Thursday, February 28, 2008

Food (in)Security…

"Add another item to the list of threats to world peace: Food."
Kutipan tersebut saya ambil dari edisi online Time international tgl 27 Februari 2008. Miris membacanya, apalagi melihat ilustrasinya, sekumpulan orang yang berebutan makanan pembagian organisasi Palang Merah di sebuah daerah kumuh Nairobi, Kenya. Ada yang menarik dari artikel ini, kenyataan bahwa di negara2 maju seperti AS dan Inggris, para petani dapat menikmati keuntungan berlipat, sementara petani2 di Pakistan, Senegal, Burkina Faso, serta negara2 berkembang lainnya sedang kembang kempis mempertahankan hidup. Jangankan untuk menabung di bank, lah untuk makan dan mencukupi kebutuhan dasar saja (walaupun faktanya mereka yang menghasilkan bahan makanan) sulit.

Naiknya harga minyak disinyalir sebagai salah satu penyebab kenaikan harga kebutuhan pokok, hampir di semua negara. Jika harga minyak naik, maka harga2 barang industri lainnya juga naik, transportasi pun tidak ketinggalan, sehingga harga2 makanan ikut melambung juga. Masih ingat kan bagaimana harga tempe naik karena kelangkaan kedelai, yang disebabkan gagal panen dan mahalnya kedelai impor? Yah mungkin seperti itu juga dengan kenaikan bahan kebutuhan pokok ini.

Bagaimana mungkin seseorang akan berpikir jernih dan tenang kalau perutnya lapar? Bagaimana mungkin seorang bapak akan menyekolahkan anak2nya, memberikan pendidikan yang lebih baik jika untuk makan tiga kali sehari saja kadang tidak tercukupi? Bagaimana ibu hamil yang akan melahirkan anaknya pergi ke bidan terlatih atau dokter ketika biaya perawatan untuk orang sakit tidak lagi terjangkau? Jika harga kebutuhan pokok naik, memang akan memacu kenaikan harga2 lainnya. Nah kalau mau makan saja sulit, bagaimana dengan kebutuhan lainnya?

Coba saja bayangkan saja jika peristiwa rebutan makanan seperti di daerah miskin di Nairobi ini terjadi di banyak negara, secara serentak, kan efeknya akan sangat menyedihkan. Belum jika terjadi di perbatasan, wah bisa2 perang. Kadang2 saya suka merasa bersalah kalau tidak bisa menghabiskan makanan di piring saya. Bukan apa2, makanan itu yang bagi saya mungkin membosankan, bisa jadi sangat berharga bagi banyak orang lainnya yang membutuhkan. Makanya, sekuat tenaga saya selalu berusaha menghabiskan makanan yang saya makan. Sebenarnya itu bukan solusi permasalahan kenaikan bahan makanan, tapi secara moral, sepertinya hal itu dilakukan sebagai salah satu bentuk tanggung jawab terhadap makanan.

Memberikan bantuan makanan juga bukan penyelesaian jangka panjang. Sampai kapan sih orang bisa bergantung pada bantuan? Kan akan lebih bermanfaat untuk ke depannya jika diberi bekal bagaimana mendapatkan sumber makanan secara kontinyu; bertani atau berdagang? Ya, solusi ini klise, tapi bagaimana lagi. Walau saya juga sadar petani kalau di Indonesia ini sebagian besar tidak memiliki lahan sendiri, alias buruh tani. Jadi, mau mempraktekkan kemampuan bertani dimana kalau lahan saja tidak punya, secara sekarang orang tidak suka menanam padi, atau jagung serta kedelai, sepertinya menanam pondasi perumahan lebih menguntungkan.

Kalaupun orang2 memiliki uang lebih pada tahun2 lalu, maka uang dengan jumlah yang sama sekarang tidak dapat membeli sejumlah barang yang sama dengan tahun2 berikutnya. Harga uang makin turun, harga barang yang naik. Sepertinya ada semacam “konvensi”, harga itu kalau sudah naik ya susah turun, atau malah pantang turun. Yaa, lama2 jadi kaya para pemimpin yang tak tahu diri mau terus2an menjabat bukan? Tapi memang begitulah kenyataannya, harga yang naik jangan diharapkan turun, terutama untuk kebutuhan pokok. Berharap saja pendapatan naik, jadi masih bisa menutup kebutuhan dasar setidaknya. Tapi mengharapkan yang satu ini juga kadang2 terlalu muluk juga.

Anyway, coba saja bayangkan dunia yang penuh dengan orang2 kelaparan, air susah, anak sakit2an, mau beli bensin ngantri, listrik byar pet, banjir dimana2, kebakaran hutan juga, gimana ndak perang tuh dunia seperti itu. orang ngantri saja potensi perkelahian antara sesamanya tinggi, belum kalau masalah tersebut dipersulit dengan permasalahan2 lainnya.

Ya, jadi para calon Miss Universe, Miss World, Miss Understanding (:-p), lain kali kalau ditanya tentang konsep world peace, jangan asal ngomong world peace ajah, tapi dijelasin juga bagaimana itu si world peace dicapai. Ohh, pertanyaan pertama (Anda boleh bilang ini sinis, saya memang sinis!), bagaimana bisa berlenggak lenggok memamerkan inner beauty bisa mem-promote world peace hayoo?

No comments: