Friday, April 18, 2008

Nasib Paru-Paru di Jakarta

Udara di mana-mana pun di Indonesia ini saya rasa memang sudah menurun kualitasnya. Banyak orang berlomba-lomba untuk memiliki kendaraan bermotor, karena kalau tidak aksesibilitasnya terbatas karena angkutan umum tidak dapat diandalkan. Para pengusaha angkutan umum pun berlomba-lomba menambah armada karena permintaan meningkat, tapi karena panjang jalan yang digunakan tidak juga bertambah, adanya hanya menambah kemacetan saja.

Kalau di Jakarta maka hal tersebut tentu lebih parah. Dimana-mana berjubel pengendara motor (dan mobil pribadi tentunya) serta angkutan umum berebut badan jalan. Semua kendaraan, baik yang (mungkin) lolos uji emisi dan yang tidak layak jalan sama sekali menyumbang polusi asap di mana-mana. Tak heranlah kalau melihat ke langit Jakarta warnanya bukan lagi biru jernih, tapi abu2. Serba salah memang, mau naik angkutan umum, tidak nyaman; mau pakai kendaraan pribadi, kena macet juga; mau jalan, asap dimana-mana; trus musti bagaimana???

Sebagai ilustrasi bagaimana parahnya kualitas udara di Jakarta, apa yang harus saya hadapi setiap hari bisa saya ceritakan disini. Mungkin tidak semua orang mengalami hal yang sama persis, tapi saya yakin sebagian besar orang Jakarta memang terpampang oleh polusi udara di kesehariannya.

Pagi hari saya ke kantor jalan kaki karena dekat, walaupun masih pagi, saya harus menghirup udara yang kena polusi, maklum jalan yang saya lewati memang jalan salah satu jalan utama di area itu. Mungkin ada pertanyaan, kenapa tidak pakai masker. Pertama, saya ini orang yang tidak suka hal-hal yang ribet, kedua boleh jadi saya tidak peduli dengan itu semua, ketiga kalau saya nilai sudah keterlaluan, saya lebih suka menutup hidung pakai tisu. Mungkin, sebagian besar orang seperti saya dalam hal kepedulian menutup hidung bila berada di pinggir jalan besar, kami lebih suka menganggap itu sebagai hal yang biasa saja, tidak usah bereaksi yang terlalu “heboh”.

Setelah saya sampai kantor, bukan berarti saya terbebas dari polusi. Kantor saya itu di pinggir kali yang airnya hitam dan mampet. Kata teman saya, kalau beruntung kita bisa lihat biawak berenang-renang disitu. Lah, kalau masih ada hewan bisa hidup disitu bukannya airnya berarti masih bisa dibilang “layak” (setidaknya untuk standar biawak). Anyway, ruangan saya di lantai 6, tapi nyamuknya banyak sekali, jadi harus disemprot insektisida buat membunuhnya dan itu bau dan membuat napas sesak. Tapi memang kita cuma punya dua pilihan dalam hal ini; menyemprot dengan obat nyamuk yang berarti polusi udara atau kita kena demam berdarah yang berarti nyawa juga terancam.

Itu belum semuanya. Setelah terpampang oleh polusi asap kendaraan bermotor di jalam raya dan obat nyamuk semprot, saya harus menjadi perokok pasif, gara-gara kasubdit saya itu perokok berat. Kalau saya ke ruangannya mesti bau rokok, kadang dia kalau keluar dibawa juga rokoknya padahal ruangan kami ber-AC! Dulu-dulu sih saya diamkan saja, tidak enak. Tapi beberapa hari yang lalu saya bilang, kalau merokok jangan keluar dari biliknya, soalnya asapnya itu. Mungkin dia berpikir waktu itu saya berlagu sekali tidak mau bau asap rokok, karena dia tanya teman saya apa suaminya merokok. Kalau dia mau berdebat waktu itu, mungkin akan tetap saya layani, kalau dia punya hak untuk merokok, saya juga punya hak untuk menghirup udara bersih! (wah, jadi esmosi saya ini).

Pulang dari kantor, polusi dari asap kendaraan bermotor akan kembali menyapa saya. Kalau seperti ini terus2an, kapan coba saya bisa hidup di Jakarta dengan sehat yang sebenarnya. Mungkin saya bisa menjaga makanan, tapi apa saya bisa menjaga agar udara yang saya hirup tiap hari bersih, kalau polusinya sudah tidak terkendali seperti ini. Saya yakin, kalau sebagian besar orang Jakarta mengalami apa yang saya alami, paru-paru mereka pun mesti juga sudah terisi banyak zat2 polutan beracun.

Saya sangat sangat berharap, kalau ibukota negara ini pindah saja, ke daerah yang belum banyak penduduknya, yang belum banyak bangunan dan industrinya, jadi perencanaan tata kotanya bisa benar-benar dimulai dari awal. Tidak perlu mengeringkan air tanah biar bisa bikin pondasi mall, tidak perlu menggusur warga miskin untuk membangun pusat perbelanjaan. "Make it simpler, but make it much cleaner". Tapi itu angan2 sahaya saja, apa boleh buat, ibukota negara ini belum akan pindah sebelum tenggelam. Menurut penulis buku “Gadjah Mada”, imajinasi itu lebih penting dari ilmu pengetahuan, tapi menurut saya, apa guna kemampuan berimajinasi tinggi kalau pada akhirnya itu hanya sebatas angan-angan saja tanpa realisasi. Karena hidup ini bukan hanya bagaimana berangan-angan tapi bagaimana mewujudkan angan-angan itu, ya toch?

1 comment:

pipita said...

Dy, tapi aku pingin ke jakarta, ada udara segar yang ku rindukan disana :pp