Saturday, December 22, 2007

Hari Ibu


Hari ini, tanggal 22 Desember di Indonesia diperingati sebagai hari ibu. Hari ibu di Indonesia erat kaitannya dengan sejarah berdirinya negara ini. Pada hari itu di tahun 1928, para perempuan di Nusantara mengadakan Konggres Perempuan pertama se-Indonesia, yang bertempat di Yogyakarta. Entah bagaimana, kaitan antara sejarah Konggres Perempuan dengan penetapan Hari Ibu. Maksud saya, jika tonggak sejarahnya adalah Konggres Perempuan, kenapa peringatannya terkesan ‘eksklusif’ sebagai Hari Ibu.

Saya bukannya tidak mau ada Hari Ibu tetapi hanya sedikit mempertanyakan kaitan Konggres Perempuan dengan Hari Ibu. Atau mungkin pada waktu itu yang berkonggres sebagian besar sudah berstatus ibu? Entahlah. Tetapi, apapun alasannya, pada hari itu, ibu2 ‘semestinya’ memiliki saat dimana beliau diperlakukan secara istimewa oleh anggota keluarganya. Bukannya kalau tidak ada peringatan itu kemudian ibu tidak perlu diperlakukan secara istimewa. Tapi, coba Anda amati di sekitar Anda, bahkan ibu Anda sendiri. Selain hari raya atau hari ulang tahun beliau misalnya, pada saat apa lagi ibu Anda diberi perhatian khusus oleh anggota keluarga lainnya?

Jika Anda tinggal di perkotaan, dari keluarga berada, memiliki pembantu, tentunya ibu Anda tidak perlu susah payah mengurusi semua pekerjaan rumah, dari memasak, mencuci, bersih2 rumah dan banyak lagi pekerjaan rumah lainnya. Tapi, jika Anda tinggal di desa, dimana pembantu rumah tangga tidak lazim dimiliki oleh keluarga2 di sana, dan semua pekerjaan rumah tangga adalah ‘tanggung jawab perempuan’, yang nota bene ibu Anda, saya yakin beliau akan sedikit memiliki waktu untuk dirinya sendiri. Belum jika harus membantu mengurus sawah dan ternak, belum jika anak yang telah berkeluarga dan memiliki bayi tinggal bersama orang tua. Pernahkah Anda bayangkan sejenak saja, kapan ibu pada situasi tersebut memiliki waktu untuk dirinya sendiri?

Terus terang saya juga kurang paham apa makna Hari Ibu di Indonesia. Untuk sekedar mengingat adanya Konggres Perempuan tersebut atau ada hal yang lainnya, misalnya sebuah hari di mana para anak dan suami merenung akan apa yang telah mereka lakukan pada para ibu atau para istri. Tetapi, lagi2 saya tidak menemukan jawabannya. Pada akhirnya, jika motif terakhir yang digunakan sebagai dasar memperingati Hari Ibu mungkin pernyataan, ‘jikalau mengingat apa yang telah ibu beri pada keluarganya bisa dilakukan setiap saat, tidak perlu tanggal 22 Desember’, akan kembali muncul. Tetapi sekali lagi, mungkin bukan ini maksud keseluruhannya. Mungkin dapat kita tarik satu hal saja, kalau banyak orang terlalu sibuk bekerja bahkan tidak punya waktu untuk diri sendiri, bagaimana akan punya waktu untuk ibunya?

Kalau saya coba renungkan apa yang telah ibu saya berikan pada saya, saya yakin seumur hidup saya mencoba membayarnya, saya tidak akan pernah bisa melakukannya. Saya dibesarkan di desa di Jawa di mana laki2 selalu dinomersatukan. Walau keluarga kami Alhamdulillah tidak sampai harus memilih anak yang mana yang harus disekolahkan, mana yang harus putus sekolah karena biaya. Orangtua saya bukan termasuk kalangan berlebih, mereka adalah kalangan pekerja yang harus menanggung beban keluarga yang tidak sedikit. Sebagai orang desa, anehnya orangtua saya tidak memiliki sawah seperti para tetangga pada umumnya. Mereka hanya mengandalkan gaji PNS yang Anda bisa bayangkan, jika pada saat sekarang golongan III a saja gaji ‘hanya’ sekitar 1 jutaan bagaimana dengan tahun 80an, mungkin berbilang puluhan ribu saja. Kami tidak memiliki pembantu rumah tangga, pasti sangat repot mengurusi keluarga besar, yang waktu itu anak masih kecil2 dan semua harus selesai sebelum anak2 pergi ke sekolah dan orangtua pergi bekerja. Jam berapa ibu saya harus bangun saat itu? Saya percaya bahkan beliau harus bangun sebelum subuh untuk membersihkan rumah, memasak, serta mempersiapkan dirinya sendiri untuk bekerja. Belum di sekolah jika beliau harus menghadapi anak yang bandel, yang susah menangkap pelajaran, yang tidak pernah mengerjakan PR, mungkin jika saya di posisi beliau kepala ini sudah mau pecah rasanya.

Tetapi nyatanya beliau tetap mengajar sampai purna tugas, semua anak telah bekerja, beliau tetap saja seperti dulu waktu saya masih kecil. Bangun pagi dan membersihkan rumah, pergi ke pasar, memasak dan lain sebagainya. Jika saya hanya melihat diri saya sendiri, mungkin saya menganggap bahwa sangat berat beban ibu saya. Bukan mengecilkan beban beliau, tapi bagaimana dengan ibu2 yang lebih tidak beruntung dari beliau, mereka yang tidak memiliki pendidikan, bahkan menjadi petani pun hanya sekedar buruh tani yang berarti tidak memiliki tanah sendiri. Akan jauh lebih berat lagi hidup mereka. Tapi mereka masih lebih beruntung daripada ibu2 yang tinggal di kolong2 jembatan di Jakarta, yang harus kejar2an dengan petugas Kamtib, banjir dan dingin di kala hujan, serta nyamuk dan debu di kala panas. Mereka mungkin sama sekali tidak punya waktu untuk istirahat, bahkan sekedar berangan2 seandainya memiliki rumah sendiri, walau kecil.

Saya yakin, masih banyak potret ibu di Indonesia yang lainnya. Mereka yang berkarir. Mereka yang mengabdikan seluruh waktunya untuk keluarga. Mereka yang harus membagi waktu antara rumah dan pekerjaan. Mereka yang harus berjuang sendirian karena suami telah berpulang, ataupun suami telah ingkar janji. Mereka yang harus menahan air mata di depan anak2 dan para istri lainnya. Mereka yang bahkan tidak pernah menikah karena dikhianati oleh laki2 yang pernah bersama mereka. Mereka yang masih muda, ataupun yang sudah berumur. Jika mereka adalah perempuan dan mereka memiliki anak, walaupun anak angkat sekalipun, mereka adalah para ibu. Mereka selama ini dianggap lemah karena mereka ‘hanyalah’ perempuan, yang bisa diperintah, yang menurut pendapat beberapa suami mereka harus tunduk dan tidak boleh membantah, yang sering dianggap bodoh, yang sering dilupakan. Tetapi sebenarnya mereka itu perempuan2 yang kuat, karena telah melahirkan berarti telah berjuang melawan maut, dan Anda tahu bahwa jika mereka menang melawan maut bukannya itu pertanda kekuatan? Mereka kuat karena mereka telah membagi apa yang mereka punya bahkan nyawanya untuk anak2nya, mereka telah membagi waktu yang begitu berharga dengan orang lain. Anda bayangkan berapa pelatihan manajemen waktu yang dihabiskan oleh seorang CEO untuk bisa mengurusi beberapa perusahaan sekaligus, dan apa seorang ibu perlu pelatihan khusus untuk membagi waktu antara dia dan anak2nya?

Mereka mungkin ‘hanyalah’ ibu, yang secara kebetulan adalah istri ayah Anda, dan tanpa Anda kehendaki telah melahirkan Anda. Tetapi satu hal yang perlu diingat, Anda boleh memiliki segala kelebihan di dunia ini. Jika Anda laki2, semua perempuan bisa jadi tergila2 kepada Anda, jika Anda perempuan, bisa jadi banyak laki2 telah bertekuk lutut di hadapan Anda. Tapi, semua itu tidak akan Anda miliki jika Anda tidak pernah dilahirkan oleh ibu Anda. Dengan segala yang Anda miliki sekarang, malukah Anda pada ibu kandung Anda sendiri, karena mungkin beliau kurang terpelajar, beliau tidak tahu banyak hal, atau hal lainnya. Jika Anda bisa menjawab bahwa Anda tidak malu maka berbahagialah, Anda sedang tidak berusaha melarikan diri dari kenyataan. Tapi jika ada pertanyaan, ‘jika Anda bisa memutar roda waktu dan memilih siapa yang melahirkan Anda, siapa yang Anda pilih?’ dan ternyata Anda memilih orang selain ibu kandung Anda sendiri, mungkin saya perlu bertanya, ‘ada yang salah di kepala atau hati Anda?’

No comments: