Thursday, December 20, 2007

Arti Sejengkal Tanah


Bagaimana jika tiba2 rumah yang Anda tempati digusur, padahal Anda tidak tahu mau pergi ke mana. Rumah tersebut adalah warisan ayah, kakek, kakek buyut serta ayah kakek buyut begitu dan seterusnya. Bergenerasi2 keluarga Anda menempati rumah tersebut, dan tiba2 sebagai generasi paling akhir yang tinggal di situ, Anda harus berkemas pergi. Apapun alasan kehilangan rumah itu dan jikapun ada tempat lain untuk tinggal dan memulai hidup baru, bagaimanakah perasaan Anda?

Bagi sebagian orang, sejengkal tanah warisan orangtua atau tanah yang mereka beli dengan susah payah adalah harta yang sangat berharga. Jikalau bukan dari segi materi maka nilai sejarah serta kenangan beberapa generasi keluarga terekam di rumah atau di atas tanah tersebut. Walau sebagian lagi akan dengan senang hati pergi dan mencari penghidupan baru di tempat lain, tetapi saya yakin mereka tetap akan merasa berat pada awalnya. Kecuali sebuah peristiwa sangat tragis dan traumatis terjadi di tempat tersebut, maka kehilangannya merupakan sebuah kehilangan besar.

Kalau kita lihat konflik atas tanah seperti di Timur Tengah antara Palestina dan Israel, mungkin ada sebagian orang yang dengan santainya mengatakan, ‘sudahlah, berkemas saja tinggalkan tempat itu, tempat yang panas, air susah, banyak bom bunuh diri. Kalau ada yang mengalah pergi maka masalahnya akan selesai’. Masalahnya lagi sejengkal tanah yang mereka ingin pertahankan, baik itu orang Israel, Palestina maupun Kristen, kadang tidak ada hubungannya dengan keamanan. Saya baru saja membaca di www.nationalgeographic.com mengenai kota Bethlehem, tempat kelahiran Nabi Isa (menurut tradisi Islam) atau Yesus (menurut tradisi Nasrani). Bahwa di kota tersebut sekarang lebih banyak orang Islamnya daripada orang Kristennya. Ini karena mereka banyak yang pindah ke Eropa atau tempat lainnya untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Tambahan, di sekeliling kota tersebut telah dibangun tembok tinggi oleh pihak Israel, dan penduduk tidak boleh berada di luar tembok tersebut (atau dalam kata lain di sisi Israel) lebih dari jam 7 malam! Bahkan Walikota Bethlehem pun harus mematuhi larangan ini.

Mereka yang memutuskan tetap tinggal, memiliki beraneka ragam alasan. Namun, banyak di antaranya yang mengatakan bahwa keluarga mereka telah tinggal di kota itu selama bergenerasi2. Bahkan jika ditelusuri, keluarga mereka telah tinggal di situ sebelum kelahiran Nabi Isa/Yesus. Mereka mengatakan bahwa walaupun telah kehilangan anggota keluarga yang mereka cintai di kota itu, dan kenyataan bahwa keamanannya tidak menjanjikan, mereka tetap akan tinggal. Bukan masalah akan tinggal di mana setelah itu, tapi lebih kepada, apa yang akan mereka tinggalkan. Salah satunya mengatakan bahwa, ‘jiwa saya ada di Bethlehem. Saya adalah ikan dan kota itu adalah air bagi saya. Jika saya harus pergi menginggalkannya maka saya akan mati.’ Demikian hebatnya kenangan sebuah tempat bagi seseorang.

Kalau kita lihat di tanah air, kita juga akan menemui banyak hal serupa. Coba lihat mereka yang tinggal di lereng gunung berapi misalnya, bahkan setelah gunung itu meletus dan menghancurkan rumah mereka, mereka tetap bertahan. Setelah reda, mereka akan kembali lagi ke situ dan membangun kembali apa yang telah hancur. Di tempat yang sama di mana beberapa saat sebelumnya lahar panas telah meluluhlantakkan bangunan rumah tinggal mereka. Jika mereka memiliki cukup uang, kenapa tidak pergi saja ke tempat lain yang lebih aman, daripada selalu diliputi kecemasan tinggal di lereng gunung berapi. Tetapi kadang jawaban serupa muncul, ‘ini tanah peninggalan kakek buyut saya, kalau bukan saya yang merawat siapa lagi, saya tidak mau disebut anak tidak berbakti.’

Jadi, apa arti sejengkal tanah bagi Anda? Sebuah tempat yang harus pertahankan mati2an karena telah Anda beli dengan hasil memeras keringat, atau karena tanah tersebut warisan orangtua Anda, atau karena tidak ada tempat lain untuk berlindung? Apapun itu, kalau saya amati kenapa konflik atas tanah antara Israel-Palestina tidak segera berakhir adalah karena masalah sentimental memory ini, atau dari sisi sejarahnya. Kalaupun saya orang Israel atau orang Palestina, saya juga tidak akan dengan mudah tunduk pada kertas2 perjanjian jika itu berarti harus meninggalkan tanah di mana saya telah dilahirkan dan dibesarkan untuk selama2nya, untuk pada akhirnya menjadi orang asing di tanah sendiri. Dari sisi ini, saya jadi bertanya2 bagaimana menyelesaikan permasalahan ini tanpa menyinggung keberadaan generasi mereka yang telah beribu2 tahun berada di atas tanah tersebut.

Mungkin sejengkal tanah itu hanyalah sebuah tempat di mana hanya ada sedikit air, rumput pun enggan hidup, dan hanya debu2 saja yang beterbangan jika angin mau singgah. Tetapi untuk beberapa hal terkadang bukan dengan berapa uang tanah tersebut dihargai tetapi berapa lama dia telah ditinggali, telah berapa banyak darah tercurah untuk mempertahankannya, atau telah berapa banyak peristiwa bahagia diadakan di atasnya. Kadang ini bukan masalah uang dan materi, atau bahkan bukan masalah yang bisa diselesaikan dengan logika, tetapi ini lebih kepada masalah hati dan perasaan. Mungkin pertanyaannya bisa menjadi, berapa uang yang berani Anda terima untuk mengorbankan perasaan Anda sendiri?

catatan: photo © Christopher Andersen, http://pictopia.com/perl/ptp/natgeo?photo_name=1102466, diakses tgl 20 Desember 2007, merupakan photo kota Bethlehem sekarang


No comments: