian. Bahkan melihat saya pun tidak. Walau saya sedang berbicara dengan salah satu student China sahabat karibnya (begitu saya menyebut hubungan mereka, melihat kedekatan mereka walau istilah ini hanya untuk memberi penekanan saja tanpa maksud menilai hubungan mereka), dan dia perlu berbicara dengan student China ini, menoleh ke saya pun tidak! Bilang maaf karena telah menyela apalagi, I was totally invisible!!! Mungkin cewek Malysia itu pandai nian, cerdas tiada tara, mungkin semua nilainya high distinction, tapi kelakuan kok ya tidak menyenangkan.

Hal ini tidak hanya saya yang merasakannya, teman saya juga begitu, bahkan pernah dia berkata, ‘huh kalau bule aja dijabanin giliran papasan dengan kita membuang muka.’ Ya begitulah kesan saya terhadap orang Malysia yang kebetulan satu kelas dengan saya ini, sungguh tidak menyenangkan. Yang lebih tidak menyenangkan lagi, waktu teman China tersebut menanyakan pada saya tentang kabut asap, pembalakan liar di Indonesia, ketika saya coba jelaskan kalau kabut asap itu kebanyakan berasal dari pembukaan lahan, dia nyeletuk, ‘tapi teman dari Malaysia bilang tidak begitu.’ Ya, saya tahu yang dia maksud teman Malaysia itu. Saya tidak tahu apa yang dikatakan si Malaysia itu, tapi bahwa asap terjadi sebagian besar karena pembukaan lahan itu ada datanya dari Walhi. Kalau mau diterusin, siapa coba yang membiayai pembalakan liar di Indonesia, cukong Malaysia! Trus siapa yang ngaku2 kayu ramin yang diselundupkan dari Indonesia sebagai Malaysian origin. Tapi untuk yang satu ini sudahlah, kita tahulah siapa2 yang suka ngaku2 milik orang lain bahkan yang jelas2 berbeda dari apa yang mereka punya sekalipun. Jadi, kalau mengingat orang Malaysia yang satu ini coba Anda bayangkan diposisi saya, dan ditanyai, ‘are you Malaysian?’ Mungkin secara emosional dan pake Bahasa Jawa saya akan menjawab, ‘Malaysia gundulmu!’ Tapi percuma, mereka tidak akan tahu, dan tidak mau tahu.

Tetapi, itu orang buruk yang saya temui. Saya pernah juga mengambil kursus singkat yang hanya memerlukan tiga pertemuan. Kebetulan ada dua orang perempuan Malaysia disitu. Tetapi mereka baik2 saja, tidak sombong, ya selayaknya teman satu kelas lah, ngobrol ini itu. Bahkan mereka sempat mengutarakan kekaguman pada bintang sinetron Ari Wibowo. Bukan karena mereka kagum pada salah satu bintang Indonesia, tetapi lebih kepada acknowledgment mereka bahwa ada orang lain di kursus itu yang kebetulan satu kelas, yaitu saya sehingga ya, kalau bertemu setidaknya menyapa, itu yang membuat saya merasa, kedua orang itu tidaklah sombong.

Ya memang, tidaklah bisa kita menilai suatu bangsa karena perilaku satu warganya, itu generalisir yang keterlaluan. Akan tidak adil juga kalau saya mengatakan orang Australia ini pengetahuan geografinya parah hanya karena beberapa saja yang tidak tahu di utara benua mereka itu ada Indonesia, dan Bali adalah bagian dari Indonesia. Atau, tidaklah bijaksana kalau saya katakan orang Malaysia itu sombong hanya karena satu orang saja yang berperilaku buruk. Cuman, tetap, saya capek harus mengoreksi tebakan mereka dari mana saya berasal. Tetapi saya tentu tidak mau meng-iyakan begitu saja. Masih ada sekitar seminggu lagi saya disini, dan saya harap no more ‘are you Malaysian?’

Thursday, December 20, 2007

Arti Sejengkal Tanah


Bagaimana jika tiba2 rumah yang Anda tempati digusur, padahal Anda tidak tahu mau pergi ke mana. Rumah tersebut adalah warisan ayah, kakek, kakek buyut serta ayah kakek buyut begitu dan seterusnya. Bergenerasi2 keluarga Anda menempati rumah tersebut, dan tiba2 sebagai generasi paling akhir yang tinggal di situ, Anda harus berkemas pergi. Apapun alasan kehilangan rumah itu dan jikapun ada tempat lain untuk tinggal dan memulai hidup baru, bagaimanakah perasaan Anda?

Bagi sebagian orang, sejengkal tanah warisan orangtua atau tanah yang mereka beli dengan susah payah adalah harta yang sangat berharga. Jikalau bukan dari segi materi maka nilai sejarah serta kenangan beberapa generasi keluarga terekam di rumah atau di atas tanah tersebut. Walau sebagian lagi akan dengan senang hati pergi dan mencari penghidupan baru di tempat lain, tetapi saya yakin mereka tetap akan merasa berat pada awalnya. Kecuali sebuah peristiwa sangat tragis dan traumatis terjadi di tempat tersebut, maka kehilangannya merupakan sebuah kehilangan besar.

Kalau kita lihat konflik atas tanah seperti di Timur Tengah antara Palestina dan Israel, mungkin ada sebagian orang yang dengan santainya mengatakan, ‘sudahlah, berkemas saja tinggalkan tempat itu, tempat yang panas, air susah, banyak bom bunuh diri. Kalau ada yang mengalah pergi maka masalahnya akan selesai’. Masalahnya lagi sejengkal tanah yang mereka ingin pertahankan, baik itu orang Israel, Palestina maupun Kristen, kadang tidak ada hubungannya dengan keamanan. Saya baru saja membaca di www.nationalgeographic.com mengenai kota Bethlehem, tempat kelahiran Nabi Isa (menurut tradisi Islam) atau Yesus (menurut tradisi Nasrani). Bahwa di kota tersebut sekarang lebih banyak orang Islamnya daripada orang Kristennya. Ini karena mereka banyak yang pindah ke Eropa atau tempat lainnya untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Tambahan, di sekeliling kota tersebut telah dibangun tembok tinggi oleh pihak Israel, dan penduduk tidak boleh berada di luar tembok tersebut (atau dalam kata lain di sisi Israel) lebih dari jam 7 malam! Bahkan Walikota Bethlehem pun harus mematuhi larangan ini.

Mereka yang memutuskan tetap tinggal, memiliki beraneka ragam alasan. Namun, banyak di antaranya yang mengatakan bahwa keluarga mereka telah tinggal di kota itu selama bergenerasi2. Bahkan jika ditelusuri, keluarga mereka telah tinggal di situ sebelum kelahiran Nabi Isa/Yesus. Mereka mengatakan bahwa walaupun telah kehilangan anggota keluarga yang mereka cintai di kota itu, dan kenyataan bahwa keamanannya tidak menjanjikan, mereka tetap akan tinggal. Bukan masalah akan tinggal di mana setelah itu, tapi lebih kepada, apa yang akan mereka tinggalkan. Salah satunya mengatakan bahwa, ‘jiwa saya ada di Bethlehem. Saya adalah ikan dan kota itu adalah air bagi saya. Jika saya harus pergi menginggalkannya maka saya akan mati.’ Demikian hebatnya kenangan sebuah tempat bagi seseorang.

Kalau kita lihat di tanah air, kita juga akan menemui banyak hal serupa. Coba lihat mereka yang tinggal di lereng gunung berapi misalnya, bahkan setelah gunung itu meletus dan menghancurkan rumah mereka, mereka tetap bertahan. Setelah reda, mereka akan kembali lagi ke situ dan membangun kembali apa yang telah hancur. Di tempat yang sama di mana beberapa saat sebelumnya lahar panas telah meluluhlantakkan bangunan rumah tinggal mereka. Jika mereka memiliki cukup uang, kenapa tidak pergi saja ke tempat lain yang lebih aman, daripada selalu diliputi kecemasan tinggal di lereng gunung berapi. Tetapi kadang jawaban serupa muncul, ‘ini tanah peninggalan kakek buyut saya, kalau bukan saya yang merawat siapa lagi, saya tidak mau disebut anak tidak berbakti.’

Jadi, apa arti sejengkal tanah bagi Anda? Sebuah tempat yang harus pertahankan mati2an karena telah Anda beli dengan hasil memeras keringat, atau karena tanah tersebut warisan orangtua Anda, atau karena tidak ada tempat lain untuk berlindung? Apapun itu, kalau saya amati kenapa konflik atas tanah antara Israel-Palestina tidak segera berakhir adalah karena masalah sentimental memory ini, atau dari sisi sejarahnya. Kalaupun saya orang Israel atau orang Palestina, saya juga tidak akan dengan mudah tunduk pada kertas2 perjanjian jika itu berarti harus meninggalkan tanah di mana saya telah dilahirkan dan dibesarkan untuk selama2nya, untuk pada akhirnya menjadi orang asing di tanah sendiri. Dari sisi ini, saya jadi bertanya2 bagaimana menyelesaikan permasalahan ini tanpa menyinggung keberadaan generasi mereka yang telah beribu2 tahun berada di atas tanah tersebut.

Mungkin sejengkal tanah itu hanyalah sebuah tempat di mana hanya ada sedikit air, rumput pun enggan hidup, dan hanya debu2 saja yang beterbangan jika angin mau singgah. Tetapi untuk beberapa hal terkadang bukan dengan berapa uang tanah tersebut dihargai tetapi berapa lama dia telah ditinggali, telah berapa banyak darah tercurah untuk mempertahankannya, atau telah berapa banyak peristiwa bahagia diadakan di atasnya. Kadang ini bukan masalah uang dan materi, atau bahkan bukan masalah yang bisa diselesaikan dengan logika, tetapi ini lebih kepada masalah hati dan perasaan. Mungkin pertanyaannya bisa menjadi, berapa uang yang berani Anda terima untuk mengorbankan perasaan Anda sendiri?

catatan: photo © Christopher Andersen, http://pictopia.com/perl/ptp/natgeo?photo_name=1102466, diakses tgl 20 Desember 2007, merupakan photo kota Bethlehem sekarang


Skeptis


Bukannya saya ini sepenuhnya orang yang optimis, tetapi saya rasa saya telah banyak menemui orang yang lebih tidak optimis dari saya dalam beberapa hal, bahkan skeptis. Saya termasuk orang yang percaya bahwa sebisanya energi harus dihemat, penggunaan detergent seperlunya saja, kertas2 juga harus dihemat, biar hutan bisa diselamatkan. Saya tahu pandangan ini mungkin tidak sepenuhnya benar. Bagaimana kalau saya tetap menghemat apa yang harus dan bisa dihemat, tiba2 sekian juta orang lainnya di dunia melakukan pemborosan luar biasa. Lalu, saya kadang merasa bahwa orang yang skeptis itu sebenernya adalah orang2 yang bisa sangat egois?

Untuk masalah pemborosan, saya contohkan Dubai. Saya bukan anti pembangunan, tetapi menghadirkan tempat ski di gurun pasir adalah hal yang sangat mahal. Saya bodoh dalam ilmu fisika walau di SMA saya masuk kelas Fisika, memalukan bukan, makanya saya tidak tahu pasti berapa energi yang dihabiskan dalam semenit saja untuk tetap menjaga es2 di tempat ski itu tidak mencair. Tetapi yang pasti saya percaya kalau jumlahnya sangat banyak sekali. Tetapi kalau biaya bukan masalah kenapa tidak, mungkin begitu pemikiran orang2 yang ada di balik proyek ski Dubai. Daripada membuat pulau buatan yang tentunya mengubah semua ekosistem di laut, kenapa tidak berusaha menghijaukan padang pasir saja. Atau lebih mudah menimbun tanah di laut daripada menyuburkan pasir kali yaa… Tapi sekali lagi, itu urusan mereka, jadi karena saya tidak punya otoritas apapun ya cukup bagi saya menyaksikan saja, walau kadang dengan miris membayangkan seandainya ada orang miskin di Dubai (walau sepertinya mustahil ya) apa kata mereka dengan dana berlimpah yang digunakan untuk menyenangkan kalangan berada tersebut?

Kemudian, belum membayangkan berapa eksemplar koran dicetak per hari yang pada akhirnya dibuang begitu saja, berapa pohon harus ditebang untuk menghadirkan berita cetak ke rumah2 di seluruh dunia? Tetapi tentu saja koran menggunakan kertas daur ulang, ini asumsi saya. Walaupun demikian, tetap sayang rasanya jika harus mendaur ulang berkali2 yang akhirnya pertanyaannya adalah berapa energi yang dihabiskan untuk mendaur ulang kertas tersebut. Tetapi, jika oplah menurun, berarti tenaga kerja harus dipangkas, ini masalah lagi. Mau dikemanakn orang2 yang selama ini telah bekerja untuk media cetak (dan industri kertas tentunya) tersebut, ketika lapangan pekerjaan semakin sempit? Ini seperti lingkaran setan bukan? Anda berhenti membeli koran, kemudian karena banyak yang melakukan hal yang sama maka perusahaan harus memangkas produksi. Jika produksi dipangkas berarti iklan pun enggan masuk, dengan sendirinya kemampuan keuangan menurun, dan wajar saja jika PHK dilakukan. Jadi sepertinya Anda ingin menyelamatkan sesuatu dengan mengorbankan yang lain. Masalahnya dua2nya demikian penting; menyelamatkan hutan yang pada akhirnya menyelamatkan manusia tetapi mengorbankan kelompok manusia lainnya, atau menyelamatkan industri kertas yang juga menyelamatkan manusia tetapi mengorbankan hutan yang pada akhirnya mengorbankan manusia juga?

Membingungkan? Begitulah adanya. Tetapi bagaimana jika kita tetap menyelamatkan hutan dengan tidak semena2 menebanginya, tetapi perusahaan kertas atau koran tetap mempekerjakan karyawannya? Bagaimana jika pada waktu yang sama kita tetap dengan bijaksana menghemat kertas? Maksudnya, gunakan saja kertas daur ulang, dan hutan ditanami lagi, karyawan tetap bekerja, hutan aman, dan jika memang kompensasinya adalah kebutuhan energi meningkat, selama hutan terjaga bukannya kita tidak akan kekurangan air untuk pembangkit listrik? Tapi ini idealnya. Kemudian apa hubungannya dengan para skeptis itu?

Hubungannya adalah seperti apa yang terjadi di Dubai tersebut. Maksud saya, sementara ada orang berusaha dengan kuat untuk menghemat sesuatu, ada sebagian lainnya yang menghambur2kannya. Maka orang2 yang berusaha menghemat ini mungkin akan capek dan akhirnya berhenti menghemat. Di sinilah para skeptis itu. ‘Ah, saya sudah capek2 hemat energi ternyata tetangga saya kok kayaknya ndak peduli, sepertinya usaha saya sia2 saja, bahkan saya dibilang pelit’. Kadang memang batasan antar pelit dan hemat memang tipis, bahkan sangat tidak kentara. Tapi Anda tahulah batasan itu dimana, asal tidak keterlaluan maka bukan pelit namanya. Ada lainnya yang bilang, ‘saya tidak percaya menghemat kertas bisa menyelamatkan hutan!’ Sebenarnya memang hal ini sulit dipercaya. Tapi coba kita lihat dari sisi yang lebih optimis, jika semua orang melakukan penghematan kertas setidaknya kita tidak perlu menebangi pohon2 untuk membuat kertas2 baru, atau minimal kita mengurangi sampah, ya toch. Lagi2 bisa saja saya didebat tetapi jika seperti di atas menghemat kertas berarti mematikan industrinya yang nota bene mematikan kesempatan kerja karyawannya bagaimana? Saya tadi juga sudah bilang, secara implisit, didaur ulang saja dengan benar, maksudnya ganti bahan pulp yang langsung dari kayu hutan dengan bubur kertas bekas, bisa kan?

Tapi sekali lagi, ini masalah teknis yang sama sekali tidak saya kuasai. Jadi memang sulit untuk dibilang bahwa menghemat kertas bisa menyelamatkan hutan. Akan tetapi, sekali lagi, saya masih percaya bahwa lebih baik menghematnya daripada menghambur2kan untuk hal2 yang tidak seperlunya. Kalau ada yang bilang itu sangat tidak masuk akal, saya rasa orang ini harus berpikir sedikit lebih keras lagi, dan berusaha untuk tidak egois dengan membuat dirinya sebagai standar dan mulai memikirkan bagaimana jika orang lain melakukan hal yang sama, instead of, terus2an mengatakan ‘Aku tidak peduli!’ Untuk orang2 seperti ini mungkin hanya satu yang bisa saya katakana, ‘Anda tidak perlu peduli memang, tapi jika suatu saat ada hal buruk menimpa Anda karena ketelodoran dan kesombongan Anda maka jangan salahkan orang lain, atau jangan mengharap orang lain menolong Anda. Bukankan selama ini tidak ada orang lain, tetapi hanya Anda?’

catatan: gambar di atas bukan di salah satu pegunungan di Swiss tetapi di Dubai, http://www.skidubai.org/ski-dubai-sunny-mountain.html, diakses tgl 20 Desember 2007

Wednesday, December 19, 2007

Antartika dan Saya


Banyak orang ketika ditanya pengen liburan ke mana, maka jawabannya tempat2 elok seperti Eropa (Eropa pun yang barat, London, Paris dan konco2nya), atau Bali, Bangkok, atau Hongkong kalau mau belanja. Tapi saya sering menjawab, Antartika! 'Heh?' reaksi para penanya ketika saya sebutkan nama sebuah benua beku di sebelah selatan Australia itu, yang diklaim oleh banyak negara, dari Australia sendiri sampai negara2 di Amerika Selatan! 'Mau ngapain di tempat seperti itu, itu kan dingin!' Bukannya saya ndak mimpi pergi ke Paris ato New York untuk jalan2, tapi kedua kota itu bisalah setiap saat dikunjungi kalau ada sarananya, tapi Antartika? Bagaimana kalau gara2 global warming dan climate change atau warming2 dan change2 yang lain tiba2 benua itu meleleh, dan penguin2 Emperor yang begitu anggunnya seperti dalam dokumenter The March of the Penguins hilang begitu saja? Saya kan nantinya hanya mengunjungi sebuah tempat kosong melompong saja, karena seperti foto2 yang saya lihat selama ini, daya tarik benua itu justru karena dinginnya, karena formasi dan warna2 gunung2 es-nya.


Mungkin saya mulai terobsesi dengan Antartika ketika saya menonton seri dokumenter Undersea World of Jaques Cousteau. Kalau tidak salah ingat saya masih SMP waktu itu karena TV swasta di Indonesia tidak lebih dari tiga dan siaran baru mulai jam 12 siang. Di dokumenter itu diperlihatkan bagaimana para ilmuwan berjuang di tengah dinginnya benua itu untuk meneliti kehidupan di sana. Cousteau kehilangan salah satu anggota tim-nya waktu itu. Saya bisa ingat betul walau saya tidak pernah menulisnya di buku harian. Sebagai orang yang cepat lupa, ingatan saya sangat begitu rapinya menyimpan beberapa hal yang ada di dokumenter tersebut. Saya masih ingat ketika pertama kali saya kenal dengan nama 'paus pembunuh' atau waktu itu disebut 'orka', dan saya belum tahu bagaimana menulis kata dengan bunyi itu. Baru setelah saya dapat publikasi dari Greenpeace, saya tahu bahwa paus pembunuh atau Inggrisnya disebut killer whale itu sering juga disebut orca dari nama Latinnya Orcinus orca. Kalau tidak salah ingat nama Latin ini berarti setan dari neraka. Nama ini begini menyeramkan untuk makhluk berton2 yang saya pikir warnanya seperti panda, hitam-putih, dan makanannya hanya plankton dan krill (sejenis udang kecil).

Saya pun masih ingat dengan jelas kalau kapal yang digunakan oleh Cousteau itu namanya Calypso, yang belakangan saya tahu merupakan nama dewi laut. Kemudian ingatan saya kembali disegarkan dengan tokoh Calypso di film Pirates of the Caribbean: at World's End, walau Calypso, si kapal tidak seperti yang digambarkan di film itu. Ketika saya SMA dan mulai pede menulis surat dengan bahasa Inggris saya yang waktu itu masih kacau balau, saya memberanikan diri menanyakan ke UNESCO mengenai Jean-Jaques Cousteau ini, karena naifnya saya waktu itu. Cousteau adalah orang Perancis, dan karena kantor badan PBB tersebut di Paris, dan beliau adalah ilmuwan kelautan terkenal, siapa tahu UNESCO bisa membantu. Tapi benar adanya, UNESCO bisa membantu, dengan menberikan edisi UNESCO Courier lama yang ada artikel mengenai beliau. Artikel tersebut bukan mengenai pencapaian beliau di bidang kelautan tetapi mengenai meninggalnya salah satu ilmuwan kelautan besar Perancis dan mungkin dunia. Padahal waktu itu saya minta alamat beliau untuk berkorespondensi, saya pikir sebagai ilmuwan beliau tidak akan keberatan membagi pengalaman selama melakukan ekspedisi keliling dunia. Jikalau bahasa Inggris saya bagus sejak saya menonton dokumentasi itu mungkin saat ini saya menyimpan balasan surat dari beliau, dengan cerita2 mengenai tempat2 jauh yang bahkan dalam mimpipun saya sulit mencapainya. Walau kecewa tapi saya tidak seharusnya menyesal, sebagai seorang inlander, yang dilahirkan dan dibesarkan jauh dari laut, saya telah mengetahui satu nama ilmuwan kelautan besar abad 20 (atau 19 ya?). Beberapa waktu lalu saya membaca kalau Philippe Cousteau, putra beliau meneruskan apa yang telah dirintis ayahnya, dengan berkelana keliling dunia di atas Calypso untuk meneliti hal2 terkait dengan kelautan.

Mungkin karena menonton dokumentasi itu juga saya bercita2 menjadi seorang ilmuwan. Saya ini berasal dari keluarga pengajar, orang tua dan beberapa kakak saya menjadi guru, tapi karena saya tidak suka dan memang tidak mampu mengajar jadi saya harus memiliki cita2 lain selain itu. Dan dokumentasi itu memberikan saya jawaban. Waktu itu saya menganggap adalah keren jika dapat bekerja di lab dengan mengenakan jas lab warna putih, dengan dikelilingi tabung2 reaksi dan sampel2 serta melakukan penelitian dan menemukan sesuatu untuk dunia. Sesekali pergi ke tempat2 jauh untuk mengumpukan sampel, kemudian membawanya kembali ke lab saya untuk diteliti. Sampai sekarang pun saya pikir ilmuwan itu pekerjaan yang keren. Bahkan walau saya tahu bahwa sudah tidak akan pernah mencapai cita2 itu, saya tetap menyimpannya, jika keajaiban tiba…

Begitulah saya dan Antartika. Bagaimana saya begitu terobsesinya (jika boleh dibilang demikian) pada benua beku ini. Sayangnya bahkan ketika saya begitu dekat, saya belum dapat menjangkaunya. Saya pernah cek di internet harga tour ke benua itu dari Australia, paling murah adalah A$ 5000! Uang sejumlah itu bagi saya sangat banyak dan kalaupun ada masih sayang rasanya untuk berwisata, ketika ada hal2 lain yang musti saya urus. Mungkin suatu saat nanti jika Tuhan mengijinkan dan memberikan rizkinya untuk saya, sehingga saya dapat menyentuh es Antartika, sehingga saya dapat melihat langsung barisan penguin Emperor yang begitu lucunya itu. Mungkin saya masih dapat melihat Orca menyemburkan air dipermukaan laut Antartika… Untuk sekarang, cukup bagi saya untuk bermimpi dulu saja.

catatan: foto diambil dari http://www.nationalgeographic.com/traveler/photos/photocontest0601/photocontest_gallery7.html, diakses tgl 19 Desember 2007